Merindu
Nasionalisasi Indonesia
Emha Ainun Nadjib ; Budayawan
|
KOMPAS,
22 September 2012
Berangkat dari Jokowi ke
Indonesia, esai ini bukan tentang pemilihan gubernur, politik Indonesia, atau
baik-buruknya pemerintah dan pejabat. Inilah kerinduan manusia Indonesia.
Seusai Pemilihan Umum Kepala
Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya menuju
2014. Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.
Bangsa
Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan,
misalnya untuk nasionalisasi Freeport.
Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa
kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik
mundur.
Yang rutin, bangsa Indonesia
adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum shalat yang
tidak berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam
penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus
dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk
memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.
Manusia Berani
Manusia Indonesia adalah
manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani hidup
tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk
akal. Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan
dan kerajinan beribadah.
Manusia Indonesia tidak jera
ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi
korupsinya. Mereka melakukan hal-hal melebihi saran setan dan ajaran iblis,
pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.
Manusia Indonesia mampu
tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai.
Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno,
Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting.
Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa
disetankan kalau menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.
Maka, bawah sadar mereka
tergerak memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidak peduli soal mobil
esemka. Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima
Cheng Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.
Bangsa Indonesia mampu
membikin ”siapa tahu” dan ”kalau-kalau” menjadi makanan yang mengenyangkan
perut dan menenangkan hati.
Jokowi lho, bukan Joko
Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau penganut
kebatinan. Akan tetapi, tambahan ’wi’ telah menyekunderkan ’Joko’. ’Wi’ itu
suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan masa
silam.
Sudah sangat lama hati
rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka
membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai
Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur.
Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.
”Jokowi” itu nama yang
mengandung harapan. Bangsa Indonesia sudah sangat berpengalaman untuk tidak
berharap pada kenyataan karena mau berharap pada sesama manusia terbukti
puluhan kali kecele. Mau bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.
Fauzi Bowo dirugikan oleh
penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya,
wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun
kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di
mana Islam ”harus jelek” bahkan ”miskin, bodoh, dan pemarah”. Ditambah Bowo
pula. Kalau ”Prabowo” masih lumayan, punya arti kewibawaan. Bowo itu tipikal
umum ”wong Jowo”.
Begitu jadi orang Jakarta,
Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus ”mudik ke
Jawa”.
Jawa adalah entitas masa
silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol
kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau
pembantu.
Bukan Kendali Manusia
Pasti tidak ada maksud tim
sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi
Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada
yang lain yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.
Waktu pun tidak linier,
meskipun kita menitinya melalui garis linier. Proses-proses sejarah berlangsung
dengan multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit dirumuskan
pengetahuan manusia sampai hari ini.
Maka, baik-buruknya gubernur
terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi dan
dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan.
Sejarah umat manusia tidak semester dua meter, tidak semata-mata selesai
dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang baik dan
benar itu Foke atau Jokowi.
Kita jalani hidup dengan
sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu
dengan rasa syukur dan sangka baik terhadap hari esok sehingga yang kemarin
masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.
Bahkan, apa jadinya manusia
kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak ada ujian.
Apa jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan mentransformasikan
Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk
rohani yang sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis? Yang dikontrak Allah sampai
hari kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun
memberi legitimasi ”Ya, Allah untuk apa
Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan
darah.”
Mencari Asal
Orang memilih Jokowi mungkin
setahap perjalanan di alur ”sangkan paran”,
bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan kepada diri sejatinya. Di mana
mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya, sosoknya. Jokowi kurus
seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin rakyat sadar dulu salah pilih
SBY karena gagah-ganteng.
Tidak penting, apakah Jokowi
benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak
akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik
atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya,
bukan mencari Jokowi.
Jokowi beruntung karena
mereka menyangka ia yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk membuktikan
bahwa memang dia yang dicari.
Bagi orang Jakarta yang
Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia Sunda
Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya mengandung
virus wayang, Jokowi seperti Petruk,
anaknya Kiai Semar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.
Allah menciptakan Adam
dengan menyatakan, ”Sesungguhnya Aku
menciptakan khalifah di Bumi”. Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka
gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari
awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.
Secara rahasia bangsa
Indonesia berpikir bahwa ”bukan ini
Indonesia”. Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar