Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Binsar M Gultom ; Dosen
Bidang Hukum dan HAM pada Pascasarjana Universitas Hazairin Bengkulu
|
KOMPAS,
12 September 2012
Di banyak negara, termasuk Indonesia,
sering terjadi kecenderungan adanya penolakan untuk menyelidiki atau mengadili
kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Sikap melindungi secara
terang-terangan biasanya dilakukan oleh para penguasa yang warga negaranya
terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Perlindungan seperti itu
tecermin dari kesengajaan untuk tak menerapkan ketentuan perundang-undangan
yang sudah ada, atau memberikan interpretasi (penafsiran) yang berbeda dengan
apa yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan mengenai kejahatan itu.
Segala cara selalu dilakukan
semata untuk menciptakan impunitas bagi para pelaku kejahatan itu. Kebiasaan
seperti ini harus segera ”dihentikan” agar tak merusak masa depan anak bangsa.
Banyak contoh kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia yang terkesan ditutup- tutupi.
Mulai dari kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti, Semanggi I, II,
penculikan aktivis tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di Lampung), hingga kasus
Waisor, Wamena, di Papua yang telah selesai diselidiki oleh Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) tanpa kunjung tiba penyelesaiannya. Kini kasus HAM
berat 1965/1966 kembali diungkap Komnas HAM dan merekomendasikan untuk
ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.
Menurut Jaksa Agung Basrief
Arief, jika hasil penelitian diputuskan ditingkatkan ke tahap penyidikan,
kejaksaan membutuhkan pengadilan HAM ad hoc. Hal ini mengingat kasus itu
terjadi ”sebelum” Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ada.
Polemik tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc ini sangat krusial menghambat
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi selama ini.
Menurut penulis, seharusnya
Komnas HAM terlebih dahulu melakukan penyelidikan (sudah berjalan), kemudian
Jaksa Agung menyidik atau mengembangkan hasil temuan Komnas HAM itu. Dari hasil
temuan itu baru DPR memberikan rekomendasi/usul pembentukan pengadilan HAM ad
hoc kepada presiden untuk mendapat keputusan presiden (keppres). Jadi, bukan
justru mengembalikan berkas kasus yang sudah diselidiki Komnas HAM seperti yang
pernah terjadi 1 April 2008, apalagi tanpa petunjuk jelas dari Kejaksaan Agung.
”Satu Paket”
Menurut penjelasan Pasal 43
(2) UU Pengadilan HAM, secara eksplisit ditegaskan, ”dalam hal DPR mengusulkan
dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya
pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu
yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini.” Ini berarti, setiap pelanggaran
HAM berat yang terjadi ”sebelum” UU No 26/2000 terbentuk, DPR wajib merekomendasikan/
mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc atas peristiwa dugaan pelanggaran
HAM berat berdasarkan hasil temuan Komnas HAM dan Jaksa Agung.
Di tahapan ini, DPR tak
boleh menolak memberikan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad hoc dengan
alasan tidak ditemukan pelanggaran HAM berat. Di sini DPR tak perlu menilai
substansi perkara ada tidaknya pelanggaran HAM berat. Yang berwenang menilai
hanya pengadilan HAM ad hoc, bukan DPR.
Dalam praktik, pengalaman
penulis sebagai hakim HAM mengadili kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur
1999 dan Tanjung Priok 1984 di Pengadilan HAM ”Ad Hoc” Jakarta (2002–2005),
pembentukan pengadilan HAM ad hoc atas kedua peristiwa itu ”satu paket”,
didasarkan pada Keppres No 53/2001 yang diperbarui dengan Keppres No 96/2001.
Sebelumnya didahului penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung
tentang adanya dugaan pelanggaran HAM berat tersebut. Hasil temuan itu mendapat
rekomendasi/usul pembentukan pengadilan HAM ad hoc dari DPR kepada presiden.
Jadi, kalau ada kemauan
politik dari Presiden SBY, pengalaman sejarah pembentukan pengadilan HAM ad hoc
atas peristiwa Timor Timur dan Tanjung Priok tersebut dapat diterapkan pada
peristiwa 1965/1966. Terlebih dengan adanya ajakan SBY yang menyebutkan negara
punya kewajiban moral menyelesaikan semua pelanggaran HAM berat seadil-adilnya
(Kompas, 26 Juli 2012).
Mestinya pernyataan tersebut
diimplementasikan secara nyata melalui UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Mengapa? Karena hanya UU Pengadilan HAM satu-satunya yang dapat menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM berat setelah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
berdasarkan UU No 27/2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tanggal 7
Desember 2006.
Sesuai ajakan Presiden SBY,
demi penegakan hukum di bidang HAM, tidak ada alasan bagi Jaksa Agung untuk
tidak menindaklanjuti setiap hasil temuan Komnas HAM terhadap kasus- kasus
dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu dan masa sekarang. Terlebih terhadap
kasus yang sudah selesai diselidiki oleh Komnas HAM, mestinya diselesaikan
lewat jalur hukum, yakni melalui pengadilan HAM ad hoc atau pengadilan HAM.
Menurut catatan penulis,
begitu banyak kasus pelanggaran HAM berat yang terkesan ditutup-tutupi. Sejauh
ini hanya tiga kasus pelanggaran HAM berat yang pernah diselesaikan oleh
pengadilan HAM Indonesia, yakni kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984
ditangani oleh Pengadilan HAM ”Ad Hoc” Jakarta, serta kasus pelanggaran HAM
berat Abepura 2000 ditangani di Pengadilan HAM Makassar. Itu pun semua terdakwa
akhirnya ”bebas” dari segala tuntutan hukum di tingkat kasasi dan peninjauan
kembali.
Menjadi pertanyaan besar
bagi masyarakat jika Pemerintah Indonesia tidak ingin secara serius
melaksanakan yuridiksi nasional dan tidak mampu melaksanakan yuridiksi secara
benar menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi,
dikhawatirkan yuridiksi International Criminal Court (ICC) akan mengambil alih
pengadilan nasional. Hal itu dimungkinkan, sesuai Pasal 17 ayat (2) dan (3)
Statuta Roma 1998.
Alternatif Solusi
Sebelum kasus tersebut
diambil alih ICC, seyogianya pemerintahan SBY segera menuntaskan
penyelesaiannya melalui ”rekonsiliasi nasional”. Namun, pemerintah harus mampu
mengungkap siapa pelakunya, siapa yang bertanggung jawab, kemudian negara wajib
memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada pihak terkait. Hemat
penulis, penutupan kasus masa lalu (sebelum tahun 2000) yang terjadi di
Indonesia mestinya dapat dilaksanakan sebelum berakhir kepemimpinan Presiden
SBY tahun 2014. Dengan demikian, tidak memberikan beban berat kepada pemerintah
mendatang.
Solusi ini ditawarkan sebab
penanganan kasus-kasus masa lalu yang diselesaikan melalui pengadilan HAM ad
hoc dapat diprediksikan kurang optimal dan tak efektif. Namun, khusus terhadap
kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi ”sesudah” terbit UU Pengadilan
HAM tahun 2000, negara dan pemerintah—lewat Komnas HAM dan Jaksa Agung—harus
segera menuntaskannya melalui pengadilan HAM yang sudah ada tanpa pelibatan
rekomendasi dari pihak DPR. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar