Pendidikan
Toleransi (Masih) Tersandera
Ali Rif’an ; Peneliti di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
|
SINAR
HARAPAN , 05 September 2012
Masa depan toleransi di Indonesia kini
terancam. Kerukunan umat beragama masih terus menimbulkan bau yang tidak sedap.
Ini karena bibit-bibit radikalisme itu
ternyata bercokol di lembaga-lembaga yang notabene sangat strategis: sekolah.
Fakta ini bisa kita saksikan pada survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
(Lakip) beberapa waktu lalu.
Lakip menyurvei 590 guru Pendidikan Agama
Islam (PAI) di 10 kota di Jabodetabek dan pada saat bersamaan juga mengadakan
survei terhadap 993 siswa beragama Islam di SMP dan SMA negeri/swasta di tempat
guru PAI tersebut mengajar. Hasil survei itu menyebutkan tingkat dukungan
responden, baik guru PAI maupun siswa, terhadap aksi kekerasan cukup tinggi.
Hampir tiga dari 10 responden guru PAI dan
hampir lima dari 10 responden siswa menyatakan kesediaan mereka jika ada pihak
yang memobilisasi untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terkait dengan
isu agama. Bahkan beberapa responden cenderung membenarkan aksi kekerasan
mengatasnamakan agama.
Jika dianalisis, terdapat dua hal yang
melatarbelakangi kenapa mereka memiliki sikap seperti itu. Pertama, kurang
adanya pendidikan toleransi di sekolah.
Kedua, pendidikan keagamaan yang dilaksanakan
saat ini lebih cenderung kepada doktrin dan simbol, kurang mengakomodasi
substansi agama itu sendiri dalam perspektif yang universal. Dengan kata lain,
pendidikan agama yang dilakukan di sekolah-sekolah saat ini masih gagal.
Brenda Watson dalam Education and Belief
(1987) pernah mengatakan ada tiga sebab utama yang menjadikan gagalnya
pembelajaran agama di sekolah-sekolah.
Pertama, proses pendidikan yang diajarkan
guru lebih mengarah kepada proses indoktrinasi (indoctrination process)
sehingga pembelajaran agama diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat absolut
dan tak terbantahkan. Kedua, lebih menekankan pada pembelajaran agama yang
bersifat normatif-informatif. Ketiga, kuatnya ideologi atau komitmen agama yang
dianut oleh sang guru.
Ketiga penyebab di atas—disadari atau
tidak—telah membuat pola pikir anak didik kurang terbuka. Pembelajaran yang
normatif disusul dengan doktrin-doktrin keagamaan yang tak terkontrol dapat
membuat cara pikir satu arah sehingga mereka (anak didik) tidak mau menerima
masukan, dan bahkan perbedaan. Sebagai dampaknya, mereka pun akan menyetujui
atau membenarkan aksi kekerasan untuk membela kelompok atau agamanya.
Pendidikan Toleransi
Itulah sebabnya pendidikan toleransi menjadi
agenda mendesak saat ini. Para siswa atau anak didik harus dijarkan tentang
pentingnya keberagaman dan perbedaan. Ini karena menjaga dan melestarikan
keberagaman dalam (hidup) kebersamaan sangat efektif dimulai sejak dini, yakni
dari sekolah.
Sekolah menjadi lembaga publik yang (sangat)
tepat untuk menjelaskan apa makna dan pentingnya kemajemukan dan tenggang rasa
antarsesama. Ini karena di sekolahlah pola pikir sekaligus pola interaksi anak
yang tidak seragam (heterogen) itu mulai hadir dan terbentuk.
Sekolah dengan demikian menjadi “ruang
strategis” untuk membentuk mental atau bagi tumbuhnya watak keberagaman yang
kuat.
Dalam praktiknya, pendidikan toleransi ini
tidak hanya dapat digerakkan oleh guru, tapi juga pengelola sekolah dengan cara
memanfaatkan segala fasilitas dan media yang ada—seperti dinding sekolah—untuk
ditempel gambar berbagai tempat ibadah semua agama di Indonesia, pakaian adat,
rumah adat, kesenian daerah, serta simbol-simbol keberagaman lain yang
merupakan kekayaan negeri.
Hal ini amat penting karena mengenalkan
beragam perbedaan dengan mengembangkan sikap toleransi “melalui gambar” bisa
lebih cepat ditangkap (mengena) oleh seorang anak.
Ini karena nilai-nilai menghargai dan
menghormati perbedaan itu pada gilirannya akan teresap dalam jiwa dan batin
anak ketika nanti mereka tumbuh dewasa. Mereka pun akan tumbuh menjadi
insan-insan yang memiliki pola pikir inklusif dan toleran.
Tentu saja selain di sekolah, tiga ranah yang
berperan penting untuk mengajarkan pendidikan toleransi adalah lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan negara. Pada lingkungan
keluarga, seorang ayah dan ibu tentu memiliki peranan penting.
Setiap orang tua harus sebisa mungkin
mengenalkan anak kesayangannya pada perbedaan-perbedaan sekitar dan mengajak
mereka untuk terbiasa menghormati kepada sesama meskipun berbeda agama, ras,
suku, dan golongan.
Sementara dalam konteks lingkungan
masyarakat, para tokoh masyarakat dan ulama sekitar harus mengajak dan terus
berupaya menciptakan sistem kehidupan yang rukun. Caranya adalah mereka—tokoh
mayarakat dan ulama setempat—harus memberikan teladan tentang perilaku toleran.
Adapun dalam konteks lingkungan negara,
pemerintah berkewajiban membuat kebijakan-kebijakan setrategis yang mendukung
tumbuh suburnya pendidikan toleransi. Ini karena sejatinya, pendidikan
toleransi itu menyatu dengan keberadaan negara dan sejalan dengan garis yang
telah ditetapkan konstitusi. Negara mutlak menciptakan sekaligus merawat
tatanan hidup yang toleran.
Pungkas kata, mari kita ciptakan masa depan
toleransi yang lebih baik. Jangan biarkan pendidikan toleransi di negeri ini
terus tersandera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar