Kamis, 06 September 2012

Pendidikan Toleransi (Masih) Tersandera


Pendidikan Toleransi (Masih) Tersandera
Ali Rif’an ;  Peneliti di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
SINAR HARAPAN , 05 September 2012


Masa depan toleransi di Indonesia kini terancam. Kerukunan umat beragama masih terus menimbulkan bau yang tidak sedap.

Ini karena bibit-bibit radikalisme itu ternyata bercokol di lembaga-lembaga yang notabene sangat strategis: sekolah. Fakta ini bisa kita saksikan pada survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) beberapa waktu lalu.

Lakip menyurvei 590 guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di 10 kota di Jabodetabek dan pada saat bersamaan juga mengadakan survei terhadap 993 siswa beragama Islam di SMP dan SMA negeri/swasta di tempat guru PAI tersebut mengajar. Hasil survei itu menyebutkan tingkat dukungan responden, baik guru PAI maupun siswa, terhadap aksi kekerasan cukup tinggi.

Hampir tiga dari 10 responden guru PAI dan hampir lima dari 10 responden siswa menyatakan kesediaan mereka jika ada pihak yang memobilisasi untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terkait dengan isu agama. Bahkan beberapa responden cenderung membenarkan aksi kekerasan mengatasnamakan agama.

Jika dianalisis, terdapat dua hal yang melatarbelakangi kenapa mereka memiliki sikap seperti itu. Pertama, kurang adanya pendidikan toleransi di sekolah.

Kedua, pendidikan keagamaan yang dilaksanakan saat ini lebih cenderung kepada doktrin dan simbol, kurang mengakomodasi substansi agama itu sendiri dalam perspektif yang universal. Dengan kata lain, pendidikan agama yang dilakukan di sekolah-sekolah saat ini masih gagal.

Brenda Watson dalam Education and Belief (1987) pernah mengatakan ada tiga sebab utama yang menjadikan gagalnya pembelajaran agama di sekolah-sekolah.

Pertama, proses pendidikan yang diajarkan guru lebih mengarah kepada proses indoktrinasi (indoctrination process) sehingga pembelajaran agama diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat absolut dan tak terbantahkan. Kedua, lebih menekankan pada pembelajaran agama yang bersifat normatif-informatif. Ketiga, kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut oleh sang guru.

Ketiga penyebab di atas—disadari atau tidak—telah membuat pola pikir anak didik kurang terbuka. Pembelajaran yang normatif disusul dengan doktrin-doktrin keagamaan yang tak terkontrol dapat membuat cara pikir satu arah sehingga mereka (anak didik) tidak mau menerima masukan, dan bahkan perbedaan. Sebagai dampaknya, mereka pun akan menyetujui atau membenarkan aksi kekerasan untuk membela kelompok atau agamanya.

Pendidikan Toleransi

Itulah sebabnya pendidikan toleransi menjadi agenda mendesak saat ini. Para siswa atau anak didik harus dijarkan tentang pentingnya keberagaman dan perbedaan. Ini karena menjaga dan melestarikan keberagaman dalam (hidup) kebersamaan sangat efektif dimulai sejak dini, yakni dari sekolah.

Sekolah menjadi lembaga publik yang (sangat) tepat untuk menjelaskan apa makna dan pentingnya kemajemukan dan tenggang rasa antarsesama. Ini karena di sekolahlah pola pikir sekaligus pola interaksi anak yang tidak seragam (heterogen) itu mulai hadir dan terbentuk.

Sekolah dengan demikian menjadi “ruang strategis” untuk membentuk mental atau bagi tumbuhnya watak keberagaman yang kuat.

Dalam praktiknya, pendidikan toleransi ini tidak hanya dapat digerakkan oleh guru, tapi juga pengelola sekolah dengan cara memanfaatkan segala fasilitas dan media yang ada—seperti dinding sekolah—untuk ditempel gambar berbagai tempat ibadah semua agama di Indonesia, pakaian adat, rumah adat, kesenian daerah, serta simbol-simbol keberagaman lain yang merupakan kekayaan negeri.

Hal ini amat penting karena mengenalkan beragam perbedaan dengan mengembangkan sikap toleransi “melalui gambar” bisa lebih cepat ditangkap (mengena) oleh seorang anak.
Ini karena nilai-nilai menghargai dan menghormati perbedaan itu pada gilirannya akan teresap dalam jiwa dan batin anak ketika nanti mereka tumbuh dewasa. Mereka pun akan tumbuh menjadi insan-insan yang memiliki pola pikir inklusif dan toleran.

Tentu saja selain di sekolah, tiga ranah yang berperan penting untuk mengajarkan pendidikan toleransi adalah lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan negara. Pada lingkungan keluarga, seorang ayah dan ibu tentu memiliki peranan penting.

Setiap orang tua harus sebisa mungkin mengenalkan anak kesayangannya pada perbedaan-perbedaan sekitar dan mengajak mereka untuk terbiasa menghormati kepada sesama meskipun berbeda agama, ras, suku, dan golongan.

Sementara dalam konteks lingkungan masyarakat, para tokoh masyarakat dan ulama sekitar harus mengajak dan terus berupaya menciptakan sistem kehidupan yang rukun. Caranya adalah mereka—tokoh mayarakat dan ulama setempat—harus memberikan teladan tentang perilaku toleran.

Adapun dalam konteks lingkungan negara, pemerintah berkewajiban membuat kebijakan-kebijakan setrategis yang mendukung tumbuh suburnya pendidikan toleransi. Ini karena sejatinya, pendidikan toleransi itu menyatu dengan keberadaan negara dan sejalan dengan garis yang telah ditetapkan konstitusi. Negara mutlak menciptakan sekaligus merawat tatanan hidup yang toleran.

Pungkas kata, mari kita ciptakan masa depan toleransi yang lebih baik. Jangan biarkan pendidikan toleransi di negeri ini terus tersandera. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar