Dukun Politik
dan Pilkada
Matdon ; Budayawan, Tinggal di Bandung
|
SINAR
HARAPAN , 04 September 2012
Paranormal atau praktik supranatural, atau
perdukunan, adalah istilah yang sulit dijelaskan secara ilmiah dan rasional,
walaupun kemudian ada yang membedakan antara paranormal, supranatural, dan
dukun.
Namun definisi itu tidak penting lagi, karena
yang lebih penting tapi sering terabaikan dalam dunia politik adalah hadirnya
banyak dukun yang memghampiri dan “ikut campur” memengaruhi kebijakan roda
politik di negeri ini.
Sejumlah provinsi di Tanah Air sedang dan
akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Spanduk-spanduk dan baliho
kampanye para bakal calon (balon) sudah berserakan di sudut-sudut kota.
Tentulah dukun-dukun profesional sudah mulai
ramai dikunjungi. Nasihat dan jampi-jampi para dukun ini akan menjadi awal
karier politik mereka. Mudah-mudahan para calon gubernur tidak mendatangi
dukun, sebab jika ini terjadi, berarti mereka telah berupaya menodai demokrasi
dan merusak nilai-nilai agama yang akan berpengaruh buruk kepada kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Bayangkan, jika nanti seorang gubernur adalah
hasil dari penerawangan dukun (meski secara kasat mata tetap melalui
pencoblosan pilkada), bayangkan pemimpin warga Jabar dipimpin oleh orang yang
percaya pada kekuatan “gaib” dukun.
Sungguh pemimpin yang tidak percaya diri,
kemusyrikan politik semacam ini akan menjadi ancaman serius bagi upaya
pembersihan akidah umat. Padahal percaya pada partai politik sudah mampu
merusak akidah seseorang, apalagi percaya pada dukun.
Saya teringat kisah nyata seorang calon
bupati di Provinsi Jawa Barat yang mendatangi dukun, meminta nasihat, dan
“pandangan” masa depan soal kepemimpinan dirinya.
Dengan yakin si dukun memberi petuah bahwa
dia akan menjadi bupati jika berpasangan dengan si A dari partai anu. Menurut
sang dukun, orang itu akan datang tepat ketika calon bupati pulang dari rumah
dukun.
Ketika pulang dan sampai di rumah, ternyata
yang dikatakan sang dukun benar, orang itu sudah berada di rumahnya.
Dengan dialog seadanya serta “keyakinan
politis” orang itu menjadikan si A wakil bupati. Hingga kini konon mereka
menjadi bupati dan wakilnya. Saya tidak tahu apakah dalam perjalanan
kepemimpinan mereka benar-benar mulus sesuai keinginan warganya atau tidak.
Ini sebuah fakta bahwa menggunakan jasa dukun
untuk memuluskan pemilihan kepala daerah saat ini sudah bukan rahasia lagi.
Paling tidak hal ini juga disampaikan Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin
Umar. “Praktik mistik dan dukun laris di pilkada," Umar mengatakan hal itu
pada Januari 2012.
Dukun Politik
Sebenarnya ada dukun lain yang memengaruhi
politik di negeri ini, yakni dukun politik. Dukun politik ada tiga jenis.
Pertama, dukun politik berjenis pengamat politik. Kedua, dukun politik jenis
hasil survei. Ketiga, dukun politik jenis kiai/ulama/tokoh masyarakat.
Lihatlah para pengamat politik di tv-tv atau
koran. Sama halnya dengan pengamat sepak bola, mereka begitu hebat mengumbar
opini. Pengamatan para pengamat politik ini luar biasa. Mereka bisa mengatakan
“Jika si A berpasangan dengan si B maka kejadiannya akan seperti ini, nah jika
si X jadi dengan si Y maka akan menjadi begitu”.
Keyakinan itu terus meluncur, orasi politik
yang memakai logika dan seabrek teori dikeluarkan. Pendapat dan pengamatan
mereka inilah kemudian yang akan menjadi “dukun” bagi calon pemimpin yang
merasa diuntungkan. Pengamatan politik mereka dipercayai sebagai sebuah doa dan
dukungan yang akan memuluskan salah satu calon. Inilah kemusyrikan politik itu.
Lalu dukun politik jenis survei. Hasil sebuah
survei yang dilakukan oleh lembaga tertentu
(entah survei bayaran calon atau
bukan) menjadi instrumen efektif untuk melihat opini publik. Sebuah riset
survei pilkada biasanya digunakan sebagai alat oleh calon pemimpin dalam
memahami dukungan terhadap dirinya, dan tentu saja untuk mendengus isu-isu
aktual dari lawan politiknya.
Hasil survei selalu akan menjadi bahan
perumusan strategi pemenangan yang efektif dan efisien bagi calon wali kota,
gubernur, bahkan presiden. Dukun politik jenis survei ini menjadi tren dalam
beberapa tahun terakhir, terutama saat memasuki pilkada. Para calon pemimpin
akan “menyembah” hasil survei dan bahkan menjadikannya “Tuhan” ketika terbukti
ia menang.
Ketiga, dukun politik jenis kiai/ulama/tokoh
masyarakat. Ini sudah dilakukan sejak zaman Orde Baru (Orba), karena disadari
atau tidak keberhasilan seseorang atau partai politik harus memiliki dukungan
massa yang banyak, dan itu berada pada tokoh berbasis massa di pondok
pesantren.
Kiai sebagai tokoh masyarakat sering kali
menjadi lahan sasaran empuk para politikus dalam membangun basis dukungan
politik karena dianggap memiliki kemampuan luar biasa dalam menggerakkan
masyarakat.
Sejak Orba, suara kiai dan santri menjadi
rebutan dalam pemilu dan masih berlangsung hingga hari ini, bahkan tidak jarang
partai politik menjadikan kiai dan tokoh masyarakat pada jajaran pengurus
partai, untuk kemudian akhirnya ada juga kiai yang menjadi ketua partai
politik.
Dengan memakai jasa kiai untuk ceramah dan
memberi fatwa di depan jemaahnya yang diselipi ayat-ayat suci dan hadis, tentu
ini merupakan bekal moral yang tak ternilai harganya bagi calon gubernur. Fatwa
seorang kiai diyakini akan mampu mengiring umat ke bilik suara dan memilih nama
yang disebut-sebut oleh kiai sebagai orang yang amanah.
Masih ingat pada musim kampanye pemilu 1977,
Kiai Bisyri Syamsuri, seorang kiai sekaligus ketua Majelis Pertimbangan Partai
PPP memberi fatwa bahwa setiap muslim diharuskan memilih PPP. Saya yakin masih
banyak contoh peristiwa yang sudah dan akan terjadi.
Fenomena inilah yang membuat kiai dan
pesantren serta komunitas/organisasi keagamaan terus diyakini para politikus
dan calon pemimpin, dan seolah-olah dukun politik selalu segar dan mampu
memberikan celah bagi kesuksesan politik. Akhirnya dalam dunia politik, semua menjadi
sah. Wallahu a’lam bissawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar