Kamis, 06 September 2012

Dukun Politik dan Pilkada

Dukun Politik dan Pilkada
Matdon ;  Budayawan, Tinggal di Bandung
SINAR HARAPAN , 04 September 2012


Paranormal atau praktik supranatural, atau perdukunan, adalah istilah yang sulit dijelaskan secara ilmiah dan rasional, walaupun kemudian ada yang membedakan antara paranormal, supranatural, dan dukun.

Namun definisi itu tidak penting lagi, karena yang lebih penting tapi sering terabaikan dalam dunia politik adalah hadirnya banyak dukun yang memghampiri dan “ikut campur” memengaruhi kebijakan roda politik di negeri ini.

Sejumlah provinsi di Tanah Air sedang dan akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Spanduk-spanduk dan baliho kampanye para bakal calon (balon) sudah berserakan di sudut-sudut kota.

Tentulah dukun-dukun profesional sudah mulai ramai dikunjungi. Nasihat dan jampi-jampi para dukun ini akan menjadi awal karier politik mereka. Mudah-mudahan para calon gubernur tidak mendatangi dukun, sebab jika ini terjadi, berarti mereka telah berupaya menodai demokrasi dan merusak nilai-nilai agama yang akan berpengaruh buruk kepada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bayangkan, jika nanti seorang gubernur adalah hasil dari penerawangan dukun (meski secara kasat mata tetap melalui pencoblosan pilkada), bayangkan pemimpin warga Jabar dipimpin oleh orang yang percaya pada kekuatan “gaib” dukun.

Sungguh pemimpin yang tidak percaya diri, kemusyrikan politik semacam ini akan menjadi ancaman serius bagi upaya pembersihan akidah umat. Padahal percaya pada partai politik sudah mampu merusak akidah seseorang, apalagi percaya pada dukun.

Saya teringat kisah nyata seorang calon bupati di Provinsi Jawa Barat yang mendatangi dukun, meminta nasihat, dan “pandangan” masa depan soal kepemimpinan dirinya.

Dengan yakin si dukun memberi petuah bahwa dia akan menjadi bupati jika berpasangan dengan si A dari partai anu. Menurut sang dukun, orang itu akan datang tepat ketika calon bupati pulang dari rumah dukun.

Ketika pulang dan sampai di rumah, ternyata yang dikatakan sang dukun benar, orang itu sudah berada di rumahnya.

Dengan dialog seadanya serta “keyakinan politis” orang itu menjadikan si A wakil bupati. Hingga kini konon mereka menjadi bupati dan wakilnya. Saya tidak tahu apakah dalam perjalanan kepemimpinan mereka benar-benar mulus sesuai keinginan warganya atau tidak.

Ini sebuah fakta bahwa menggunakan jasa dukun untuk memuluskan pemilihan kepala daerah saat ini sudah bukan rahasia lagi. Paling tidak hal ini juga disampaikan Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar. “Praktik mistik dan dukun laris di pilkada," Umar mengatakan hal itu pada Januari 2012.

Dukun Politik

Sebenarnya ada dukun lain yang memengaruhi politik di negeri ini, yakni dukun politik. Dukun politik ada tiga jenis. Pertama, dukun politik berjenis pengamat politik. Kedua, dukun politik jenis hasil survei. Ketiga, dukun politik jenis kiai/ulama/tokoh masyarakat.
Lihatlah para pengamat politik di tv-tv atau koran. Sama halnya dengan pengamat sepak bola, mereka begitu hebat mengumbar opini. Pengamatan para pengamat politik ini luar biasa. Mereka bisa mengatakan “Jika si A berpasangan dengan si B maka kejadiannya akan seperti ini, nah jika si X jadi dengan si Y maka akan menjadi begitu”.

Keyakinan itu terus meluncur, orasi politik yang memakai logika dan seabrek teori dikeluarkan. Pendapat dan pengamatan mereka inilah kemudian yang akan menjadi “dukun” bagi calon pemimpin yang merasa diuntungkan. Pengamatan politik mereka dipercayai sebagai sebuah doa dan dukungan yang akan memuluskan salah satu calon. Inilah kemusyrikan politik itu.

Lalu dukun politik jenis survei. Hasil sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga tertentu 
(entah survei bayaran calon atau bukan) menjadi instrumen efektif untuk melihat opini publik. Sebuah riset survei pilkada biasanya digunakan sebagai alat oleh calon pemimpin dalam memahami dukungan terhadap dirinya, dan tentu saja untuk mendengus isu-isu aktual dari lawan politiknya.

Hasil survei selalu akan menjadi bahan perumusan strategi pemenangan yang efektif dan efisien bagi calon wali kota, gubernur, bahkan presiden. Dukun politik jenis survei ini menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir, terutama saat memasuki pilkada. Para calon pemimpin akan “menyembah” hasil survei dan bahkan menjadikannya “Tuhan” ketika terbukti ia menang.

Ketiga, dukun politik jenis kiai/ulama/tokoh masyarakat. Ini sudah dilakukan sejak zaman Orde Baru (Orba), karena disadari atau tidak keberhasilan seseorang atau partai politik harus memiliki dukungan massa yang banyak, dan itu berada pada tokoh berbasis massa di pondok pesantren.

Kiai sebagai tokoh masyarakat sering kali menjadi lahan sasaran empuk para politikus dalam membangun basis dukungan politik karena dianggap memiliki kemampuan luar biasa dalam menggerakkan masyarakat.

Sejak Orba, suara kiai dan santri menjadi rebutan dalam pemilu dan masih berlangsung hingga hari ini, bahkan tidak jarang partai politik menjadikan kiai dan tokoh masyarakat pada jajaran pengurus partai, untuk kemudian akhirnya ada juga kiai yang menjadi ketua partai politik.

Dengan memakai jasa kiai untuk ceramah dan memberi fatwa di depan jemaahnya yang diselipi ayat-ayat suci dan hadis, tentu ini merupakan bekal moral yang tak ternilai harganya bagi calon gubernur. Fatwa seorang kiai diyakini akan mampu mengiring umat ke bilik suara dan memilih nama yang disebut-sebut oleh kiai sebagai orang yang amanah.

Masih ingat pada musim kampanye pemilu 1977, Kiai Bisyri Syamsuri, seorang kiai sekaligus ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP memberi fatwa bahwa setiap muslim diharuskan memilih PPP. Saya yakin masih banyak contoh peristiwa yang sudah dan akan terjadi.

Fenomena inilah yang membuat kiai dan pesantren serta komunitas/organisasi keagamaan terus diyakini para politikus dan calon pemimpin, dan seolah-olah dukun politik selalu segar dan mampu memberikan celah bagi kesuksesan politik. Akhirnya dalam dunia politik, semua menjadi sah. Wallahu a’lam bissawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar