Membangun Asa
dari Krisis Global
Joseph Henricus Gunawan ; Alumnus
University of Southern Queensland
(USQ), Australia
|
SUARA
KARYA , 05 September 2012
Krisis utang di zona euro sampai sekarang belum berakhir dan
perekonomian zona euro semakin parah. Gejolak finansial yang berawal dari
krisis utang di Yunani itu, kini semakin meluas dan menyeret negara-negara
pemakai euro ke dalam jurang resesi. Belum terlepas dari gejolak krisis finansial
Spanyol yang berada di peringkat keempat negara yang menguasai perekonomian
zona euro dan peringkat ke-12 kekuatan ekonomi dunia, masalah kebangkrutan
mulai semakin meluas ke Siprus yang menjadi negara selanjutnya yang terkena
efek domino dari krisis utang.
Krisis finansial zona euro yang semakin membelit serta belum
menemukan titik terang penyelesaiannya, justru kian mencemaskan pasar dan
kawasan zona euro serta dunia. Mendung kelabu ekonomi global kian menggantung.
Apalagi, setelah Italia, yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar
ketiga di zona euro, kian terancam menjadi korban krisis finansial dalam zona
euro. Sebelumnya, ada beberapa negara zona euro yang telah terkena badai
krisis, yakni Yunani, Irlandia, dan Portugal.
Bahkan, tingkat pengangguran di zona euro menembus rekor tertinggi
baru pada Mei 2012, yakni 11,1 persen. Sebanyak 17,56 juta jiwa kehilangan
pekerjaan di 17 negara zona euro sepanjang bulan Mei 2012, terutama di Prancis
dan Spanyol. Badan Statistik Uni Eropa (UE) atau Eurostat menyatakan bahwa data
tersebut adalah rekor baru sejak 1995. Eurostat melaporkan bahwa jumlah warga
zona euro yang kehilangan pekerjaan bertambah hampir 2 juta jiwa dalam 14 bulan
terakhir ini.
Momentum Indonesia
Indonesia dengan struktur pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh
konsumsi domestik dan ekspor produk manufaktur yang didominasi komoditas
setengah jadi seperti minyak sawit mentah (CPO/Crude
Palm Oil), hortikultura, agribisnis, dan kelompok usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM) seharusnya dapat memanfaatkan momen peluang di tengah
memburuknya krisis ekonomi yang melanda Eropa dan ekonomi China yang mulai
melambat (slow down). Apalagi,
tingkat pertumbuhan ekonomi zona euro rendah pada beberapa bulan ke depan,
bahkan bisa terjadi kontraksi pada periode Juli-September 2012. Walaupun,
kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Uni Eropa di Brussels, Belgia,
akhir Juni lalu dinilai berhasil meringankan beban negara-negara yang menjadi
korban zona euro sekaligus mengurangi kecemasan pasar.
Kepala Dewan Eropa, Herman Achille Van Rompuy menyatakan bahwa
rekapitalisasi langsung dari dana talangan sebesar 500 miliar euro baru akan
bisa diimplementasikan sesudah terbentuk satu badan khusus yang akan ditugasi
Uni Eropa sebagai mitra kerja Bank Sentral Eropa (ECB) untuk mengawasi
perbankan seluruh Eropa.
Para pemimpin dari 27 negara anggota UE sepakat mengizinkan dana
penyelamatan bernama Mekanisme Stabilitas Eropa (ESM) diaktifkan menggantikan
Fasilitas Stabilitas Keuangan Eropa (EFSF) untuk memulihkan kembali kepercayaan
pasar, menstabilkan utang pemerintah negara-negara anggota UE sekaligus
mengendalikan pasar finansial atau untuk menurunkan bunga surat utang anggota
yang bermasalah. Antara lain, dengan membeli langsung surat utang anggota yang
bermasalah tanpa mewajibkan anggota mengadopsi kebijakan pengetatan anggaran
atau disiplin fiskal. Ini diharapkan akan banyak mengangkat negeri Matador dan
Italia dari ketidakpercayaan pasar pada kemampuan pelunasan utang kedua negara.
Namun, Finlandia dan Belanda, kreditor garis keras di zona euro
bersikukuh mementahkan kesepakatan KTT Uni Eropa tersebut. Jerman pun menolak,
bahkan Kanselir Jerman, Angela Dorothea Merkel menekankan betapa kebangkrutan
dan pil pahit harus ditelan negara-negara zona euro untuk membuka jalan,
memperbaiki disiplin ekonomi, dan mengatasi akar masalah di zona euro. Krisis
zona euro masih jauh dari berakhir.
Oleh karena itu, Indonesia harus mewaspadai imbas krisis utang dan
penurunan pertumbuhan ekonomi di Eropa yang telah mengerem laju perekonomian
AS, dapat meluber berdampak pada krisis global dan berisiko besar menghambat
pertumbuhan ekonomi dunia mengingat tren pelemahan ekspor Indonesia sebagaimana
tercermin defisit dalam nilai neraca perdagangan Indonesia selama 3 bulan
berturut-turut sejak April 2012.
Indonesia yang didukung dengan kekayaan sumber daya alam yang
begitu melimpah ruah, konsumsi domestik yang kuat dengan jumlah penduduk 237,56
juta jiwa, investasi yang tumbuh pesat, serta fiskal yang sehat, niscaya dunia
masih tetap melirik Indonesia. Dunia pasti melirik potensi ekonomi Indonesia
yang masih bisa bertumbuh untuk jangka panjang apabila pemerintah sukses
membenahi birokrasi, mempercepat pembangunan infrastruktur sekaligus
menyelesaikan persoalan ketersediaan sumber daya energi yang kurang memadai,
menurunkan berbagai ekonomi biaya tinggi.
Pemerintah dengan
langkah sistematik harus memfasilitasi pengembangan sumber daya manusia (SDM)
yang cakap, mampu, cekatan, sehat, inovatif, dan menguasai iptek, sekaligus
memfasilitasi pengusaha nasional mengubah mindset,
orientasi, strategi bisnis dari lokal dan regional menuju global serta mampu
menaikkan daya saing. Selain itu, pemerintah harus memperbaiki law enforcement
dan menyediakan kepastian hukum bagi pelaku dunia usaha dengan segera
merampungkan regulasi, perbaikan transmisi kebijakan keuangan serta kebijakan
energi, kebijakan industri nasional, kebijakan investasi pada sektor ekonomi
rakyat produktif, dan krusialnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Hal ini penting agar mampu memicu pertumbuhan berkualitas
dan pemerataan ekonomi yang berakselerasi, bisa melaju, dan berlari lebih
kencang lagi mengejar ketertinggalan dari negara lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar