Pemberantasan
Korupsi di Ibu Kota
Jimmy Muhamad Rifai Gani ; Mason
Fellow,
Harvard
Kennedy School of Government
|
KOMPAS,
06 September 2012
Ruangan kelas mendadak hening. Hadirin yang ada
di dalam ruangan tertegun dan saling memandang, menandakan kebingungan.
Melihat kondisi seperti itu, sang fasilitator
diskusi, Profesor Matt Andrews, kembali memperkenalkan Ronald MacLean, mantan
Wali Kota La Paz, ibu kota Bolivia, yang menjadi subyek diskusi. Rupanya, saat
pertama kali diperkenalkan, peserta kurang jelas siapa yang sedang
diperkenalkan tersebut. Setelah jelas, gemuruh tepuk tangan pun menggema di
dalam ruangan itu.
Itulah merupakan cuplikan peristiwa dalam
kelas Program Mason Mid Career Master of
Public Administration di Harvard Kennedy School of Government (HKS),
Cambridge, Amerika Serikat. Program andalan HKS tahun ini menyatukan 82
mahasiswa dari 44 negara berkembang yang secara profesi telah berpengalaman
dalam berbagai sektor, seperti birokrasi, legislasi, dunia usaha, LSM, dan
media massa. Dalam kesempatan itu, pembahasan berkisar mengenai korupsi yang
merupakan masalah umum di hampir seluruh negara berkembang.
Sebelum Ronald MacLean diperkenalkan, terjadi
diskusi hangat mengenai studi kasus (ditulis oleh Esther Scott untuk Merilee
Grindle dan John Thomas, 1999) wali kota La Paz yang berhasil membawa perubahan
signifikan mulai tahun 1985. MacLean terpilih September 1985 pada saat Bolivia
sedang menghadapi masa sulit dalam perekonomian, ditandai inflasi hingga 24.000
persen per tahun.
Keberanian
MacLean digambarkan sebagai seorang wali kota
yang baru saja terpilih langsung oleh rakyat secara demokratis dengan dukungan
penuh dari presiden yang juga baru terpilih. Mereka berasal dari partai yang
sama, bahkan sang presiden yang memintanya ikut serta dalam pilkada. Sebagai
anak muda berusia 36 tahun pada saat itu, banyak harapan ditampukkan di pundak
MacLean yang antusias untuk memimpin perubahan ini.
Kenyataan yang harus dihadapi MacLean
mengenai kantor barunya sungguh di luar perkiraan: kotor dan tidak terpelihara,
tidak ada kertas, pesawat telepon tidak jalan, lampu mati. Mobil dinas wali
kota pun hanya sebuah truk tua buatan 1978 dengan kaca pecah. Pendapatan kota
tidak cukup untuk membayar gaji karyawan setiap bulannya. Laporan keuangan dan
rencana anggaran tidak dapat ditemukan.
MacLean tertegun dengan kenyataan yang harus
ia hadapi. Dengan masa bakti dua tahun, dia harus cepat membuktikan perubahan
yang ia dengungkan.
MacLean tidak membuang waktu. Dia hadapi
serikat pekerja dan memberikan gambaran kenyataan kondisi keuangan kota yang
memprihatinkan dan perlunya perubahan secara drastis. Dia pun berhasil
meyakinkan serikat pekerja agar menerima keputusan wali kota memberhentikan 2.000
pegawai pemerintahan kota.
Langkah kontroversial tersebut mendapat
tantangan publik dan disorot secara negatif oleh media. MacLean tetap bergeming
pada keputusannya. Sebagai pejabat publik yang dipilih langsung, dia merasa
mendapat legitimasi penuh dari rakyat untuk berbuat kebaikan.
Keuangan pemerintahan kota membaik dengan
cepat. Bank Dunia menawarkan bantuan untuk membangun kembali ekonomi La Paz.
Tawaran itu tidak disia-siakannya. Selain bantuan pinjaman, dia pun meminta dan
mendapatkan bantuan dana agar bisa merekrut orang-orang terbaik membantunya
memperbaiki kinerja pemerintahan kota. Segera setelah mendapatkan tim
profesional, MacLean menerapkan langkah perbaikan lainnya.
Tim MacLean berkesimpulan, masalah terletak
bukan hanya pada mismanajemen, melainkan justru pada korupsi. Perubahan pun
dilakukan pada sektor pekerjaan umum, pajak dan pendapatan asli kota, izin dan
lisensi, serta pengadaan. MacLean memastikan bahwa jasa publik dapat diperoleh
dengan tingkat kepastian tinggi. Kompetisi dicanangkan agar kota mendapatkan
jasa dengan penawaran terbaik dari rekanan. Langkah-langkah ini memudarkan
kebutuhan terhadap calo-calo yang biasanya jadi penengah memuluskan izin
ataupun mendapatkan proyek pemerintah.
MacLean membeberkan bahwa kunci keberhasilannya
dalam memberantas korupsi secara sistematis tersebut karena dia membuka simpul
monopoli dengan menerapkan kompetisi, menghilangkan ketidakjelasan, dan
menerapkan akuntabilitas. Suatu isu universal yang diformulasikan sebagai
korupsi sama dengan monopoli, ditambah ketidakjelasan, lalu dikurangi
akuntabilitas.
Pemimpin Jakarta
Masyarakat Jakarta saat ini sedang mencari
gubernur untuk lima tahun ke depan. Tentunya kasus di atas tidak bisa
diterapkan secara utuh.
Jakarta adalah Jakarta yang penuh dengan problematika
pelik. Satu hal yang pasti, masyarakat menanti perubahan yang bisa memperbaiki
kehidupannya: akses pada pendidikan dan jasa kesehatan yang baik dan
terjangkau, serta transportasi dan perumahan yang manusiawi.
Mudah-mudahan pilkada kali ini bisa menghasilkan
pemimpin yang amanah dan berani mengubah Ibu Kota menjadi tempat yang lebih
layak bagi kehidupan masyarakatnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar