Kuasa Oligarki
Airlangga Pribadi ; Pengajar
di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
06 September 2012
Salah satu masalah genting dalam proses
pelembagaan politik di Indonesia adalah bahwa setiap penataan institusi politik
era pascaotoritarianisme mengasumsikan proses politik sebagai ruang yang hampa
dari kehadiran kuasa, kepentingan, dan pertarungan politik di dalamnya.
Salah satu bukti kegagalan proses
institusionalisasi demokrasi: dalam 14 tahun era reformasi, negeri kita tak
mampu membendung tumbuh dan menguatnya kekuasaan oligarki yang berumah di
partai politik. Kekuasaan oligarki adalah persekutuan kekuatan bisnis besar dan
elite politik, dari tingkat nasional sampai lokal, yang secara terpusat
mengontrol dan memanfaatkan proses politik demokrasi melalui arena legislatif
ataupun eksekutif bagi kepentingan ekonomi-politik sendiri.
Dalam memandang politik sebagai perjuangan
tiap orang secara kolektif merealisasikan kebaikan bersama, problem dari
keberadaan oligarki ini tak saja terkait dengan kehadiran gejala politik
dinasti ketika kekuasaan politik terpusat pada hubungan kekerabatan dengan
elite politik utama dan mereka yang dapat restu darinya. Lebih dari itu, penguasaan
arena politik dan artikulasinya semata-mata bagi kepentingan bisnis politik
dari kekuatan oligarkis—melalui parpol—ini telah membuat setiap langkah parpol
kian menjauh dari agenda publik. Mereka membangun relasi-relasi yang secara
eksklusif hanya bersinggungan dengan kepentingan mereka. Juga menjauhkan
elitenya dari tanggung jawab sosial untuk mengawal agenda kerakyatan.
Dilema politik modern ini mengingatkan kita
pada ulasan Profesor (sejarah politik) Christopher Lasch dalam The Revolt of
The Elites and the Betrayal of Democracy. Baginya, persoalan dalam politik
kontemporer tidak muncul dari penolakan kaum marjinal dan miskin karena rasa
frustrasi mereka atas berlangsungnya proses politik demokrasi.
Mengisolasi Diri
Problem utama muncul dari penolakan kaum
elite aristokratik modern memperjuangkan demokrasi sebagai idealitas dan amanah
bagi seluruh warga negara dengan segenap aspirasi dan kebutuhannya. Dalam
perkembangan politiknya, kaum aristokrat-oligark ini mengisolasi diri pada
enklave dan ruang jejaring elitis yang sejalan dengan kepentingan sempit
mereka.
Gambaran inilah yang tampil dari kuasa kaum
oligark pada parpol Indonesia. Tiadanya prioritas kebijakan dalam arus politik
dari tingkat nasional maupun lokal (baik di sektor pertanian, perburuhan,
pedagang kecil sektor tradisional, maupun kelompok sosial marjinal lain di era
pasca-otoritarianisme) berakar pada persoalan oligarki bisnis-politik yang
menggurita dari nasional sampai ke lokal.
Baik pada konteks kebijakan pertanian bagi
kalangan petani miskin, dalam arsitektur kebijakan pasar yang semestinya
berpihak pada pedagang kecil tradisional, maupun dalam relasi industrial untuk
kepentingan kaum buruh, kita menemukan bahwa simpul-simpul utama sektor
produktif bagi mayoritas kalangan masyarakat miskin di Indonesia ini tak
bersinggungan dengan kepentingan aliansi bisnis- politik dari kaum oligark yang
berumah di partai politik.
Pada sektor pertanian kita menyaksikan
naiknya angka kemiskinan masyarakat desa yang berbanding terbalik dengan
penurunan angka kemiskinan nasional. Apabila berpijak pada indikator ekonomi
2009, angka kemiskinan nasional sebesar 32,53 juta jiwa (14,5 persen) menjadi
31,02 juta jiwa (13,32 persen) pada 2010, kontras dengan angka kemiskinan
pedesaan yang naik dari 63,35 persen menjadi 64,23 persen pada kisaran tahun
yang sama (Khudori, 2011).
Di sektor pengelolaan pasar, kita menyaksikan
sejak tahun 2006 pertumbuhan pasar modern yang naik 31,4 persen, berbanding
terbalik dengan turunnya pasar tradisional sampai pada level-8 persen. Meskipun
keberadaan pasar modern tak identik tergerusnya pasar tradisional, minimnya
perhatian terhadap infrastruktur ataupun dukungan modal yang tak terlepas dari
kebijakan politik menjadi persoalan utama (AC
Nielsen, 2006; Adri Poesoro, 2007).
Sementara itu, pada wilayah perburuhan, kaum
buruh menghadapi desain pasar tenaga kerja yang cenderung meminggirkan peran
negara dan membiarkan buruh dalam relasi industrial dengan pengusaha. Segenap
problematika ekonomi-politik yang dihadapi lapisan sosial masyarakat akar
rumput ini tak terlepas dari persoalan struktural ekonomi-politik.
Pada konteks relasi bisnis-politik, oligarki
nasional sampai lokal yang berpusat di partai dan menjadikan parlemen dan
eksekutif sebagai instrumen, kepentingan mereka lebih berimpit dengan
aktor-aktor ekonomi berskala besar di sektor finansial, ritel, real estate, dan
modal asing—terutama di wilayah pertambangan—daripada bersinggungan dengan
kepentingan ekonomi-politik masyarakat bawah yang mengalami proses pemiskinan
struktural.
Menghadapi realitas ini, tidaklah
mengherankan bahwa di bawah belenggu kuasa oligarki, proses politik demokrasi
berhenti menjadi proses pemerdekaan kepentingan mayoritas warganya sendiri.
Kuota Akar Rumput
Dilema yang muncul berkaitan dengan proses
demokrasi yang tengah berjalan di Indonesia adalah bahwa pusaran kekuasaan kaum
oligark justru bersarang pada parpol yang menjadi basis dari demokrasi kita.
Artinya, solusi fundamental terhadap persoalan penyanderaan kepentingan rakyat
oleh kuasa oligarki dalam proses politik di Indonesia mau tak mau harus
melibatkan proses perombakan desain pelembagaan politik yang lebih sensitif
terhadap problema kuasa, kepentingan, dan dominasi kaum oligarki di dalamnya.
Patut dipikirkan jalan membendung kekuasaan
oligarki politik melalui pendisiplinan parpol dan segenap pelembagaan politik
demokrasi dengan menampilkan kekuatan sosial akar rumput sebagai subyek politik
konkret dalam demokrasi representatif. Saya menawarkan solusi pemberian kuota
politik yang sejalan dengan pendekatan tindakan afirmasi politik (seperti kuota
representasi perempuan) dengan memberikan kuota politik minimal 20 persen bagi
kekuatan produktif masyarakat akar rumput di setiap parpol. Sebutlah seperti
petani, buruh, dan pedagang tradisional. Bisa juga melalui model utusan
golongan untuk duduk sebagai legislator di level nasional sampai lokal.
Dengan memasukkan representasi kekuatan
politik kaum miskin, secara organik terbuka peluang politik untuk
memperjuangkan kepentingan mereka di level kebijakan sebagai penyeimbang dari
praktik kuasa oligarki. Maka, perjuangan ini akan mengubah wajah demokrasi kita
dari sekadar memilih pemimpin menjadi institusi yang melayani kehendak warga
yang memimpikan pembangunan sebagai proses pemerdekaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar