Ideologi Pasar
Penanganan Kemiskinan
Bagus Aryo ; Pengajar dan Peneliti Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial
FISIP UI
|
REPUBLIKA,
18 September 2012
Telah
terjadi pergeseran yang signifikan dalam praktik pembangunan dari pendekatan
yang diarah kan oleh negara menjadi pendekatan yang diarahkan oleh pasar.
Fenomena ini membenamkan neoliberalisme ke pusat strategi pembangunan dan
penanganan kemiskinan.
Selain
itu, para pendukung neoliberalisme menandaskan bahwa neoliberalisme merupakan
kerangka “pamungkas” bagi kebijakan. Sebagai mana pendapat banyak orang,
neoliberalisme secara ringkas berarti negara hanya berperan minimal dalam
urusan sosial dan ekonomi (MacEwan, 1999;
Willis, 2005).
Dalam
pendekatan neoliberal, ekonomi pasar perlu diimplementasikan untuk menangani
kemiskinan. Kaum neoliberal berpendapat, melalui dinamika pasarlah individu
benar-benar dimungkinkan untuk mengejar kepentingan dirinya.
Dalam
neoliberalisme, tiap individu harus bertanggung jawab atas nasibnya sendiri.
Program penanganan kemiskinan neoliberal berfokus pada kapasitas individual dan
kebutuhan masyarakat miskin yang memosisikan individu sebagai pokok masalah
sekaligus solusi.
Secara
umum, ada dua pendekatan utama dalam penanganan kemiskinan, yaitu pendekatan
“tradisional” dan pendekatan berbasis pasar. Pendekatan “tradisional” melawan
kemiskinan kerap memusatkan perhatian pada masyarakat sangat miskin. Pendekatan
ini berangkat dari asumsi bahwa mereka tidak mampu membantu dirinya sendiri
sehingga memerlukan amal dan bantuan sosial.
Sebaliknya,
pendekatan berbasis pasar dimulai dari pengakuan bahwa menjadi miskin tidak
menghilangkan proses komersial dan pasar. Hampir semua rumah tangga miskin
melakukan perdagangan atau menjadi buruh untuk memenuhi sebagian besar
kebutuhan dasar mereka. Dengan demikian, penanganan kemiskinan berbasis pasar
berfokus pada masyarakat sebagai konsumen, produsen, sekaligus solusi yang
dapat membantu dirinya sendiri untuk lolos dari jerat kemiskinan melalui
partisipasi aktif di pasar.
Pendekatan
“tradisional” juga cenderung berusaha memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi
dalam hal kesehatan, air bersih, atau kebutuhan dasar lainnya melalui investasi
publik langsung, subsidi, atau pemberian lainnya. Sedang pendekatan berbasis
pasar mengakui masyarakat miskin memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi dan
kemauan untuk membayar barang dan jasa.
Solusi-solusi
pendekatan berbasis pasar mungkin tetap melibatkan upaya pengembangan pasar
yang mirip dengan pola pendekatan tradisional, yaitu strategi bisnis hybrid
yang memasukkan pendidikan konsumen atau bentuk-bentuk lain pembangunan
kapasitas, kredit mikro, pembiayaan konsumen, atau subsidi silang antara kelompok-kelompok
berpendapatan berbeda, dan kemitraan dengan sektor publik atau dengan LSM.
Simpulan
yang paling penting menurut neoliberal, pendekatan tradisional tidak mengarah
pada solusi yang berkelanjutan, sedangkan pendekatan yang berorientasi pasar
mengakui hanya solusi berkelanjutan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
miskin.
Untuk
Indonesia, hampir seluruh program penanganan kemiskinan mainstream (yang
berasal dari negara) merujuk pada model yang berbasis pasar. Dapat dilihat dari
karakteristiknya, seperti meng-install
semangat kompetisi pada tingkat perdesaan miskin walaupun pada akhir kompetisi
mereka kalah bersaing dari desa yang lebih baik, resources alam, dan SDM untuk memperebutkan dana bantuan
kemiskinan.
Juga, mendorong pelembagaan sistem keuangan mikro, tapi alih-alih
hanya sebatas diajarkan berutang dengan baik dan benar. Masih ditambah dampak
negatif yang muncul, seperti pola hidup konsumtif.
Bagaimana Selanjutnya?
Perlunya political will dari para pembuat kebijakan
untuk memutus mata rantai neoliberalisme dalam penanganan kemiskinan, khususnya
yang berdampak negatif. Hal ini sangat penting walaupun terkesan sulit karena
neoliberalisme telah menjadi “pegangan” dalam pembuatan kebijakan di republik
ini. Kebijakan yang prorakyat, termasuk di dalamnya penangangan kemiskinan,
harus dapat diarahkan untuk menyejahterakan rakyat.
Para pelaksana program penanganan kemiskinan di lapangan
dapat didorong untuk mengadaptasi mekanisme program. Tidak dapat dimungkiri,
fasilitator di lapangan mempunyai diskresi terhadap pelaksanaan program
penanganan kemiskinan. Studi yang dilakukan oleh Agus Eko Nugroho dkk (2011)
dari LIPI dan UI menunjukkan bahwa fasilitator/pelaksana program penanganan
kemiskinan umumnya mengambil inisiatif “kewenangan” untuk memodifikasi program
sesuai kondisi sosial, ekonomi, dan budaya setempat.
Terakhir, mengembangkan program penyadaran dan
pemberdayaan yang dapat dilakukan civil society terhadap masyarakat
miskin agar mereka mempunyai kemampuan untuk melindungi diri dan keluarga dari
cengkeraman neoliberalisme ketika tergabung dalam program penangangan
kemiskinan “mainstream”, seperti
menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, serta kepedulian
terhadap sesama dengan tetap memperhatikan atau mengharapkan social benefit selain
economic benefit semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar