Kamis, 13 September 2012

Nasionalisme Melintasi Batas


Nasionalisme Melintasi Batas
Achmad Adhitya; Kandidat Doktor Bidang Kelautan di Universitas Leiden, Belanda; Penerima Indonesian Diaspora Awards : Youth Activism 2012
MEDIA INDONESIA, 12 September 2012
Bandingkan dengan artikel Achmad Adhitya di Jawa Pos 12 September 2012



PERTEMUAN APEC yang dilaksanakan di Vladivostok barubaru ini hanyalah salah satu dari pertemuan internasional yang rutin digelar untuk melakukan koordinasi ataupun kerja sama antarnegara di dunia. Ada kesadaran bahwa kekuatan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan militer yang ada di dunia sekarang ini tidak lagi bisa berdiri sendiri, tetapi bergerak seperti jaring yang saling mengikat dan membutuhkan satu sama lain. Hal itu menunjukkan kekuatan suatu negara tidak bisa dibangun hanya dari dalam negara itu sendiri, tapi juga harus dibangun dari luar negeri.

Negara-negara Barat telah menyadari hal tersebut sejak dulu sehingga mereka memperluas basis ekonomi, militer, dan politik di luar batas negara. Dari situ mereka kemudian membangun sebuah sinergi yang sangat kuat antara sumber daya manusia yang mereka miliki di dalam dan di luar negeri. Kesadaran yang sama kemudian muncul di India dan China. Garry Peterson, dalam The Economist  edisi 21 November 2011, memetakan kekuatan diaspora India dan China hampir di 20 negara di dunia. Hal yang menarik ialah kedua negara itu benar-benar membangun sinergi kekuatan sumber daya manusia mereka yang berada di luar dan di dalam negeri.

Sebuah konsep nasionalisme baru yang sangat baik dibangun China pada akhir abad ke-19 melalui kebijakan open door policy. Itu dibarengi reformasi ekonomi oleh Deng Xiaoping yang memperbolehkan generasi baru meninggalkan China dan mengundang generasi lama yang sudah makmur untuk kembali ke China dan berinvestasi ekonomi di China. Naisbit mencoba melukiskan metode tersebut bahwa ada pergeseran jaringan kerja orang-orang China tidak hanya dari dalam negeri ke luar negeri, tetapi juga dari luar negeri ke dalam negeri. Hasilnya? Bisa ditebak, China menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang begitu mengagumkan.

Strategi China yang berhasil itu kemudian diikuti India. Walaupun tidak sama persis, India terus mengonsolidasikan kekuatan sumber daya manusia mereka. Banyak perantau India yang bekerja di luar negeri memulai pekerjaan dengan upah rendah di berbagai perusahaan di seluruh dunia. Setelah belasan atau puluhan tahun, mereka mulai menapaki kesuksesan dengan membangun tidak hanya jaringan sumber daya manusia yang kuat, tetapi juga kekuatan ekonomi. Ketika berhasil, mereka mulai melakukan multiplikasi bisnis serupa di negara sendiri. Karena itu, tidak mengherankan jika IT Industrial Park yang dibangun di Bangalore bisa berkembang pesat karena praktis hampir menggunakan jaringan sumber daya manusia yang sama, yakni sesama orang India. Hasilnya pun bisa ditebak, India menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang diperhitungkan.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sebagai salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa lebih, Indonesia menem pati negara berpenduduk keempat terbesar di dunia. Penduduk tidak hanya menunjukkan jumlah populasi suatu negara, tapi juga potensi tenaga kerja dan potensi pasar konsumen yang penting. Artinya, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan pasar dalam negeri dengan distribusi produk dalam negeri buatan sendiri. Pertanyaan yang sering muncul ialah apakah kita mampu menciptakan produk dengan kualitas tinggi dan mampu bersaing dengan produk asing sehingga kita bisa merebut pasar dalam negeri? Pada titik itulah diaspora Indonesia harus mampu mengambil peran.

Kita harus mulai menghentikan perdebatan perihal brain drain atau brain gain atau bahkan brain circulation. Kenapa? Sekarang ialah saat kita harus membuat rencana aksi untuk kemudian diikat dalam sebuah kebijakan yang memungkinkan untuk menarik potensi sumber daya manusia dan ekonomi Indonesia di luar negeri. Kemampuan menerapkan strategi penggalangan sumber daya manusia itu memiliki dua dampak penting nantinya buat bangsa Indonesia.

Pertama, kita akan mampu menciptakan produk buatan Indonesia dengan kualitas dunia. Kenapa? Sumber daya manusia Indonesia dengan kualitas dunia berserakan di banyak perusahaan, institusi, atau universitas terkenal di dunia. Keahlian mereka yang selama ini dimanfaatkan negara lain harus mampu dimanfaatkan bangsa kita sendiri. Artinya perlu ada insentif, pembangunan infrastruktur, dan rencana kerja yang jelas untuk menempatkan mereka ke dalam pusat-pusat industri dalam negeri. Hal itu tentu tidak mungkin terjadi secara instan, tapi harus berani dimulai saat ini juga.

Kedua, jika mampu menyinergiskan kekuatan diaspora Indonesia yang berada di luar negeri dengan di dalam negeri, kita bisa menaikkan citra dan posisi tawar bangsa di mata dunia. Indonesia tidak boleh hanya dikenal sebagai negara pengekspor tenaga kerja yang kemudian mendapat perlakuan tidak baik oleh negara lain. Kita juga harus mau dan harus bisa menunjukkan bahwa kita mampu mengekspor tenaga kerja terdidik dengan kemampuan kelas dunia. Dengan demikian, itu bisa menaikkan posisi tawar bangsa kita di mata dunia dan menguatkan kemampuan diplomasi Indonesia di mata dunia.

Baru-baru ini ada semacam kebangkitan baru dari luar negeri dan muncul beragam kepedulian besar dalam membangun serta menyinergiskan kemampuan diaspora Indonesia di luar negeri. Sebutlah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), Congress of Indonesian Diaspora (CID), dan masih banyak lagi. Itu menunjukkan bahwa momentum sudah mulai dibangun. Permasalahannya ialah tinggal bagaimana melakukan channeling dari momentum tersebut sehingga kekuatan-kekuatan diaspora di luar negeri itu kemudian bisa bertransformasi menjadi sebuah kekuatan ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya yang mampu mengangkat tidak hanya citra bangsa di luar negeri, tetapi juga kemampuan ekonomi, teknologi, diplomasi, dan budaya bangsa Indonesia. Saatnya kita bicara sebuah nasionalisme baru untuk Indonesia, nasionalisme yang tanpa batas.

1 komentar:

  1. Artikel bagus. Tapi setahu saya aneh kalau seorang kandidat doktor sampai 'repot2' mengirim ke dua koran nasional sekaligus untuk satu artikel yang kembar identik dan dimuat pada saat yang bersamaan. :D

    BalasHapus