Kamis, 13 September 2012

Kewargaan Multikultural yang Beradab


Kewargaan Multikultural yang Beradab
Muhammad Abu Nadlir ; Peneliti di Laboratorium FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
MEDIA INDONESIA, 12 September 2012


SEBUAH negara yang dikonstruksikan sebagai nation-state menempatkan diri di atas semua golongan, termasuk golongan-golongan yang lahir disebabkan perbedaan agama dan kepercayaan. Dalam negara-bangsa, setiap individu memiliki posisi yang sama di hadapan negara, walaupun agama dan kepercayaannya dianut mayoritas warga negara atau sebaliknya, dianut minoritas mereka. Namun, keidealan itu sering kali dinodai tindakan-tindakan ekstrem berbentuk kekerasan fisik akibat pandangan bahwa perbedaan ialah lisensi untuk membinasakan individu atau kelompok lain.

Nabi Muhammad SAW sesungguhnya telah memberikan teladan yang sangat mengagumkan dalam hal itu. Walaupun berhasil membangun komunitas muslim yang sangat kuat, karena menjadi kelompok mayoritas dan memiliki kekuatan militer tak tertandingi, Nabi tetap konsisten dengan kontrak sosial yang dibuat bersama dengan kelompok-kelompok pemeluk agama lain, di antaranya kalangan Kristen dan juga Yahudi. 

Nabi berhasil membangun sebuah tatanan negara yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok yang berbeda, baik disebabkan suku maupun agama, tetapi semua dapat hidup secara berdampingan. Itulah yang kemudian membedakan antara Mekah dan Madinah saat itu.

Mekah memiliki tingkat pluralitas tinggi karena terdapat banyak suku dan agama di sana. Namun, pluralitas itu tidak ditata dengan baik melalui kontrak sosial yang baik dan dipatuhi secara konsisten di antara mereka sehingga yang sering terjadi ialah perang urat saraf dan bahkan juga perang fisik yang memakan banyak korban.

Itu berbeda dengan masyarakat Madinah (semula bernama Yatsrib) yang kemudian ditata Nabi, berdasarkan kontrak sosial, sehingga kemudian menjadi sebuah kota yang aman, tenteram, dan mencapai peradaban yang disebut sebagian sosiologi melampaui zamannya. Di antara faktor penyebab keberhasilan bangunan negara Madinah di bawah kepemimpinan Nabi ialah ketegasannya dalam menegakkan kontrak sosial yang telah dibuat. Itulah sesungguhnya model bermasyarakat dan bernegara yang seharusnya kita wujudkan sekarang ini.

Jalan Mewujudkan

Untuk mewujudkan keberadaban masyarakat dalam sebuah negara bangsa yang di dalamnya terdapat keragaman budaya (multikultur), terutama yang disebabkan perbedaan agama, diperlukan beberapa pandangan konstruktif dan implementasinya secara konsisten.

Pertama, memandang bahwa perbedaan ialah fitrah. Tak ada satu kekuatan pun yang dapat menghalangi hadirnya individu atau kelompok yang berbeda, walaupun minoritas. Dalam konteks itu, prinsip-prinsip pluralisme menjadi sangat penting. Karena itu, seharusnya perbedaan tidak menjadi alasan untuk melakukan tindakan kekerasan, tetapi sebaliknya justru harus dijadikan sebagai alasan untuk saling mengenal (Al-Hujurat: 13) dan menyayangi yang bisa dilakukan dengan berbagai macam cara.

Kedua, mengakui prinsip kebebasan dengan segala konsekuensinya. Setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi yang dengannya akan menentukan arah hidup pilihannya. Islam memberikan tuntunan untuk memilih jalan hidup yang baik. Akan tetapi, Islam sama sekali tak membenarkan paksaan (Al-Baqarah: 256). Dalam konteks itu pula, Islam memberikan kebebasan untuk memilih beriman atau kafir sekalipun, tentu saja dengan konsekuensi balasan buruk nanti di akhirat (Al-Kahfi: 29). Alquran juga memberikan pandangan yang sangat demokratis dalam menentukan pilihan dengan menyatakan, `Seseorang yang melakukan kebaikan sesungguhnya melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang melakukan keburukan, sesungguhnya konsekuensi keburukan itu atas dirinya sendiri' (Al-Fushshilat: 46).

Ketiga, menghindari sikap dan perilaku sinkretis. Mengakui eksistensi kelompok lain tidak berarti mengakomodasi keyakinan mereka sehingga terjadi sinkretisme. Dalam konteks kepercayaan, Islam sangat simpel dalam memberikan panduan dengan garis tegas `untukmu agamamu dan untukku aga maku’ (Al-Kafirun: 6). Nabi sama sekali tak pernah memberi contoh bahwa perbedaan teologis ialah alasan untuk menyakiti dan melenyapkan nyawa seseorang. Konsekuensi penolakan terhadap ajakan kepada kebaikan tidak akan dibebankan atas pengajak, tetapi atas yang menolak ajakan tersebut (Al-Syu’ara: 214).

Keempat, melakukan dialog konstruktif. Domain agama yang dipraktikkan para penyerunya, bahkan dalam hal ini berlaku juga pada para utusan Tuhan, hanyalah mengimbau dan mengajak dengan jalan yang bijak, pesan-pesan yang baik, dan melakukan dialog konstruktif (Al-Nahl: 125). Itulah yang akan membuat tiap kelompok yang berbeda dalam masyarakat dapat menjalin komunikasi yang baik. Komunikasi itu tidak sekadar basa-basi jika dilanjutkan dengan kerelaan untuk mengetahui prinsip-prinsip dasar keyakinan masing-masing untuk melakukan sikap dan tindakan yang memiliki nilai fungsional tinggi. Misalnya saja, umat Islam memiliki keyakinan bahwa makanan berupa daging sembelihan baru berhukum halal dikonsumsi apabila disembelih dengan menyebut nama Allah.

Prinsip-prinsip seperti itu perlu dimengerti pemeluk agama non-Islam, demikian juga sebaliknya, agar tidak ada banyak hal yang menjadi mubazir atau tak berguna. Contoh sederhana, seorang muslim mungkin akan menerima daging dari tetangganya yang memeluk agama lain, tetapi hanya didasarkan pada sikap basa-basi agar tidak menyinggung perasaan. Namun, daging itu kemudian tidak memiliki fungsi karena kemudian tidak dimakan disebabkan mereka tidak meyakini bahwa hewannya disembelih dengan cara yang dibenarkan ajaran Islam.

Kelima, kepemimpinan yang tegas. Indikator kepemimpinan yang tegas ialah kepemimpinan yang mampu memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara, tanpa pandang bulu dengan melakukan langkah-langkah antisipatif. Ketika telah nyata-nyata terjadi pelanggaran hukum, para pelanggar tersebut harus dijatuhi hukuman yang setimpal tanpa adanya keraguan. Itulah yang dilakukan Nabi terhadap kelompok Yahudi di Madinah. Kalangan Yahudi yang sebelumnya menjadi bagian integral dalam masyarakat Madinah kemudian diusir, bukan karena perbedaan agama, melainkan karena mereka mengingkari kesepakatan dalam Piagam Madinah.

Ketegasan Nabi Muhammad diberlakukan atas kaum Yahudi dari Bani Qainuqa’ yang mengungkit-ungkit sentimen kesukuan untuk membuat suku Aus dan Khazraj berkonflik. Yahudi Bani Nadlir juga mendapatkan hukuman karena mereka berkonspirasi dengan kelompok munafik untuk memerangi Islam. Demikian juga yang dilakukan atas kalangan Yahudi Bani Quraidhah yang berkonspirasi dengan kaum musyrikin untuk memerangi Islam dalam Perang Khandaq. Kaum Yahudi yang tersisa dan kemudian tinggal di Khaibar juga mendapatkan hukuman berat karena melakukan kesalahan serupa.

Jika prinsip-prinsip dan tindakan tersebut telah terinternalisasi dengan baik dalam kehidupan masyarakat yang multikultural, perbedaan tidak akan menjadi penyebab nuansa konfliktual, tetapi justru akan menyebabkan keindahan dalam menjalani hidup bak bunga-bunga di taman. Sebuah taman akan menjadi lebih indah apabila terdapat banyak warna bermacam bunga di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar