Rabu, 12 September 2012

Krisis Air, Konservasi Lemah


Krisis Air, Konservasi Lemah
Siti Nuryati ;  Penulis Skenario Film Dokumenter tentang Lingkungan,
Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB
SUARA KARYA, 12 September 2012


Krisis air saat musim kemarau 2012 terjadi di sejumlah daerah, terutama di Pulau Jawa. Krisis air ini makin mengkhawatirkan dan di sejumlah daerah, penduduknya terpaksa menggunakan air comberan bau untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Krisis air semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk, degradasi lingkungan dan menurunnya ketersediaan air. Menurut kajian Bappenas (2005), untuk wilayah di luar Jabodetabek ditemukan sekitar 77 persen kabupaten/kota di Jawa memiliki 1-8 bulan defisit air dalam setahun.

Semua orang tentu berharap air seharusnya diperlakukan sebagai elemen yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap cemaran. Ekonomi modern menempatkan air sebagai elemen penting bagi beragam keperluan, seperti budidaya pertanian, industri pembangkit tenaga listrik, transportasi, wahana rekreasi, dan sebagainya.

Sayang, beragam persoalan timbul terkait penggunaan air. Ketidaksetaraan penggunaan air bersih terjadi di mana kelompok ekonomi lebih kuat punya akses lebih besar terhadap air bersih dengan hanya mengeluarkan dana relatif lebih kecil. Ironisnya, kelompok ekonomi lemah harus mengeluarkan dana lebih besar untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka. Sebagai contoh Bolivia, setelah perusahaan internasional Bechtel mengambil alih pengelolaan airnya, ternyata kaum miskin mengeluarkan 35 persen dari penghasilannya dan yang lebih miskin lagi harus mengeluarkan 75 persen dari penghasilannya untuk mendapatkan air bersih. Kondisi sama juga dialami penduduk Indonesia. Banyak perusahaan pengemasan air mengambil air dari mata air di kawasan Cijeruk, Sukabumi untuk diproses dan dijual menjadi air bersih kemasan. Ironisnya, air bersih itu menjadi sesuatu yang mahal dan langka bagi penduduk lokal di Cijeruk karena air tanah di sana telah disedot oleh perusahaan-perusahaan tersebut tanpa memikirkan ketersediaan dan kebutuhan bagi penduduk lokal yang miskin.

Sejak 1995, Jawa-Bali sudah dilanda defisit air permukaan. Hasil perhitungan menunjukkan, pada 2000 ketersediaan air permukaan hanya mencukupi 23 persen kebutuhan penduduk. Angka ini meningkat 35 persen dibanding defisit 1995. Bahkan pada 2015 diprediksi Pulau Jawa akan mengalami defisit air hingga 61 persen, lebih tinggi dibanding pada 2000. Hasil kajian Pawitan (1996) tentang keseimbangan air hidrologi di wilayah Indonesia, mengevaluasi total air yang tersedia dan total kebutuhan air dalam jangka panjang sampai 2020 beberapa wilayah Indonesia yang terkategori krisis.

Daerah itu, antara lain, DKI Jakarta, Cirebon, Indramayu, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Tangerang, Sidoarjo, Bantul, Lamongan, dan Gianyar. Sementara yang terkategori "waspada" antara lain, sebagian besar kabupaten di Jawa, Madura, dan Bali (Bogor, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Kudus, Pati, Rembang, Blora, Sragen, Sukoharjo, Jombang, Lamongan, Ngawi, Madiun, Nganjuk, Kediri, Trenggalek, Banyuwangi, Situbondo, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Tabanan, Badung, Klungkung, Lombok), Aceh Utara, Deli Serdang, Tanah Datar, serta beberapa Kabupaten di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

Status krisis dinyatakan pada suatu wilayah apabila total kebutuhan air wilayah sudah melampaui batas aliran rendah 45 persen. Sementara status "waspada" apabila total kebutuhan air wilayah berada antara aliran rendah 10 persen dan 45 persen.

Rendahnya akses masyarakat miskin dan pedesaan Indonesia terhadap perolehan kemudahan pelayanan air bersih dan penyehatan lingkungan yang memadai ditunjukkan dengan Indeks Kemiskinan Air (Water Poverty Index). Indonesia menduduki posisi ke-33 dari WPI. Indikator rendahnya posisi WPI ditunjukkan dengan lemahnya pengelolaan sumber daya air, akses yang rendah dari masyarakat miskin akan air bersih, pemanfaatan dan dampak lingkungan yang berpengaruh terhadap kualitas air.

Persoalan lainnya terkait air adalah pertanian beririgasi yang merupakan pengguna air terbesar. Lebih dari 80 persen air yang ada di dunia digunakan khusus untuk pertanian tetapi tidak efisien. Lalu, untuk industri yang sesungguhnya menggunakan air jauh lebih sedikit dibanding irigasi, namun dampaknya mungkin lebih parah. Penggunaan air bagi industri sering tidak diatur dalam kebijakan sumber daya air nasional, maka cenderung berlebihan.

Ragam persoalan lainnya tampak akibat lemahnya pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Adanya fragmentasi pengelolaan antar-instansi pemerintah dan sulitnya koordinasi menjadi persoalan pelik yang hingga kini belum terpecahkan. Pengelolaan sumber daya air masih terbatas dan berorientasi hanya pada sisi penyediaan semata bukan pada sisi kebutuhan. Organisasi pengelolaan sumber daya air pun masih tersentralisasi di pusat meski otonomi daerah telah dicanangkan sejak tahun 2000.

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengelola sumber daya air di satu sisi, dan di sisi lain masih belum layak melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam organisasi pengelolaan sumber daya air adalah masalah lain yang tak kalah rumit. Belum lagi, persoalan-persoalan seperti distribusi air yang belum merata karena distribusi lebih banyak difokuskan untuk melayani kegiatan komersial yang mendukung pembangunan ekonomi. Hanya konsumen yang mampu membayar, dapat mengakses air bersih.

Untuk memastikan masa depan ketersediaan air bersih, kuncinya ada pada konservasi sebagai langkah pengendalian kebocoran, penggunaan peralatan untuk penghematan air, tarif yang berdaya-cegah pemborosan, serta kampanye hemat air. Indonesia perlu melakukan penanganan serius agar tidak sampai terjadi krisis air di negeri yang curah hujannya terbilang tinggi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar