Krisis Air, Konservasi Lemah
Siti Nuryati ; Penulis Skenario Film Dokumenter tentang Lingkungan,
Alumnus Pascasarjana
Fakultas Ekologi Manusia IPB
|
SUARA
KARYA, 12 September 2012
Krisis air saat musim kemarau 2012 terjadi di
sejumlah daerah, terutama di Pulau Jawa. Krisis air ini makin mengkhawatirkan
dan di sejumlah daerah, penduduknya terpaksa menggunakan air comberan bau untuk
memenuhi kebutuhan air mereka. Krisis air semakin meningkat seiring
bertambahnya jumlah penduduk, degradasi lingkungan dan menurunnya ketersediaan
air. Menurut kajian Bappenas (2005), untuk wilayah di luar Jabodetabek
ditemukan sekitar 77 persen kabupaten/kota di Jawa memiliki 1-8 bulan defisit
air dalam setahun.
Semua orang tentu berharap air seharusnya
diperlakukan sebagai elemen yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak,
dan dijaga terhadap cemaran. Ekonomi modern menempatkan air sebagai elemen
penting bagi beragam keperluan, seperti budidaya pertanian, industri pembangkit
tenaga listrik, transportasi, wahana rekreasi, dan sebagainya.
Sayang, beragam persoalan timbul terkait
penggunaan air. Ketidaksetaraan penggunaan air bersih terjadi di mana kelompok
ekonomi lebih kuat punya akses lebih besar terhadap air bersih dengan hanya
mengeluarkan dana relatif lebih kecil. Ironisnya, kelompok ekonomi lemah harus
mengeluarkan dana lebih besar untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka.
Sebagai contoh Bolivia, setelah perusahaan internasional Bechtel mengambil alih
pengelolaan airnya, ternyata kaum miskin mengeluarkan 35 persen dari
penghasilannya dan yang lebih miskin lagi harus mengeluarkan 75 persen dari
penghasilannya untuk mendapatkan air bersih. Kondisi sama juga dialami penduduk
Indonesia. Banyak perusahaan pengemasan air mengambil air dari mata air di
kawasan Cijeruk, Sukabumi untuk diproses dan dijual menjadi air bersih kemasan.
Ironisnya, air bersih itu menjadi sesuatu yang mahal dan langka bagi penduduk
lokal di Cijeruk karena air tanah di sana telah disedot oleh
perusahaan-perusahaan tersebut tanpa memikirkan ketersediaan dan kebutuhan bagi
penduduk lokal yang miskin.
Sejak 1995, Jawa-Bali sudah dilanda defisit air
permukaan. Hasil perhitungan menunjukkan, pada 2000 ketersediaan air permukaan
hanya mencukupi 23 persen kebutuhan penduduk. Angka ini meningkat 35 persen
dibanding defisit 1995. Bahkan pada 2015 diprediksi Pulau Jawa akan mengalami
defisit air hingga 61 persen, lebih tinggi dibanding pada 2000. Hasil kajian
Pawitan (1996) tentang keseimbangan air hidrologi di wilayah Indonesia,
mengevaluasi total air yang tersedia dan total kebutuhan air dalam jangka
panjang sampai 2020 beberapa wilayah Indonesia yang terkategori krisis.
Daerah itu, antara lain, DKI Jakarta, Cirebon,
Indramayu, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Tangerang, Sidoarjo, Bantul, Lamongan,
dan Gianyar. Sementara yang terkategori "waspada" antara lain,
sebagian besar kabupaten di Jawa, Madura, dan Bali (Bogor, Cianjur, Bandung,
Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Kudus, Pati, Rembang,
Blora, Sragen, Sukoharjo, Jombang, Lamongan, Ngawi, Madiun, Nganjuk, Kediri,
Trenggalek, Banyuwangi, Situbondo, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Tabanan,
Badung, Klungkung, Lombok), Aceh Utara, Deli Serdang, Tanah Datar, serta
beberapa Kabupaten di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Status krisis dinyatakan pada suatu wilayah
apabila total kebutuhan air wilayah sudah melampaui batas aliran rendah 45
persen. Sementara status "waspada" apabila total kebutuhan air
wilayah berada antara aliran rendah 10 persen dan 45 persen.
Rendahnya akses masyarakat miskin dan pedesaan
Indonesia terhadap perolehan kemudahan pelayanan air bersih dan penyehatan
lingkungan yang memadai ditunjukkan dengan Indeks Kemiskinan Air (Water Poverty
Index). Indonesia menduduki posisi ke-33 dari WPI. Indikator rendahnya posisi
WPI ditunjukkan dengan lemahnya pengelolaan sumber daya air, akses yang rendah
dari masyarakat miskin akan air bersih, pemanfaatan dan dampak lingkungan yang
berpengaruh terhadap kualitas air.
Persoalan lainnya terkait air adalah pertanian
beririgasi yang merupakan pengguna air terbesar. Lebih dari 80 persen air yang
ada di dunia digunakan khusus untuk pertanian tetapi tidak efisien. Lalu, untuk
industri yang sesungguhnya menggunakan air jauh lebih sedikit dibanding
irigasi, namun dampaknya mungkin lebih parah. Penggunaan air bagi industri
sering tidak diatur dalam kebijakan sumber daya air nasional, maka cenderung
berlebihan.
Ragam persoalan lainnya tampak akibat lemahnya
pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Adanya fragmentasi pengelolaan
antar-instansi pemerintah dan sulitnya koordinasi menjadi persoalan pelik yang
hingga kini belum terpecahkan. Pengelolaan sumber daya air masih terbatas dan
berorientasi hanya pada sisi penyediaan semata bukan pada sisi kebutuhan.
Organisasi pengelolaan sumber daya air pun masih tersentralisasi di pusat meski
otonomi daerah telah dicanangkan sejak tahun 2000.
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam
mengelola sumber daya air di satu sisi, dan di sisi lain masih belum layak
melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam organisasi pengelolaan sumber
daya air adalah masalah lain yang tak kalah rumit. Belum lagi,
persoalan-persoalan seperti distribusi air yang belum merata karena distribusi
lebih banyak difokuskan untuk melayani kegiatan komersial yang mendukung
pembangunan ekonomi. Hanya konsumen yang mampu membayar, dapat mengakses air
bersih.
Untuk memastikan masa depan ketersediaan air bersih, kuncinya ada
pada konservasi sebagai langkah pengendalian kebocoran, penggunaan peralatan
untuk penghematan air, tarif yang berdaya-cegah pemborosan, serta kampanye
hemat air. Indonesia perlu melakukan penanganan serius agar tidak sampai
terjadi krisis air di negeri yang curah hujannya terbilang tinggi ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar