Jumat, 21 September 2012

Reformasi Pendidikan


Reformasi Pendidikan
Utomo Danan Jaya ;  Direktur Institute for Education Reform 
Universitas Paramadina
KOMPAS, 20 September 2012


Pengantar penjelasan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan hakikat pendidikan dalam konteks pembangunan nasional, yaitu sebagai pemersatu bangsa, penyamaan kesempatan, dan pengembangan potensi diri.

Pendidikan diharapkan dapat memperkuat persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberi kesempatan yang sama kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara mengembangkan potensi diri.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003 menjadi dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. UU tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta strategi untuk mewujudkan pendidikan bermutu agar relevan dengan masyarakat dan berdaya saing global.

Tiga prinsip

Terkait visi dan misi pendidikan nasional, reformasi pendidikan meliputi, pertama, perubahan penyelenggaraan pendidikan, dinyatakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi kreativitas peserta didik. Prinsip itu memicu pergeseran paradigma proses pendidikan, dari pengajaran ke pembelajaran.

Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didik bergeser pada paradigma pembelajaran. Ini membuat peserta didik lebih mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya.

Kedua, perubahan pandangan tentang peran manusia. Dari paradigma manusia sebagai sumber daya pembangunan menjadi manusia sebagai subyek pembangunan secara utuh. Pendidikan harus mampu membentuk manusia berkarakteristik personal yang paham dinamika psikososial dan lingkungan kulturalnya. Bukan sekadar siap pakai.

Ketiga, perubahan pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosio-kulturalnya yang nantinya menumbuhkan individu sebagai pribadi yang mandiri dan berbudaya. Dalam hal ini perbedaan anak didik lebih dihargai daripada persamaan.

Ketiga prinsip ini menjadi dasar reformasi pendidikan nasional. Namun, hingga 14 tahun Reformasi, tanda-tanda perubahan penyelenggaraan pendidikan belum kentara, bahkan lebih menonjol penyimpangan dan kemandekannya. Menurut penelitian CE Bebby (1970), guru (pendidik) di Indonesia lebih nyaman dalam kemapanan dan bersikap antiperubahan.

Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sebagai ganti kurikulum berpusat materi tidak membawa perubahan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22/2006 tentang standar isi menyebut kurikulum tetap berbasis pada materi. Permendiknas No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan berisi kurikulum berbasis kompetensi. Dua permendiknas ini menyulitkan guru. Mau berpegang pada isi atau kompetensi?

Ujian Nasional

Evaluasi hasil belajar yang dalam UU Sisdiknas Pasal 58 menjadi hak guru untuk menyelenggarakan diubah pada PP No 19/2005 menjadi Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Terakhir pengambilan nilai menjadi 60 persen UN dan 40 persen ujian kelas. Alasan penyelenggaraan UN adalah ”dari dulu” UN diselenggarakan. Padahal, yang dari dulu justru harus direformasi.

Kualifikasi guru menuntut pada hasil. Uji kompetensi guru menunjukkan bahwa hasil uji kompetensi awal rata-ratanya 42,5, sedangkan hasil uji kompetensi guru yang telah bersertifikat rata-rata 44,5. Artinya, sertifikasi berdasarkan portofolio tak menunjukkan perbedaan signifikan dengan guru yang belum disertifikasi. Maka, penyelenggaraan pendidikan nasional oleh guru bersertifikasi tidak ada bedanya dengan guru yang belum diberi sertifikat.

Penjelasan tentang prinsip perubahan tak tergambar dalam sejumlah dokumen resmi pendidikan nasional. Pesan-pesan dari kementerian lebih terkesan tidak memihak reformasi. Semangat penyelenggara pendidikan nasional masih terikat pada prinsip- prinsip yang harus ditinggalkan.

Contohnya RAPBN 2013. Pada bagian penjelasan Meningkatkan Pendidikan dan Kesejahteraan Rakyat, subjudul pendidikan murah yang terjangkau dibuka dengan kalimat: ”Sumber daya manusia Indonesia yang andal dan terdidik”. Kata sumber daya manusia dalam prinsip kedua dari reformasi pendidikan telah diganti menjadi manusia sebagai subyek pembangunan yang utuh.

Masih sangat kuat pendapat bahwa pendidikan bertujuan menciptakan manusia siap kerja. Padahal, reformasi mendasarkan pandangan bahwa pendidikan bukan hanya menciptakan manusia yang siap kerja, melainkan manusia sebagai subyek pembangunan secara utuh.

Dalam praktik masih dipertukarkan istilah-istilah, misalnya, pengajaran dengan pembelajaran, sumber daya manusia dengan manusia subyek pembangunan, murid dengan peserta didik. Pengertian pendidikan pun masih diartikan sebagai peningkatan kualitas sumber daya manusia, padahal cita-cita UU Sisdiknas mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan terampil.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegur anak-anak peserta upacara hari anak nasional menunjukkan bahwa presiden sebenarnya tak paham prinsip reformasi pendidikan yang ketiga. Pada prinsip itu pandangan terhadap keberadaan peserta didik (anak) terintegrasi dengan lingkungan sosial budaya dan pribadi anggota masyarakat.

Menegur di depan umum termasuk tidak memahami prinsip kebebasan anak. Anak yang lelah menunggu presiden dari pukul 06.00 berbeda dengan orangtua yang menunggu 4 jam apalagi dengan pengawal presiden.

Banyak Bertentangan

Banyak sekali ungkapan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta pejabat pendidikan yang bertentangan dengan prinsip perubahan. Misalnya istilah pengajaran, dalam arti belajar dan mengajar, masih tidak berubah menjadi pembelajaran.

Tujuan pendidikan ”siap pakai” sebagai prinsip pendidikan pada zaman Belanda—untuk menyiapkan tenaga kerja kelas rendah, seperti mandor perkebunan dan pamong praja—masih dipergunakan. Pendidikan sekadar menciptakan tenaga siap pakai. Padahal, sejak Orde Baru istilah sumber daya manusia diubah menjadi manusia seutuhnya dan setelah Reformasi menjadi manusia berbudaya sebagai subyek pembangunan (meninggalkan istilah siap pakai).

Prinsip-prinsip perubahan tidak dijiwai oleh para pejabat pendidikan sehingga menimbulkan kesan seolah-olah pendidikan nasional tidak mempunyai arah. Padahal, bukan sistem pendidikan yang tidak punya arah, melainkan pelaksana-pelaksana kebijakan pendidikan nasional yang salah arah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar