Senin, 17 September 2012

Menyalakan Jiwa Sosial

Menyalakan Jiwa Sosial
Hendra Sugiantoro ;  Pegiat Transform Institute Yogyakarta
SUARA KARYA, 17 September 2012


Kehidupan sosial penuh warna. Melihat lebih ke dalam, kehidupan sosial tak selalu menghadirkan bahagia bagi kebanyakan manusia. Kesenjangan telah menjadi fakta. Banyak dari kita yang hidup berkecukupan dan berkelimpahan, banyak juga yang hidup terpuruk dan dilanda kekurangan. Dalam wajah kehidupan sosial, kemelaratan dan kemiskinan hadir dan memunculkan kegelisahan.

Banyak masyarakat miskin yang terus berjuang menyambung kebutuhan hidup dengan bekerja keras. Untuk belanja kebutuhan pokok sehari-hari, pikirannya kusut. Bayangkan dengan penghasilan yang tak menentu, sekelompok masyarakat miskin harus menyediakan kebutuhan dasarnya secara berkesinambungan untuk makan dan kebutuhan lainnya. Dengan penghasilan Rp 5,000, misalnya, ada sekelompok masyarakat miskin harus berpikir agar dapat makan. Belum lagi kebutuhan pendidikan dan kesehatan yang menuntut ketersediaan dana.

Penghasilan Rp 5.000 setiap hari belum tentu didapatkan, bahkan sehari bisa saja tak mendapatkan sepeser pun uang. Kenyataan ini tidaklah mengada-ada. Coba kita tanyakan kepada tukang-tukang becak yang dalam sehari belum tentu mendapatkan penumpang! Kita juga bisa menengok kehidupan masyarakat yang bekerja serabutan. Masyarakat yang berwiraswasta pun kerap kali tak jauh beda. Para petani dan pedagang sering kali mengalami kerugian dalam usahanya. Penghasilan tak menentu, bahkan tak menjamin ada. Lebih-lebih bagi sekelompok masyarakat yang tak mempunyai pekerjaan tetap, penghasilan seolah-olah impian di siang bolong.

Dengan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang melonjak, masyarakat miskin tak mungkin tak makan dalam seminggu. Tak mungkin menahan lapar berhari-hari meskipun penghasilan tak mencukupi. Solusinya adalah berutang. Berutang diakui telah menjadi tradisi dalam kehidupan sosial kita. Dalam membiayai anak-anak sekolah, banyak masyarakat yang berutang. Tak hanya menggadaikan barang, tetapi juga meminjam uang ke sana ke mari. Kebutuhan selain pendidikan pun sering kali berhutang. Tentu berutang memiliki kewajiban untuk mengembalikan. Hal ini kerap menimbulkan persoalan. Bagaimana jika tak mampu mengembalikan uang setelah berutang?

Dengan penghasilan yang minim dan tak menentu, masyarakat miskin dilanda kebingungan. Belum utang terlunasi, masih harus memenuhi kebutuhan hidup di hari-hari berikutnya. Kita bisa merasakan betapa susahnya menjalani hidup hanya dengan penghasilan Rp 5.000 - Rp 10.000 setiap hari. Malah penghasilan sebesar itu bisa jadi didapatkan sepekan. Siapakah yang salah jika ada yang mencuri uang karena uang di tangannya tak mencukupi untuk membeli beras? Siapakah yang salah jika ada yang bunuh diri karena utang, nyatanya penghasilannya tak pernah ada untuk melunasi utang yang menjadi beban?

Namun, di sisi lain, ada sekelompok masyarakat yang kaya dan tanpa pusing memenuhi kebutuhan. Uang melimpah yang dimiliki bahkan tak sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar semata. Sekelompok masyarakat kaya begitu cepatnya mengambil uang dan membelanjakannya. Dalam sehari, tak masalah jika keluar minimal Rp 1 juta. Lapisan masyarakat kaya ini tak perlu repot-repot membelanjakan uang karena sepertinya simpanan uangnya tak pernah susut.

Sekelompok masyarakat kaya yang hidup bermewah-mewah, yang membeli makanan tak pernah habis dimakan lalu dibuang di tong sampah. Orang-orang miskin yang menjadi gelandangan memungutinya untuk mengganjal perut seharian. Sekelompok masyarakat yang menampakkan mobil mewah di hadapan anak-anak yang berpeluh di jalanan. Berbelanja di mal-mal di tengah gelandangan yang merintih kesakitan. Mendirikan rumah bertingkat-tingkat meskipun di sebelahnya terdapat bangunan reot yang dihuni sekelompok masyarakat miskin.

Para penyelenggara negara pun seolah-olah membutakan mata. Para elite menyiasati anggaran negara untuk melipatkan gaji dan tunjangan di tengah anak-anak putus sekolah. Para elite pun menyaksikan jutaan rakyat terjerat kemelaratan, tetapi itu hanya dijadikan tema berebut kursi kekuasaan. Di mulut mengatakan anggaran negara terbatas, tetapi tanpa bersalah plesiran ke negeri manca. Berbelanja ke luar negeri dengan harga berbandrol tinggi, padahal masih dijumpai penduduk yang terlilit kelaparan. Elite kekuasaan begitu bangganya melakukan korupsi yang berdampak kian menjeritnya derita masyarakat miskin.

Pada titik ini, saatnya kita untuk menyalakan jiwa sosial. Kebersamaan sebagai sebuah masyarakat-bangsa harus lebih substantif. Begitu banyak di antara kita yang tekun menjalani ritual keagamaan, tetapi kita hidup bukan untuk membangun kesalehan pribadi semata. Laku spiritual yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan tidaklah bermakna tanpa gerak amal dalam kehidupan. Kesenjangan dan ketimpangan sosial adalah kesalahan kita yang tak mampu menyadari kehadiran sesama dan realitas sosial.

Kepedulian, solidaritas, dan empati sosial haruslah berjangka panjang. Bukankah anak-anak jalanan masih memiliki tetangga yang berkecukupan? Ada sekelompok masyarakat kaya yang seharusnya bisa turut membantu anak-anak yang kesulitan biaya sekolah. Sekelompok masyarakat yang berkecukupan hendaknya saling membantu dan menanggung beban penderitaan dengan sekelompok masyarakat miskin di sekitarnya.

Jiwa sosial mengarahkan kita membangun kehidupan. Membebaskan sekelompok masyarakat miskin dari keterpurukan dan ketidakberdayaan merupakan sebentuk ibadah. Kita perlu memanusiakan manusia, menghargai keberadaan manusia lainnya sebagai bagian dari kita. Jiwa sosial menghendaki kita merasakan denyut kehidupan masyarakat yang masih diselimuti kenestapaan, lalu bertindak memerdekakannya agar sejahtera.

Begitu pula para penyelenggara negara berkewajiban dan memiliki tanggung jawab mengatasi kemiskinan dengan membangun sistem yang berkeadilan sosial. Stop korupsi! Karena, korupsi merupakan sebentuk pelanggaran amanat Tuhan yang menyebabkan masyarakat menderita. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar