Selasa, 04 September 2012

Mempermalukan Koruptor


Mempermalukan Koruptor
Fakhruddin Aziz Alumnus UIN Yogyakarta
SUARA KARYA , 04 September 2012


Korupsi di negeri ini semakin menjadi-jadi. Tentakel gurita korupsi telah meliliti berbagai lini birokrasi, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kasus-kasus korupsi selalu bermunculan baik dari kelas gurem sampai kelas gajah, dan pelakunya dari kalangan individu maupun kelompok (berjamaah).

Berbagai kasus kasus dugaan korupsi, seperti pajak dalam jumlah miliaran rupiah, proyek pembangunan wisma atlet dan proyek Hambalang, pengadaan kitab suci Al Qur'an di Kemenag semuanya diduga sebagai tindak korupsi yang melibatkan elite partai politik (parpol). Sedangkan sederet kepala daerah digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga karena sangkaan korupsi.

Maraknya aksi korupsi itu membuat publik geram, termasuk (KPK). Pasalnya, upaya pemberantasan korupsi kelihatannya kian gencar namun perilaku korupsi juga tak kalah gencar dengan beragam modus. Oleh karena itu, penegak hukum seperti KPK tisak lelah mencari terobosan memberi efek jera terhadap koruptor. Yang terbaru, KPK berencana mempermalukan para tersangka korupsi yaitu dengan diborgol tangannya dan diharuskan mengenakan seragam tahanan KPK. Para tersangka korupsi juga wajib keluar terminal bandara melalui jalur umum jika mereka dibawa ke Jakarta dengan menumpang pesawat, serta dihadirkan saat konferensi pers agar wajahnya bisa disorot awak media dengan gamblang.

Upaya tersebut sebagai bentuk kebuntuan dan kegeraman terhadap para tersangka korupsi yang masih bisa cengengesan dan melambai-lambaikan tangan ketika disorot kamera awak media. Mereka telah menampilkan wajah tanpa dosa dengan memamerkan senyumannya kepada publik. Apakah aksi tersebut sebagai pertanda ketiadaan "urat malu" dalam diri mereka? Ancaman hukuman penjara seakan bukan menjadi momok yang akan memberikan efek jera, apakah korupsi tidak lagi dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum dan sekaligus dosa?

Korupsi itu sendiri adalah perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dari sisi hukum agama, peraturan perundang-undangan, maupun norma di masyarakat, korupsi adalah tindakan tidak pernah dibenarkan.

Korupsi tidak hanya merugikan negara namun juga telah menyengsarakan rakyat. Bagaimana tidak, alokasi anggaran yang semestinya untuk kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat ternyata dimakan oleh segelintir manusia rakus itu. Akhirnya, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terjerambab dalam kubangan kemiskinannya.

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) maka penanganannya juga harus melalui penegakan hukum yang luar biasa. Ancaman hukuman penjara saja dianggap kurang mumpuni untuk memberikan efek jera kepada koruptor. Selain gagasan memiskinkan koruptor dengan menyita hartanya, gagasan mempermalukan tersangka korupsi yang muncul dari inisasi KPK patut diapresiasi.

Memberantas korupsi dengan pendekatan hukum saja tidak cukup, oleh karena itu perlu melalui pendekatan budaya. Di negeri ini dan kawasan negeri Timur pada umumnya, budaya malu masih relatif dijunjung tinggi. Orang berbuat kesalahan/dosa bisa saja tidak malu karena perbuatan dosanya itu sendiri, namun akan cenderung malu ketika aib itu menyeruak ke permukaan dan menjadi sorotan publik. Jika publik banyak yang tahu, kehormatan diri dan keluarganya yang telah lama melekat secara otomatis akan rontok. Kehormatan dan citra yang disokong oleh jabatan dan kedudukan yang bergengsi akan sirna seketika karena perilaku korupnya telah diketahui publik.

Namun, apakah sekarang ini para tersangka korupsi itu masih punya urat malu? Bisa jadi mereka hanya malu sesaat ketika mengenakan baju koruptor saja, setelah itu semuanya akan berlalu begitu saja. Mungkin saja perbuatan korupsi juga sudah dianggap sebagai habitus yang lumrah di negeri ini. Dalam kehidupan sehari-hari jika seseorang diingatkan tentang perilaku korupsi, pungli, uang rokok, atau apapun sebutannya, jawaban yang keluar adalah hal itu sudah biasa dan mentradisi. Apalagi korupsi kelas teri di level akar rumput karena jumlahnya yang sedikit, cenderung dianggap biasa-biasa saja.

Oleh karena itu perlunya menggalakkan kesadaran secara kolektif bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang telah merugikan negara dan menyengsarakan rakyat kecil. Sudah tidak sepatutnya berfoya-foya namun di sisi lain banyak rakyat yang sehari-harinya berbalur dengan penderitaan.

Selain kesadaran, sifat malu untuk berkorupsi ria perlu digalakkan. Sifat malu ini harus ditumbuhkan sejak dini, bukan secara dadakan. Dalam hal ini, pendidikan memainkan peran penting. Para pendidik sudah semestinya menanamkan sifat malu serta menekankan kejujuran kepada peserta didik. Para orang tua pun sudah selayaknya membudayakan malu kepada anak-anak di lingkungan keluarganya.

Sifat malu yang tertanam sejak usia belia, akan terpatri secara kuat sampai yang bersangkutan telah dewasa. Lembaga pendidikan dan keluarga sebagai lingkungan yang dominan bagi anak sudah semestinya menciptakan kebiasaan anti korupsi. Memang, idealnya manusia itu semestinya malu kepada Tuhan ketika telah atau akan melakukan dosa/ kesalahan, ketimbang kepada sesama manusia. Sekecil apapun perbuatan manusia, baik maupun buruk tidak akan terlepas dari pengetahuan Tuhan.

Namun langkah KPK untuk mempermalukan tersangka korupsi kepada publik tetap patut diapresiasi. Paling tidak upaya-upaya tersebut mampu memberikan tekanan (pressure) dalam membarantas korupsi. Penegakan hukum secara biasa-biasa saja memang dirasa kurang mempan, maka perlu penegakan hukum yang di luar kebiasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar