Rabu, 19 September 2012

Memilih Pemimpin Indonesia


Memilih Pemimpin Indonesia
Yonky Karman ;  Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 19 September 2012


Di area Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan di kota Jakarta terpampang banyak baliho kepala daerah. Dengan pilihan dua lokasi strategis itu, jelaslah baliho tersebut tidak hanya iklan promosi daerah, tetapi juga ekspresi bahwa daerah merupakan bagian dari Indonesia.

Kepala daerah juga pemimpin Indonesia, hanya saja dalam skala kota, kabupaten, atau provinsi. Memang idealnya kota, kabupaten, atau provinsi adalah miniatur negara-bangsa Indonesia.

Realitas Indonesia tegak oleh empat pilar: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Berhasil menegakkan keempat pilar tersebut berarti tegak juga bangunan bangsa Indonesia dan akhirnya Indonesia tegak di mata dunia. Batu uji kepala daerah pun sejauh mana keempat pilar itu tegak dalam kepemimpinannya.

Melampaui Primordialisme

Sejatinya kepala daerah adalah sosok pemimpin Indonesia yang amanah dengan tugas pokoknya mengayomi dan menyejahterakan seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Ia membangun karena dipercaya oleh rakyat, membangun bersama dan untuk rakyat. Pemerintahan tak diskriminatif dalam kebijakan ataupun implementasi. Kepala daerah tampil lebih sebagai pemimpin seluruh rakyat, bukan penguasa.

Namun, realitas politik Indonesia sering memperlihatkan pemimpin berpolitik di luar koridor keindonesiaan. Ia tak peduli apakah kepemimpinannya merusak kesatuan rakyat sebab tujuan utamanya adalah kekuasaan.

Alih-alih memosisikan diri sebagai bagian dari pemimpin Indonesia, kepemimpinannya berlindung di balik isu kesukuan ataupun keagamaan. Padahal, undang-undang hanya mengamanatkan kualifikasi utama kepala daerah adalah warga negara Indonesia dengan kualitas kepemimpinan yang dapat memajukan daerah yang dipimpinnya.

Kesempitan jiwa calon pemimpin membuat dirinya tak peduli apakah rakyat yang akan dipimpinnya terkotak-kotak didera rasa saling curiga oleh isu-isu primordial. Ia tak peduli apakah warga tenggelam dalam hiruk-pikuk primordialisme. Yang terpenting adalah mendulang suara ketika pemungutan suara digelar, tak peduli apakah cara meraih popularitas itu mencederai keindonesiaan dan keutuhan masyarakat.

Alhasil, rakyat memilih pemimpin, tetapi yang muncul adalah penguasa. Hitung-hitungan politik yang memenuhi benak penguasa adalah bagaimana melunasi utang untuk ongkos membiayai perjalanannya menuju singgasana kekuasaan. Saat memerintah pun, ia tak merasa terganggu dengan korupsi birokrasi sejauh kepentingan dirinya tak terganggu.

Faktor primordial begitu saja memang tidak jelek sebagai identitas pertama yang langsung dihayati manusia pada umumnya. Pilihan politik berdasarkan faktor primordial pun tidak salah. Yang salah adalah ketika faktor primordial menutupi kualifikasi kepemimpinan yang seharusnya ada. Yang salah adalah jika karena alasan primordial warga menerima intimidasi dan perlakuan diskriminatif.

Perkawinan primordialisme dan politik di Indonesia membuat sila ketuhanan disalahartikan dan membiarkan sila keadilan sosial dilanggar. Hari-hari ini, di era otonomi daerah, justru rakyat Indonesia menderita karena langkanya sosok pemimpin demikian. Warga tidak merasa hidup dan dilindungi oleh konstitusi yang sama.

Salah satu warisan kepemimpinan Gus Dur adalah ia tidak segan-segan memasang badan dan menghadapi oposisi, termasuk dari pendukungnya. Dalam jiwanya, bergelora keindonesiaan dan kemanusiaan. Kepemimpinannya yang singkat sebagai kepala negara melahirkan terobosan-terobosan besar yang menguatkan fondasi negara-bangsa Indonesia.

Keutamaan Politik

Dari Surabaya berembus kabar baik. Kota itu baru-baru ini mendapat penghargaan internasional dengan predikat ramah dan layak huni. Selain partisipasi warga, itu semua juga berkat kerja keras wali kotanya yang tak kenal lelah. Kepala daerah yang unggul dalam visi, integritas, kemampuan manajemen, kesadaran sosial dan ekonomi, serta kemampuan melindungi warga dan memberikan rasa aman.

Belum banyak kepala daerah seperti itu. Salah satu hambatan menjadi pemimpin yang mengindonesia adalah sempitnya wawasan kebangsaan kepala daerah. Calon kepala daerah kerap menempuh jalan pintas dengan memainkan isu-isu primordial sebagai jalan pintas menutupi kekurangan kualifikasi kepemimpinan yang seharusnya ada.

Alhasil, era Reformasi yang sebenarnya menjanjikan masa depan Indonesia yang lebih baik justru menghasilkan kepala daerah dengan keindonesiaan yang dangkal. Setelah terbebas dari represi negara di era Orde Baru, kini represi datang dari sesama warga atas nama primordialisme.

Parlemen yang seharusnya mengawal kesatuan bangsa dalam praktiknya memberikan kesempatan kepada petualang politik mengaduk-aduk kolam kebangsaan dan memancing di air keruh. Kemiskinan keutamaan politik (political virtue) membuat kepentingan pribadi ataupun kelompok ditempatkan di atas kepentingan bangsa. Kegaduhan politik pun tak berkorelasi dengan perbaikan kualitas kehidupan berbangsa dan kesejahteraan rakyat.

Politik kita dimaknai sebatas arena pertarungan kekuasaan mengandalkan kapitalisasi modal, kolusi penguasa dan pengusaha, serta politik uang. Demokrasi yang tak berporos keutamaan moral itu mengotori politik. Politik penguasa akhirnya berujung pada siapa yang layak dikorbankan.

Gerbong demokrasi kita sedang disusupi penumpang gelap. Memang a country deserves its leader. Pemimpin terpilih adalah cermin kualitas masyarakat pemilih.

Semoga demokrasi dan otonomi daerah membuat rakyat semakin tercerahkan dan dewasa sehingga hasil pilkada pun adalah kepala daerah dengan kepemimpinan yang melampaui kelas partai, pemimpin rakyat, pemimpin Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar