Pesta
Demokrasi di Universitas?
Syamsul Rizal ; Guru
Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Syiah Kuala
|
KOMPAS, 19 September 2012
Secara umum peran sebuah
universitas adalah menyelenggarakan dan meningkatkan mutu pendidikan, atau
pengajaran, serta riset. Di Indonesia, tugas itu ditambah lagi dengan
pengabdian kepada masyarakat.
Ketiga tugas itu disebut Tri
Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi ini pada intinya harus
diwujudkan, tetapi perwujudannya sering menghadapi kendala. Salah satu
penyebabnya, tidak semua potensi universitas bisa disinergikan akibat efek samping dari pesta demokrasi (baca:
pemilihan rektor) di sebuah universitas.
Akhir-akhir ini di sejumlah
universitas terjadi krisis kepemimpinan: baik di level tertinggi (rektor)
maupun pada lapisan-lapisan di bawahnya (dekan dan seterusnya). Masalah yang
membelit mereka pun beragam: korupsi sampai dengan pecat-memecat yang sekarang
sedang terjadi di sebuah universitas kebanggaan Indonesia. Saya melihat secara sistem ada sesuatu yang salah dengan mekanisme
pengangkatan seorang rektor, dekan, dan lapisan-lapisan di bawahnya. Ke depan,
bila kita ingin menyelamatkan universitas, sistem ini harus ditinjau kembali.
Jabatan rektor
Apa sebab jabatan rektor
sangat dikejar dan didambakan para pengajar? Jabatan rektor memiliki magnet
yang kuat. Paling tidak tiga hal: uang, kekuasaan, dan prestise. Karena ketiga magnet ini pulalah para rektor setiap saat
akan menghadapi ancaman berikut: dijebak, difitnah, dipuji- puji (secara
palsu). Dalam banyak hal, pada awalnya boleh jadi seseorang tak ingin jadi
rektor. Namun, karena dibujuk dan dirayu oleh para pembisik atau tim sukses,
seseorang yang pada awalnya tidak mau menjadi rektor, atau ragu-ragu, menjadi
mau.
Banyak yang menjadi rektor
yang tak menguasai (ilmu) administrasi dan tidak punya kapasitas kepemimpinan
memadai. Ini dapat dimaklumi karena sebagian besar mereka berasal dari bidang
yang sangat spesifik, misalnya fisika material, antropologi sosial, kedokteran.
Akibatnya, begitu menjadi rektor, mereka dengan mudah masuk perangkap sebab
kewenangan dan kekuasaan mereka terlalu besar: dari masalah akademik,
administrasi, keuangan, sampai dengan masalah-masalah sepele semuanya menjadi
urusan rektor.
Rektor tentu saja akan
terselamatkan kalau punya pembantu dan pembisik yang arif. Namun, nasib rektor
akan celaka dan terhina pada akhir masa jabatannya kalau pembantu dan
pembisiknya adalah orang-orang oportunis, licin, dan nekat.
Efek Pesta Demokrasi
Bagaimana suasana sebuah
kampus saat akan terjadi pemilihan rektor di universitas? Sangat mencekam. Para
pemilik suara yang sebagian besar profesor punya sikap yang terbelah:
bergantung pada jumlah calon yang muncul. Kalau ada tiga calon yang sama kuat,
para pemilik suara akan terbelah menjadi tiga kubu. Tim sukses yang ditunjuk
kandidat rektor atau menawarkan diri kepada kandidat rektor, atau ikut-ikutan
secara tak formal, rata-rata sangat pandai dalam dua bidang: merayu dan
mengancam atau mengobral reward and
punishment.
Hal ini bisa dilakukan
karena para pemilih sangat terbatas jumlahnya. Hari-hari menjelang pesta
demokrasi itu adalah hari-hari yang sangat mencekam bagi para pemilik suara,
tim sukses, dan kandidat rektor. Ada pemilik suara yang tak mau ambil risiko:
segera terbang ke daerah lain atau ke luar negeri dengan berbagai macam alasan.
Berobatlah, berseminarlah, dan alasan lain yang masuk akal. Mereka akan lebih
baik menghindar memberikan suara daripada menghadapi risiko memilih yang kalah.
Suasana akademik dan
kolegial yang biasanya sangat melekat pada sesama teman berubah menjadi saling
curiga. Atmosfer akademik pada saat-saat itu benar-benar panas, kotor,
terkontaminasi, dan tidak bersahabat.
Setelah Pesta Demokrasi
Saat kandidat rektor sudah
dipilih, bukan berarti atmosfer akademik bersih kembali dan kita bisa bernapas
dengan lega. Oksigen yang kita harapkan bersih masih belum bisa kita dapatkan.
Pekerjaan tim sukses juga
belum selesai. Mereka segera mengidentifikasi orang demi orang dari jumlah
suara yang mereka peroleh: siapa yang memilih ”kita” dan siapa yang memilih
kandidat lain. Lalu mereka berlomba-lomba melaporkannya ke rektor terpilih. Apa
tujuan tim sukses? Tujuannya jelas: ingin membangun kesan heroik, cari muka
dari rektor terpilih supaya dapat ditunjuk menduduki jabatan tertentu, dan
terpenting tentulah mengurangi jumlah persaingan dengan cara mendepak mereka.
Karena pemilih sangat
terbatas dan tim sukses punya daya penciuman tajam, identifikasi sering tidak
meleset. Sejak hari terpilih pada saat itu, nasib rektor (yang tidak tegar
dalam bersikap) akan ditentukan oleh tim suksesnya. Kalaupun rektor terpilih
bersikap tegar, tim sukses yang berjumlah lebih banyak lebih licin dan nekat
akan tetap bisa membalikkan keadaan. Kalau itu yang terjadi, nasib universitas
betul-betul dalam bahaya. Para profesor yang tidak memilih rektor terpilih akan
berpotensi disingkirkan perannya di universitas. The winner takes it all.
Selain itu, tim sukses yang
biasanya terdiri dari orang-orang nekat dan licin akan berpotensi mengendalikan
universitas. Pada ujung masa jabatan, maka rektorlah yang akan bertanggung
jawab atas semua masalah. Kalau ada kasus-kasus korupsi, misalnya, tim sukses
akan lari lintang pukang sambil menyalahkan rektornya. Mengingat efek pesta
demokrasi sangat merugikan universitas, perlulah segera dicarikan jalan keluar.
Saya
berpendapat bahwa jabatan rektor harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak
ada yang berminat menjadi rektor. Tugas pokok dan fungsi jabatan rektor
hendaknya hanya mengurus masalah administrasi akademik dan perencanaan di
universitas. Keuangan janganlah diurus oleh biro rektor.
Keuangan harus diurus oleh kantor keuangan yang tidak ada hubungan dengan
universitas sehingga pegawai kantor keuangan universitas berkarier tidak di
bawah universitas.
Klaim-klaim honor mengajar,
jabatan, penelitian, beasiswa, pembangunan infrastruktur laboratorium,
penambahan, rehabilitasi ruangan, dan lain-lain menjadi tugas pokok dan fungsi
universitas. Namun, eksekusi keuangan dan eksekusi pembangunan infrastruktur
bukan lagi menjadi wewenang universitas. Pengeluaran-pengeluaran rutin, seperti
gaji dosen dan lain-lain, bisa langsung ditransfer ke rekening dosen.
Universitas hanya merencanakan. Intinya, universitas harus disterilkan dari
mengurus masalah keuangan.
Akan ada beberapa dampak
positif yang timbul. Pertama, karena tak ada yang berminat jadi rektor, besar
kemungkinan posisi rektor akan
digilir di setiap universitas. Kedua, rektor akan selamat memimpin universitas
dari rongrongan tim sukses yang tidak bertanggung jawab.
Ketiga, semua potensi
universitas dapat disinergikan karena tidak ada pihak yang akan tersingkir
akibat efek samping dari pesta demokrasi. Keempat, atmosfer akademik akan
selalu terjaga dengan bersih.
Kalau sudah begini,
universitas tidak punya pilihan lain selain fokus dalam mewujudkan Tri Dharma
Perguruan Tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar