Jihad yang
Keliru
Shobikhul Muayyad ; Ketua Forum
Diskusi Keagamaan (Fordisska),
Direktur Lembaga Pers Monash Institute (LPMI)
|
SUARA
KARYA , 05 September 2012
Untuk kesekian kalinya, Solo dijadikan tempat sasaran teror. Aksi
yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai
mujahid ini, memang sangat meresahkan dan mengkhawatirkan. Peristiwa Solo,
baru-baru ini dilakukan oleh Farhan (19) dan Mukhsin (19). Namun, kedua pelaku
yang akhirnya tewas setelah terjadi baku tembak dengan Densus 88, diduga masuk
kelompok jaringan teroris Abu Sayyaf yang bertempat di Mindanao, Filipina. Hal
itu dapat diketahui dari bukti pistol pelaku yang bertuliskan PNP (Philipines National Police).
Tidak lain, aksi terorisme dipicu oleh semangat jihad yang
berlebihan. Akan tetapi, bagaimana pun, aksi terorisme sangat tidak dibenarkan.
Sebab, jihad menurut pandangan Islam, bukanlah sekejam apa yang telah dilakukan
oleh teroris saat ini. Mereka yang baru mengerti Islam, memang cenderung
fundamental dan beranggapan bahwa selain Islam maka hukumnya wajib dibunuh.
Pandangan seperti ini sangat keliru dan memalukan.
Bahkan, banyak teroris yang rela dan berani melakukan aksi bom
bunuh diri. Ini disebabkan oleh keyakinan mereka yang begitu tinggi, bahwa
setelah pelaku mati nantinya, maka ia akan mendapatkan balasan dari Tuhan,
yakni surga. Keyakinan yang keliru inilah, yang mengakibatkan umat Islam
semakin terbelakang.
Jihad versi Islam, bukanlah jihad seperti yang dilakukan oleh
Amrozi dan kawan-kawan. Jihad yang sebenarnya adalah perjuangan sungguh-sungguh
di jalan Allah dengan seluruh kemampuan, baik dengan harta, jiwa, lisan, maupun
yang lainnya. Jihad bukanlah aksi pembunuhan. Akan tetapi, jihad ialah suatu
pembelaan terhadap kaum yang tertindas. (QS. Al-Nisaa' 75)
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barang
siapa mati sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk
jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan." (Muttafaq Alaihi). Hadits tersebut memang menyuruh kita sebagai
muslim untuk berjihad. Namun, jihad yang sebenarnya adalah membela orang-orang
yang tertindas. Bukan membunuh orang-orang yang tidak bersalah.
Apalagi, mengingat bangsa Indonesia saat ini masih banyak rakyat
yang miskin. Bukankah lebih baik harta yang kita miliki kemudian disedekahkan?
Bukan dijadikan modal untuk membuat bom. Sebab, sedekah merupakan salah satu
jihad untuk umat Islam. Dengan bersedekah pula, tentu kemanfaatan akan didapat
oleh sesama umat Islam. Yaitu, merekatkan ukhuwah Islamiyah.
Di era globalisasi, jihad tidak hanya dimaknai dengan berperang.
Memang betul, pada zaman Rosul SAW, jihad harus dilakukan dengan cara berperang
karena konteks masyarakatnya benar-benar berhadapan dengan orang kafir yang
juga memusuhi umat Islam. Oleh sebab itu, perang hukumnya wajib. Nabi bersabda
bahwa salah satu dosa terbesar ialah lari dari medan perang. Akan tetapi, di
era modern seperti ini, kehidupan antar-agama berjalan sudah cukup harmonis.
Sehingga, tidak ada permusuhan antar-umat beragama. Baik umat Islam, Kristen
dan agama lainnya, semua hidup dalam kerukunan. Dengan begitu, jihad yang
diaplikasikan dengan perang apalagi meneror banyak orang, tentu sangat tidak
dibenarkan.
Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamiin seharusnya memberi
rahmat dan kasih sayang terhadap sesama. Namun, apabila sebagai muslim tidak
mampu memberi manfaat kepada sesama, kemudian hanya bisa meneror sana-sini,
maka tidak layak untuk disebut muslim.
Sikap Berlebihan
Terorisme tidak terjadi begitu saja, akan tetapi banyak faktor
yang melatarbelakangi seseorang nekat untuk melakukan tindakan bodoh itu. Salah
satu faktor penyebab terorisme ialah, adanya sifat ghuluw (berlebih-lebihan)
dalam beragama. Biasanya, ghuluw dilakukan oleh orang-orang yang minim
pengetahuan tentang agama. Sehingga, apabila seseorang itu melihat kondisi
masyarakat yang tidak sesuai dengan apa yang diketahuinya, maka dianggap kafir
dan harus dibasmi.
Rasulullah bersabda, "Jauhilah sifat ghuluw dalam beragama, karena penyebab hancurnya umat-umat sebelum
kalian adalah ghuluw dalam
beragama." (HR Al-Hakim). Hadits
tersebut memberi peringatan kepada kita supaya tidak lebay dalam beragama. Misalnya, dengan mudahnya seseorang
mengatakan bahwa mereka kafir, sehingga harus dibunuh. Sifat ghuluw-lah yang dimiliki dan diamalkan
oleh teroris di Indonesia, bahkan di dunia saat ini.
Kesalahpahaman tentang persoalan jihad memang sangat
mengkhawatirkan. Sebab, dampak dari kesalahpahaman sangatlah fatal, yaitu masyarakat
akan menjadi korban teroris. Memang untuk membasmi terorisme sampai ke akar,
bukanlah perkara mudah. Apalagi di Indonesia, karena persoalan agama di negara
ini sangatlah kental. Dan setiap kelompok masih primordial dengan kelompoknya
sendiri. Sehingga, kran kebenaran antar-umat beragama tidak terbuka.
Apalagi secara lintas agama. Bahkan ormas-ormas yang mengatakan
bahwa dirinya Islam, seringkali masih memusuhi ormas Islam lainnya. Sehingga,
memang benar-benar sulit untuk mengamini pluralisme agama. Dengan begitu,
masyarkat tampaknya harus berpikir lebih paradoks. Supaya dapat mengikuti arus
perkembangan zaman.
Nah, sebagai umat beragama dan warga negara Indonesia yang baik,
tentu kita harus mengamalkan nilai-nilai agama yang kita anut, kemudian diaplikasikan
dalam Pancasila. Sehingga, tercipta kehidupan yang bebas dan juga rukun
antar-warga bangsa. Sebab, salah satu tujuan negara Indoensia ialah
mempertahankan keutuhan NKRI.
Selain itu, khususnya umat Islam, harus benar-benar mampu berpikir
paradoks dan meninggalkan pemikiran-pemikiran ortodoks. Apabila umat Islam
masih kolot dalam memahami agama, maka lahirlah teroris. Sebab, lahirnya
teroris karena kesalahan pemahaman mengenai jihad. Wallahu a'lam bi al-shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar