Kamis, 06 September 2012

Jihad yang Keliru


Jihad yang Keliru
Shobikhul Muayyad ;  Ketua Forum Diskusi Keagamaan (Fordisska),
Direktur Lembaga Pers Monash Institute (LPMI)
SUARA KARYA , 05 September 2012


Untuk kesekian kalinya, Solo dijadikan tempat sasaran teror. Aksi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai mujahid ini, memang sangat meresahkan dan mengkhawatirkan. Peristiwa Solo, baru-baru ini dilakukan oleh Farhan (19) dan Mukhsin (19). Namun, kedua pelaku yang akhirnya tewas setelah terjadi baku tembak dengan Densus 88, diduga masuk kelompok jaringan teroris Abu Sayyaf yang bertempat di Mindanao, Filipina. Hal itu dapat diketahui dari bukti pistol pelaku yang bertuliskan PNP (Philipines National Police).

Tidak lain, aksi terorisme dipicu oleh semangat jihad yang berlebihan. Akan tetapi, bagaimana pun, aksi terorisme sangat tidak dibenarkan. Sebab, jihad menurut pandangan Islam, bukanlah sekejam apa yang telah dilakukan oleh teroris saat ini. Mereka yang baru mengerti Islam, memang cenderung fundamental dan beranggapan bahwa selain Islam maka hukumnya wajib dibunuh. Pandangan seperti ini sangat keliru dan memalukan.

Bahkan, banyak teroris yang rela dan berani melakukan aksi bom bunuh diri. Ini disebabkan oleh keyakinan mereka yang begitu tinggi, bahwa setelah pelaku mati nantinya, maka ia akan mendapatkan balasan dari Tuhan, yakni surga. Keyakinan yang keliru inilah, yang mengakibatkan umat Islam semakin terbelakang.

Jihad versi Islam, bukanlah jihad seperti yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawan. Jihad yang sebenarnya adalah perjuangan sungguh-sungguh di jalan Allah dengan seluruh kemampuan, baik dengan harta, jiwa, lisan, maupun yang lainnya. Jihad bukanlah aksi pembunuhan. Akan tetapi, jihad ialah suatu pembelaan terhadap kaum yang tertindas. (QS. Al-Nisaa' 75)

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa mati sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan." (Muttafaq Alaihi). Hadits tersebut memang menyuruh kita sebagai muslim untuk berjihad. Namun, jihad yang sebenarnya adalah membela orang-orang yang tertindas. Bukan membunuh orang-orang yang tidak bersalah.

Apalagi, mengingat bangsa Indonesia saat ini masih banyak rakyat yang miskin. Bukankah lebih baik harta yang kita miliki kemudian disedekahkan? Bukan dijadikan modal untuk membuat bom. Sebab, sedekah merupakan salah satu jihad untuk umat Islam. Dengan bersedekah pula, tentu kemanfaatan akan didapat oleh sesama umat Islam. Yaitu, merekatkan ukhuwah Islamiyah.

Di era globalisasi, jihad tidak hanya dimaknai dengan berperang. Memang betul, pada zaman Rosul SAW, jihad harus dilakukan dengan cara berperang karena konteks masyarakatnya benar-benar berhadapan dengan orang kafir yang juga memusuhi umat Islam. Oleh sebab itu, perang hukumnya wajib. Nabi bersabda bahwa salah satu dosa terbesar ialah lari dari medan perang. Akan tetapi, di era modern seperti ini, kehidupan antar-agama berjalan sudah cukup harmonis. Sehingga, tidak ada permusuhan antar-umat beragama. Baik umat Islam, Kristen dan agama lainnya, semua hidup dalam kerukunan. Dengan begitu, jihad yang diaplikasikan dengan perang apalagi meneror banyak orang, tentu sangat tidak dibenarkan.

Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamiin seharusnya memberi rahmat dan kasih sayang terhadap sesama. Namun, apabila sebagai muslim tidak mampu memberi manfaat kepada sesama, kemudian hanya bisa meneror sana-sini, maka tidak layak untuk disebut muslim.

Sikap Berlebihan

Terorisme tidak terjadi begitu saja, akan tetapi banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang nekat untuk melakukan tindakan bodoh itu. Salah satu faktor penyebab terorisme ialah, adanya sifat ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama. Biasanya, ghuluw dilakukan oleh orang-orang yang minim pengetahuan tentang agama. Sehingga, apabila seseorang itu melihat kondisi masyarakat yang tidak sesuai dengan apa yang diketahuinya, maka dianggap kafir dan harus dibasmi.

Rasulullah bersabda, "Jauhilah sifat ghuluw dalam beragama, karena penyebab hancurnya umat-umat sebelum kalian adalah ghuluw dalam beragama." (HR Al-Hakim). Hadits tersebut memberi peringatan kepada kita supaya tidak lebay dalam beragama. Misalnya, dengan mudahnya seseorang mengatakan bahwa mereka kafir, sehingga harus dibunuh. Sifat ghuluw-lah yang dimiliki dan diamalkan oleh teroris di Indonesia, bahkan di dunia saat ini.

Kesalahpahaman tentang persoalan jihad memang sangat mengkhawatirkan. Sebab, dampak dari kesalahpahaman sangatlah fatal, yaitu masyarakat akan menjadi korban teroris. Memang untuk membasmi terorisme sampai ke akar, bukanlah perkara mudah. Apalagi di Indonesia, karena persoalan agama di negara ini sangatlah kental. Dan setiap kelompok masih primordial dengan kelompoknya sendiri. Sehingga, kran kebenaran antar-umat beragama tidak terbuka.

Apalagi secara lintas agama. Bahkan ormas-ormas yang mengatakan bahwa dirinya Islam, seringkali masih memusuhi ormas Islam lainnya. Sehingga, memang benar-benar sulit untuk mengamini pluralisme agama. Dengan begitu, masyarkat tampaknya harus berpikir lebih paradoks. Supaya dapat mengikuti arus perkembangan zaman.

Nah, sebagai umat beragama dan warga negara Indonesia yang baik, tentu kita harus mengamalkan nilai-nilai agama yang kita anut, kemudian diaplikasikan dalam Pancasila. Sehingga, tercipta kehidupan yang bebas dan juga rukun antar-warga bangsa. Sebab, salah satu tujuan negara Indoensia ialah mempertahankan keutuhan NKRI.

Selain itu, khususnya umat Islam, harus benar-benar mampu berpikir paradoks dan meninggalkan pemikiran-pemikiran ortodoks. Apabila umat Islam masih kolot dalam memahami agama, maka lahirlah teroris. Sebab, lahirnya teroris karena kesalahan pemahaman mengenai jihad. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar