Mematahkan Sayap Terorisme
Siti Marwiyah ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
|
SUARA
KARYA, 11 September 2012
Kasus dugaan aksi terorisme di Solo, beberapa waktu lalu tampaknya
baru 'prolog' akan terjadinya dan barangkali merebaknya terorisme dunia dan
khususnya di Indonesia, yang telah menunjukkan akselerasi aksi-aksinya. Ada bom
Bali jilid 1 dan II, pengeboman Hotel Marriot, penembakan sejumlah polisi di
kantor Polsek, pengeboman masjid, dan berbagai model gerakan terorisme lainnya.
Berkali-kali terorisme berhasil dibongkar oleh aparat yang berwajib, dan
berkali-kali pula terorisme terus menantang aparat dan masyarakat melalui
gerakan-gerakannya.
Akeselerasi terorisme tersebut menunjukkan bahwa terorime belum
berhasil kita kalahkan dan tuntaskan. Terorisme bisa saja unjuk kekuatan untuk
memberi pelajaran yang lebih mengerikan pada kita. Boleh jadi, sekarang masih tiarap
untuk menyusun rencana. Namun nanti, saat kita lengah atau disibukkan dalam
konflik, mereka beraksi.
Keberhasilan membongkar jaringan teroris yang dilakukan oleh
aparat kepolisian di satu tempat tidak mengindikasikan kalau kekuatan teroris
melemah, apalagi mengecil. Keberhasilan menjaring tidak otomatis sebagai
keberhasilan melemahkan terorisme, apalagi mematikan sel-sel terorisme. Sel-sel
ini bisa tumbuh subur dan menyatu menjadi kekuatan terorganisir.Sudah beberapa
kali, aparat sukses membongkar jaringan terorisme di beberapa tempat atau
daerah di Indonesia, namun ini tidak menjadi pembenaran kalau terorisme sedang
lemah. Ditemukannya sarang teroris setidaknya justru mengindikasikan bahwa
masih ada wilayah lain yang besar kemungkinan digunakan sebagai 'lahan'
terorisme.
Mulai dari Pasuruan, Tenggulun Selokuro, Bali, Marriot (Jakarta),
Batu, Solo, Aceh hingga Sukoharjo, misalnya, setidaknya dapat dijadikan objek
bacaan sosial-geografis, bahwa teroris bisa ada di mana saja dan membangun
komunitas sesuai dengan target-targetnya. Sejumlah daerah ini telah
dijadikannya sebagai bagian dari penghidupan dan pereformulasian, serta
pengonstruksian gerakan radikalistiknya.
Selain itu, masalah kaderisasasi terorisme di Indonesia tidak bisa
dipandang sebelah mata. Menurut Sunardi (2009) dalam disertasinya yang
bertemakan masalah terorisme, kaderisasi teroris di negeri ini hanya bisa
dibaca dan ditafsirkan. Pasalnya, mereka merupakan kekuatan terorganisir,
militan, dan berideologi kuat, yang serba tersembunyi, dan dari waktu ke waktu
berusaha membuktikan pada dunia bahwa jaringan organisasinya tidak bisa
dikalahkan oleh siapa pun, termasuk aparat keamanan (kepolisian atau TNI).
Teroris masih bisa bersembunyi dan membangun bungker-bungker di
tengah masyarakat. Mereka bahkan terus mengepakkan sayap organisasi
terorismenya demi mewujudkan ambisi-ambisinya. Mereka bahkan bisa hidup dan
berkembang biak di mana saja. Mereka bisa menikah, membangun keluarga, dan
mengembangkan komunitas. Meski aparat kepolisian berhasil mengendus dan
membongkarnya, mereka masih mempunyai 'saudara' dan 'rumah' lain yang bisa
digunakan sebagai kekuatan cadangan yang mendukungnya.
Mereka
bisa melakukan seperti itu juga tak terlepas dari kepiawaian
'pemimpin-pemimpinnya' dalam merekrut kader atau orang-orang yang diniainya
layak dibibit dan diarahkan menjadi teroris. Elite pemimpin terorisme ini bisa
membaca dengan tepat dan cermat tentang seseorang atau sejumlah orang di
masyarakat yang mau direkrut, berjiwa militan, atau yang bisa dijadikan mesin
organisasi.
Kepiawaian pemimpin-pemimpin organisasi teroris itu sudah pernah
diingatkan oleh Miqdad Husen dalam Support
to Terrorism (2008) bahwa kemampuan kecerdasan intelektual, pengalaman
berorganisasi, dan 'kelicinan' pemimpin terorisme merupakan faktor kunci yang
menentukan keberlanjutan dan kehebatan terorisme. Terorisme akan terus
berkembang, mampu menghasilkan teknik-teknik teror gaya baru, atau pembunuhan
dan pengeboman canggih, serta bercorak masif, tidaklah lepas dari kehebatan
pemimpinnya dalam merekrut kader.
Model kader yang diandalkan oleh pemimpin teroris adalah kader
yang berasal dari didikan ideologis dan agama, serta orang-orang frustasi
akibat dikorbankan oleh negara yang memperlakukannya secara diskriminatif,
tidak berkeadilan, dan tidak berkeadaban.
Kalau kader yang berelasi secara ideologi dan teologis lebih
bertumpu pada masalah klaim kebenaran (truth
claim), artinya apa pun keyakinan, agama, dan kepercayaan orang lain
dianggaplah bersalah, sesat, dan menjerumuskan, sehingga layak dijadikan
sebagai penyakit atau musuh yang harus dihabisi melalui 'proyek jihad' yang
wajib dilaksanakannya.
Sementara itu, untuk kader yang berasal dari elemen frustasi
merupakan target privilitas dari pemimpin teroris. Pasalnya, kader ini dapat
digunakan sebagai mesin pembunuh mengerikan dan eksplosif. Kader ini
dimanfaatkan oleh pemimpin teroris sebagai mesin mematikan baik untuk memenuhi
target maksimal maupun menjawab kemungkinan kegagalan misi terorisme.
Kegagalan misi pemimpin terorisme tidak sampai terlacak akibat
kader 'lapis frustasi' itu digiring untuk menjadi elemen teroris pemberani atau
fundamentalis buta, yang mau menyerahkan nyawa demi perjuangan. Sehingga, opsi
harakiri atau kamikaze didoktrinkannya sebagai harga mati untuk menjaga
kerahasiaan dan keberlanjutan organisasi.
Kalau sudah begitu, yang diajak berperang melawan terorisme bukan
hanya aparat keamanan, tetapi elemen negara lain, khususnya elite strategisnya
yang berada di puncak piramida kekuasaan. Mereka mempunyai kebijakan
fundamental yang bersentuhan (berelasi) dengan kehidupan rakyat kecil atau
sekelompok orang yang selama ini dikecewakan akibat kezaliman (kriminalisasi)
yang diproduk oleh negara. Dhus, dengan kebijakan berbasis humanitas dan
populistik, barangkali satu kader teroris yang bersumber dari sekelompok orang
frustasi bisa diatasi lebih dini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar