Senin, 17 September 2012

Memaksimalkan the Ladder of Inference


Memaksimalkan the Ladder of Inference
Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 17 September 2012


DALAM waktu relatif dekat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan merealisasikan kebijakan baru di bidang pendidikan, yaitu Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN).

Kebijakan itu merupakan turunan logis dari pemberlakuan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti), dengan asumsi yang digunakan kurang lebih persis dan sama seperti ketika kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diberlakukan untuk sekolah-sekolah.

Belum lagi selesai program Bidik Misi dilaksanakan, kebijakan BOPTN itu janganjangan juga rentan terhadap kegagalan, pelanggaran, dan operasional di tingkat lapangan. Sebagaimana BOS yang menyamaratakan kepala siswa di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) dengan anak-anak di kota-kota besar dan kecil, jelas sekali kebijakan BOPTN akan mengikuti pola yang sama. Karena itu, kebijakan tersebut pasti akan rentan dengan banyak polemik dan kritik yang tak berkesudahan, tetapi kebijakan tetap berlangsung dan berjalan sebagaimana biasanya.

Jika diamati secara saksama, jelas program BOPTN akan memiliki kelemahan yang sama dengan dana BOS. Pertama, bukan hanya mahasiswa yang kurang beruntung secara ekonomi yang akan memperoleh bantuan, melainkan juga anak-anak dari kalangan ekonomi yang berkecukupan atau bahkan berlebih. Dalam konteks itu, Kemendikbud seharusnya secara transparan dapat menyebutkan data, berapa jumlah mahasiswa yang belajar di PTN saat ini yang secara ekonomi sebenarnya berada di level menengah ke atas. Kesannya kebijakan itu seperti jumping conclusion tanpa menganalisis terlebih dahulu data-data dimaksud.

Kedua, jika mengikuti logika distribusi dana BOS, dapat dibayangkan sebenarnya mahasiswa dan orangtua seperti tak memiliki peluang untuk tahu tentang apa dan bagaimana dana bantuan tersebut digunakan. Transparansi sebuah perguruan tinggi juga akan diuji dengan rumusan program yang tidak bisa sembarangan, atau bahkan terkesan menggampangkan masalah. Karena itu, 80% dari detail dan item program yang akan dilaksanakan seharusnya jatuh ke ruang belajar, bukan untuk pemenuhan transpor rapat para dosen dan pembelian alat-alat yang tak bermutu.

Ketiga, dengan mengikuti tools dalam mekanisme system thinking, jelas sekali kebijakan itu harus dicermati berdasarkan tangga inferensi (the ladder of inference) agar kebijakan tersebut terhindari dari jumping to conclusions terlalu dini, tanpa menimbang aspek assessment dan analisis data yang valid. Sering kali terlihat bahwa setiap kebijakan yang diambil Kemendikbud terkesan tanpa data, tetapi cenderung lebih memercayai asumsi dan konklusi personal tertentu, apakah itu menteri, dirjen, dan para direktur. Kita perlu tahu secara sederhana, apakah kebijakan tersebut memang merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap peserta didik.

Dengan menggunakan the ladder of inference sebagai tools untuk melihat logika di balik setiap kebijakan publik, kita berharap Kemendikbud memiliki wisdom yang cukup untuk rela dan ikhlas dikritik dan mau berubah. Meskipun alat itu sangat berbau psikologis karena memang diperkenalkan seorang psikolog bernama Chris Argyris, pendekatan the ladder of inference menjadi begitu dinamis ketika digunakan Peter Senge (2001) dalam The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization.

Tools itu sangat berguna bagi setiap pengambil kebijakan publik karena menggambarkan proses berpikir kita yang terkadang tanpa menimbang data, melihat fakta, dan mendengar berita, tetapi langsung menjadi keputusan dan aksi.

Kalau saja Kemendikbud mau berkaca dengan gagal diundangkannya UU Badan Hukum Perguruan (BHP), sebenarnya peluang untuk meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat melalui rancangan mekanisme BOS dan BOPTN sangat terbuka lebar. Dari aspek pemberdayaan masyarakat, UU BHP sebenarnya merupakan revolusi diamdiam dari pemerintah untuk memberikan kembali beban dan tanggung jawab pendidikan kepada masyarakat.

Jika dilihat dari aspek tujuan, UU BHP bahkan sesungguhnya berpotensi untuk membuat sebuah kesadaran baru bagi masyarakat agar manajemen pendidikan kita haruslah dikelola berdasarkan kebutuhan sekolah/perguruan tinggi sebagai bentuk otonomi manajemen pendidikan pada tingkat kepala sekolah/rektor yang dibantu masyarakat.

Sebagai klien sekaligus konsumen bidang pendidikan, tampaknya posisi masyarakat belum pernah sepenuhnya dijamin dan diberdayakan pemerintah. Dari prioritas pembangunan pendidikan, hampir tak ada program yang secara spesifik menyebutkan program pemberdayaan masyarakat.

Distribusi dana BOS, misalnya, meskipun ada keterlibatan komite sekolah, pada praktiknya di banyak sekolah peran tersebut sangat lemah karena komunitas tidak pernah dilatih dan diajak berpikir bersama merumuskan kebijakan-kebijakan sekolah. Padahal seyogianya masyarakat memiliki legitimasi dan hak untuk ikut terlibat dalam proses manajemen sekolah (Dunn, 1998). Jangan-jangan BOPTN juga akan bernasib sama meski tak serupa.

Karena itu, sebaiknya pemerintah merapikan dulu konsep dan eksistensi komite sekolah dan peran serta masyarakat di lapangan dengan turun sendiri, paling tidak melalui bantuan para akademisi di kampus-kampus, untuk melakukan identifikasi terhadap kemampuan masyarakat dalam berinteraksi dengan sekolah dan perguruan tinggi sekaligus. Masyarakat harus dilatih dalam sebuah program yang memadai agar mereka juga menjadi lebih berdaya dan tidak dijadikan bulan-bulanan pihak sekolah dan otoritas pendidikan.

Sesuai dengan prinsip the ladder of inference, di tengah masyarakatlah sesungguhnya berhamparan data yang sering kali tak cermat dilihat, tak tulus didengar, dan tak ikhlas dirasakan. Sebelum sampai pada kebijakan, ada baiknya hal-hal kecil ini dilakukan terlebih dahulu. Wallahu a’lam bi al-sawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar