Senin, 17 September 2012

BOPTN untuk Keterjangkauan dan Kualitas Perguruan Tinggi


BOPTN untuk Keterjangkauan dan Kualitas Perguruan Tinggi
Sukemi ;  Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
MEDIA INDONESIA, 17 September 2012


UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 12 Ta hun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) patut disyukuri. Melalui UU itulah kini keterjangkauan diharapkan bukan lagi menjadi kendala bagi masyarakat yang secara ekonomi sangat terbatas.

Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 16 Agustus 2012, baik pidato kenegaraan menyambut HUT Kemerdekaan Ke-67 RI yang disampaikan pagi hari maupun pidato pengantar nota keuangan untuk RAPBN 2013 pada malam harinya, menyatakan untuk mengoptimalkan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh seluruh rakyat, anggaran pendidikan terus ditingkatkan. Dengan anggaran pendidikan yang terus meningkat tiap tahunnya, kita mendorong terjadinya reformasi pendidikan, terutama dalam perluasan akses dan peningkatan kualitas di seluruh jenjang pendidikan.

Kehadiran UU Dikti kiranya sangat relevan dengan apa yang disampaikan Presiden dalam pidato pada 16 Agustus tersebut. Betapa tidak? UU itu telah mengamanatkan, dalam setiap penerimaan mahasiswa baru, perguruan tinggi negeri (PTN) wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% dari seluruh mahasiswa baru, tersebar pada semua program studi (Pasal 74 ayat 1).

Di pasal yang sama, ayat 2 menyatakan program studi yang menerima calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan dari pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan/ atau masyarakat.

Bukan hanya itu, pesan yang disampaikan dalam pidato tersebut juga sangat tepat mengingat kini dalam upaya mengimplementasikan UU Dikti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang menyiapkan BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri), yang diharapkan akan dapat berpengaruh pada aspek keterjangkauan dan kualitas.

Gagasan BOPTN mengadopsi program BOS di jenjang pendidikan dasar yang membuat tiap peserta didik mendapatkan bantuan biaya operasional yang diberikan melalui sekolah. BOPTN juga diberikan kepada PTN yang besarnya sangat bergantung tidak hanya pada jumlah mahasiswa di PTN (student body), tapi juga mempertimbangkan program studi dan jurusan yang ada di PTN tersebut serta pola penganggaran dan pembiayaannya.

BOPTN merupakan bantuan operasional bagi perguruan tinggi yang diharapkan akan dapat mengurangi biaya yang selama ini menjadi beban mahasiswa atau orangtua, sekaligus mendorong terciptanya kualitas perguruan tinggi.

Dua Tantangan

Secara umum terdapat dua tantangan yang dihadapi PT di Indonesia. Pertama, berkaitan dengan realitas bahwa lokasi PT lebih banyak di kawasan tertentu, khususnya di kota-kota besar. Kedua, berkaitan dengan kualitas, termasuk kemampuan PT menghasilkan lulusan yang bisa diterima lapangan kerja atau mampu secara mandiri sebagai wirausaha.

Jika dilihat dari sisi geografis, sebaran PT di Indonesia lebih banyak di Jawa dan Indonesia bagian barat. Hal itu bisa dipahami karena wilayah tersebut secara ekonomi lebih dahulu berkembang dan memiliki jumlah penduduk yang lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah lain. Akan tetapi, keterjangkauan PT pada kenyataannya tidak hanya berkaitan dengan masalah geografis. Secara sosial, PT kita juga menghadapi masalah keterangkauan. Apabila dilihat dari asal usul status sosial mereka, sebagian besar mahasiswa yang belajar di PT berasal dari kelompok menengah ke atas. Lulusan sekolah menengah atas yang berasal dari kelom pok bawah atau dari keluarga yang kurang beruntung sejak awal sudah merasa tersingkir dari kompetisi memasuki PT.

Data yang ada menunjukkan, pada 2010, hanya 2,77% masyarakat dari kelompok tidak mampu yang mengenyam pendidikan di PT. Itu mulai menunjukkan kenaikannya berkat kebijakan program Bidik Misi (bantuan bagi masyarakat tidak mampu untuk kuliah di PTN tanpa biaya) sehingga naik menjadi 3,30% pada 2011. Bantuan itu mencakup biaya kuliah dan biaya hidup. Melalui kebijakan tersebut, para lulusan sekolah menengah atas yang memiliki kemampuan akademik baik tidak perlu khawatir tidak bisa melanjutkan ke PT.

Mahalnya biaya pendidikan di PT acap kali dijadikan di PT acap kali dijadikan alasan pokok mengapa PT dipandang kurang ramah terhadap kelompok bawah. PTN yang sebelumnya dijadikan tempat bersandar bagi kelompok itu belakangan juga diragukan. Hal tersebut tidak lepas dari pembukaan jalur penerimaan mahasiswa berbiaya besar di PTN.

Selain itu, ada pemikiran yang berkembang di sebagian pengelola PT, yakni mampukah mereka yang berasal dari kelompok tidak mampu berprestasi? Keraguan tersebut dapat segera terjawab karena fakta menunjukkan, dari peserta program Bidik Misi, terbukti mereka mampu berprestasi. Mereka yang mampu mencapai indeks prestasi sempurna (empat) sebanyak 0,7%. Adapun yang memiliki indeks prestasi di atas 2,75 sebanyak 81,07%.

Itu tentu menjadi fakta. Jika kesempatan diberikan, mereka yang dari kelompok ekonomi terbatas sekalipun bisa meraih prestasi. Itu sebabnya berulang kali Mendikbud Mohammad Nuh, dalam beberapa kali kesempatan, meminta pimpinan PTN mengembangkan program keramahan sosial bagi kelompok masyarakat kurang mampu.

Mempercepat Kualitas?

Munculnya kebi jakan bagi PTN tertentu untuk membuka ruang bagi penerimaan mahasiswa berbiaya besar didasari keinginan untuk mempercepat kualitas PTN-PTN itu agar sejajar dengan PT-PT terkemuka di dunia. Bila belajar dari negara-negara lain, percepatan itu bisa dilakukan melalui pemberian anggaran yang besar dari pemerintah kepada PT atau PT itu dimungkinkan untuk memiliki otonomi di dalam mengelola anggaran sendiri termasuk menarik biaya lebih mahal dari mahasiswa.

Anggaran pendidikan di Indonesia memang mengalami peningkatan yang sangat berarti dalam satu dekade belakangan. Namun, peningkatan anggaran itu belum cukup berarti untuk mendorong PT meningkatkan kualitas. Karena itu, PTN tertentu diberi keleluasaan yang lebih besar di dalam mencari dan mengelola anggaran. Hanya, konsekuensi yang ditimbulkan ialah PTNPTN tersebut dianggap kurang ramah terhadap kelompok bawah dan keluarga-keluarga yang kurang beruntung.

Sebagaimana diamanatkan konstitusi, di antara tugas pokok pemerintah ialah `mencerdaskan kehidupan bangsa'. Yang menjadi sasaran dari tugas itu jelas bukan kelompok-kelompok tertentu, melainkan seluruh warga negara Indonesia. Karena itu, dalam konteks PT, tantangan yang dihadapi pemerintah yaitu memberikan akses yang lebih besar kepada seluruh lulusan sekolah menengah atas untuk memperoleh pendidikan tinggi yang berkualitas.

Tantangan semacam itu memang tidak mudah dijawab. Namun, dalam tahuntahun terakhir ini, pemerintah telah berusaha menjawab tantangan itu melalui tiga kebijakan pokok. Pertama, membuka PTN di daerahdaerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal) di luar Jawa. Tidak sekadar membuka, tetapi juga menjadikan PTN di luar Jawa menjadi pusat unggulan. Kemudian membuka PTN yang memiliki konsentrasi keilmuan tertentu yang selama ini belum berkembang di luar Jawa, seperti Institut Teknologi Kalimantan dan Institut Teknologi Sumatra.

Selain itu, mulai tahun ini, sebagaimana tertuang dalam UU Dikti, pemerintah sedang membangun Akademi Komunitas, program vokasional diploma satu dan dua di berbagai daerah di Indonesia.

Kedua, mewajibkan PT menerima sekurang-kurangnya 20% mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu dan mahasiswa dari daerah 3T. Ketiga, pemerintah berusaha memperbaiki kualitas PT, baik negeri maupun swasta, seperti melalui pemberian dana-dana stimulus.

Untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik, telah disediakan beasiswa untuk para dosen guna meneruskan pendidikan S-2 dan S-3, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak hanya itu, yang sudah memperoleh pendidikan S-3 dan memiliki gelar akademik guru besar juga diberi anggaran khusus untuk melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah di universitas-universitas di luar negeri.

Reorientasi kebijakan mengenai PT semacam itu kini memiliki landasan konstitusional yang lebih tinggi seiring dengan pengesahan UU Dikti. Di dalam UU tersebut, kerangka pengembangan PT di masa depan telah terbingkaikan. Melalui BOPTN itulah diharapkan, keterjangkauan dan kualitas PT dapat direalisasikan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar