Kamis, 06 September 2012

Rancang Ulang Pilkada Langsung


Rancang Ulang Pilkada Langsung
Kacung Marijan ;  Guru besar FISIP Unair dan Staf Ahli Mendikbud
JAWA POS, 06 September 2012


PEMILU kepala daerah secara langsung sejatinya dirancang atas dasar harapan mulia. Rakyat dilibatkan langsung dalam pemilihan kepala daerah. Maksudnya, agar terpilih para kepala daerah yang terbaik, yang mampu menyejahterahkan rakyat di daerah.

Di daerah tertentu harapan itu menjadi kenyataan. Terdapat kepala daerah yang memiliki visi kuat dan pekerja keras. Dalam waktu yang tidak terlalu lama kepala daerah itu mampu membawa perubahan yang berarti, terutama di bidang pelayanan publik.

Namun, tidak sedikit pula efek negatif (by product) yang dilahirkan pilkada. Di daerah-daerah tertentu, sebagian besar di luar Jawa, pilkada berkonsekuensi pada munculnya konflik sosial di akar rumput. Bahkan, ada yang sampai memakan korban jiwa.

Mengingat adanya konsekuensi negatif semacam itu, terdapat dua usul penting. Pertama, mengembalikan format pilkada sebagaimana sebelumnya, yakni kepala daerah tidak perlu dipilih secara langsung, tapi cukup oleh DPRD. Kedua, pilkada secara langsung tetap dianut, tetapi melalui penataan ulang.

Usul yang terakhir itu sepertinya yang memperoleh dukungan lebih kuat. Paling tidak, dukungan para wakil rakyat di DPR. Sebagian besar partai yang memiliki kursi di DPR masih setuju diadakannya pilkada secara langsung, tetapi menginginkan perbaikan format. 

Oligarki 

Kalau kita cermati, di antara masalah bersama yang berkaitan dengan pilkada adalah besarnya biaya pilkada, baik biaya yang dikeluarkan pemerintah maupun yang dikeluarkan para calon dan pendukungnya.

Demokrasi memang berbiaya tidak murah. Tetapi, kecenderungan biaya dalam pilkada secara langsung belakangan ini memang tidak masuk akal. Pilkada telah masuk ke ruang besar "demokrasi pasar bebas tidak sempurna". Di dalam model demokrasi seperti ini, transaksi politik tidak lagi menggunakan logika nurani yang mementingkan kebutuhan menciptakan public goods and services yang terbaik, melainkan atas dasar kepentingan jangka pendek. 

Konsekuensinya, yang terpilih tidak otomatis yang berprospektif jangka panjang untuk kepentingan bersama, melainkan kepentingan jangka pendek. Dalam pandangan para calon, yang terpenting adalah bagaimana bisa terpilih dan berkuasa, sementara para pemilih berpikir apa yang didapat sebelum memilih. 

Tidak semua calon dan pemilih berpikir seperti itu memang. Tetapi, kecenderungan semacam itu menguat sejak diadakannya pilkada secara langsung pada 1 Juni 2005. Jumlah pemilih yang bermotif ekonomi jangka pendek, atau berubah pilihan karena tawaran uang, meningkat. 

Realitas semacam itu merupakan titik balik dari tujuan mulia pilkada secara langsung, yaitu ingin memangkas praktik transaksi jangka pendek dan model kekuasan oligarkis ketika kepala daerah dipilih DPRD. Setelah kepala daerah diadakan secara langsung, praktik semacam itu malah meluas, tidak hanya melibatkan politisi, tapi juga pemilih. Walhasil, model kekuasaan oligarkis malah terpupuk. 

Rancang Ulang 

Untuk mengatasi besarnya biaya, pemerintah mengusulkan diadakannya pilkada secara serentak. Praktik pilkada secara serentak di sejumlah provinsi, seperti di Aceh, Sumatera Barat, dan beberapa provinsi lain dijadikan rujukan. Gagasan ini memang baik dan berpotensi bagi lahirnya efisiensi. Tetapi, biaya yang dipangkas lebih pada biaya penyelenggaraan yang dikeluarkan pemerintah. 

Agar memiliki daya rombak yang lebih baik, perlu diadakan rancang ulang lanjutan. Pertama, sistem penentuan pemenang. Selama ini dipakai threshold 30 persen, sebagai batas minimal perolehan suara pemenang. Kalau tidak, diadakan pemilihan putaran kedua. 

Ke depan, kita bisa menggunakan sistem pluralitas. Pemenang ditentukan oleh perolehan suara terbesar pada saat pemilihan, tidak dibatasi oleh angka tertentu. Sistem ini tidak mengenal pemilihan putaran kedua.

Hanya, rancangan semacam itu juga masih berkaitan dengan upaya menekan biaya penyelenggaraan. Yang tidak kalah penting dan bahkan lebih dahsyat adalah bagaimana menekan biaya pemilu di luar penyelenggaraan, yakni yang dikeluarkan calon dan pendukungnya.

Langkah kelembagaan kedua yang bisa dilakukan adalah melalui pembatasan (threshold) biaya yang dikeluarkan para calon. Misalnya, calon hanya boleh mengeluarkan biaya kampanye dan biaya-biaya lain dalam jumlah tertentu. Penentuannya didasarkan PDRB masing-masing daerah.

Batasan semacam itu selain bisa memangkas biaya di luar penyelenggaraan, juga untuk membuat pilkada berlangsung lebih adil. Kompetisi antarcalon akan berlangsung di dalam "persaingan pasar bebas yang lebih sempurna". Biaya yang dikeluarkan antara satu calon dengan calon lain relatif seimbang.

Sementara itu, untuk mengatasi transaksi jangka pendek antara calon dan pemilih, perlu diatur lebih ketat masalah money politics. Masalah ini tidak hanya berkaitan dengan gugurnya calon yang mempraktikkannya, tapi juga sebagai masalah pidana yang melibatkan pemilih yang melakukannya. Yang dipangkas kemudian bukan hanya dari sudut penyedia (supply side), melainkan juga dari sudut yang menerimanya (demand side).

Memang, rancang ulang semacam itu tidak serta merta menghapus sama sekali sisi buruk pelaksanaan pilkada secara langsung. Masalah transaksi jangka pendek antara calon dan pemilih, misalnya, melibatkan situasi yang kompleks, mulai budaya sampai kondisi ekonomi masyarakat.

Selama masyarakat menganggap transaksi semacam itu sebagai sesuatu yang lumrah, serta kemiskinan moral dan material masih menggelayuti masyarakat kita, hasil baik rancang ulang semacam itu belum maksimal. Tetapi, sebagai bagian dari upaya perbaikan, kita harus terus melakukannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar