Krisis Suriah dan Peran DK PBB
Ahmad Husni ; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Jayabaya
|
SUARA
KARYA, 13 September 2012
Krisis politik dan kemanusiaan terus berlangsung di Suriah.
Sebagaimana diketahui, sejak Januari 2011 Presiden Suriah Bashar al-Assad
berperang melawan pemberontak sipil Suriah yang menuntut reformasi politik dan
meminta Presiden Bashar mundur dari kursi kekuasaan.
Sebagai lembaga pemelihara perdamainan dan
keamananan internasional, DK PBB kemudian mengajukan rancangan resolusi untuk
mengecam kekerasan yang dilakukan oleh rezim Bashar terhadap rakyat sipil di
Suriah. Akan tetapi, resolusi itu gagal terwujud lantaran Rusia dan China
sebagai anggota tetap DK PBB terus memveto rancangan resolusi tersebut hingga
tiga kali. Resolusi itu sendiri dirancang untuk menekan Presiden Suriah Bashar
al-Assad dan menghentikan konflik yang telah menewaskan ribuan orang.
Mencermati kondisi itu, Pemerintah Indonesia
melalui Kemenlu telah menyampaikan rasa kecewa terhadap kinerja Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dalam mendorong perdamaian di Suriah. DK
PBB gagal bersuara bulat untuk mengeluarkan resolusi mengenai Suriah.
Akibatnya, hal itu membuka risiko semakin memburuknya situasi di Suriah.
Tentu bukan tanpa alasan Indonesia
mengungkapkan kekecewaan terhadap kinerja DK PBB. Dalam beberapa kesempatan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerukan agar DK PBB lebih
memfokuskan pada upaya menciptakan perdamaian di Suriah, bukan malah
mempermasalahkan kedudukan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Jika DK PBB
menitikberatkan fokus perhatian pada kedudukan Presiden Suriah Bashar al-Assad
niscaya kesamaan sikap dan suara bulat tidak akan dapat tercapai. Namun, apa lacur
seruan Presiden SBY itu tidak mendapatkan respon positif dari negara-negara
anggota DK PBB.
Bahkan, Kegagalan DK PBB untuk bersuara bulat
dalam mengeluarkan resolusi guna mengatasi krisis di Suriah menyiratkan pesan
penting kepada dunia internasional bahwa ada sesuatu yang salah (something
wrong) di internal DK PBB. Kegagalan DK PBB itu juga sekaligus sebagai bentuk
konfirmasi mengenai perlunya reformasi komposisi keanggotaan DK PBB.
Sejak beberapa tahun terakhir gagasan mengenai
reformasi komposisi keanggotaan DK PBB memang telah menjadi salah satu isu
utama yang disuarakan oleh sejumlah pemimpin dunia dalam forum-forum pertemuan
PBB, tidak terkecuali Presiden SBY.
Terakhir, Presiden SBY mengemukakan gagasan
mengenai reformasi komposisi keanggotaan DK PBB saat memberikan pidato
pembukaan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Gerakan Non Blok (GNB) Ke-16 di Nusa
Dua, Bali, Mei 2011. Presiden SBY berpandangan konstelasi global saat ini telah
berubah sehingga komposisi keanggotaan DK PBB perlu ditata kembali agar dapat
mewakili kepentingan bangsa-bangsa di dunia secara lebih luas.
Secara historis, pembentukan PBB ditujukan
untuk memainkan peran sebagai fasilitator dalam berbagai permasalahan
perdamaian dan kemananan dunia. Sejak berdiri pada tanggal 24 Oktober 1945
sampai dengan saat ini tercatat ada sekitar 191 negara yang telah
mengintegrasikan diri sebagai anggota PBB. Adapun negara-negara yang menjadi
penyokong utama bagi pembentukan PBB adalah negara-negara yang berjaya pada
Perang Dunia (PD) II yaitu, AS, Inggris, Prancis, Uni Soviet (kini Rusia), dan
China.
Status sebagai kampium PD II membuat kelima
negara itu memperoleh jatah kursi tetap di DK PBB. Karena itu, tidak
mengherankan apabila dalam menjalankan misi sebagai penjaga perdamaian dan
keamanan dunia PBB seringkali terlihat kesulitan untuk melepaskan diri dari
jeratan kepentingan kelima negara itu.
Di samping itu, kelima negara itu juga
menikmati hak untuk memveto setiap resolusi yang akan dikeluarkan. Secara
substansi, hak veto tentu saja bertentangan dengan semangat piagam pendirian
PBB yang menyebutkan bahwa seluruh negara memiliki hak dan kewajiban yang sama
dalam menjaga perdamaian dunia.
Agaknya, memang sudah sejak awal ada sesuatu
yang salah dalam tubuh PBB sehingga dalam menjalankan misi sebagai penjaga
perdamaian dan keamanan dunia PBB seringkali tidak mampu berperan secara
optimal. Selama ini hak veto telah menyebabkan mentahnya berbagai aspirasi yang
dibawa oleh negara-negara lain di luar kelima negara itu, terutama
negara-negara berkembang.
Karena itu, tidak mengherankan jika saat ini
aspirasi penghapusan hak veto semakin luas disuarkan oleh sejumlah negara.
Reformasi di tubuh DK PBB akan sulit terwujud bila hak veto yang dimiliki oleh
Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan China tidak dihapuskan.
Bila penghapusan hak veto sulit dilakukan
karena akan mengubah Piagam PBB, maka paling tidak perlu ada pembatasan
penggunaan hak veto melalui komitmen dari anggota tetap agar terjadi prinsip
keadilan bagi setiap anggota. Selama ini problematika hak veto selalu
membayangi legitimasi DK PBB. Negara-negara pemegang hak veto setiap saat dapat
mempengaruhi terjadinya perubahan subtansi dari suatu rancangan resolusi.
Tidak hanya itu, negara-negara pemegang hak
veto juga mampu menghadang terbitnya resolusi yang dipandang tidak
menguntungkan mereka maupun sekutunya. Singkat kata, peran DK PBB sebagai
pemegang otoritas penjaga perdamaian dan keamanan dunia praktis tidak dapat
berjalan optimal akibat pertentangan kepentingan dari masing-masing anggota pemegang
hak veto tersebut.
Dalam konteks itu,
dibutuhkan upaya konkret dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia
untuk mendorong laju reformasi di tubuh DK PBB. Apalagi, Indonesia merupakan
negara keempat dengan populasi terbesar di dunia - setelah China, India, dan AS
- dan diakui sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan posisi
ini, Indonesia bisa mengusulkan keanggotaan tetap DK PBB bisa diperluas. ●
Indonesia sebagai negara netral kiranya bisa mengajukan solusi-solusi damai atas krisis disuriah
BalasHapus