Ancaman Krisis
Pangan dan Respons Kebijakan
Bustanul Arifin ; Guru
Besar Universitas Lampung,
Professorial
Fellow di InterCAFE dan MB-IPB
|
KOMPAS
, 03 September 2012
Ancaman krisis pangan kini
semakin membesar, terutama setelah pada Agustus 2012 Organisasi Pangan dan
Pertanian mengeluarkan laporan kenaikan harga-harga pangan dan Departemen
Pertanian Amerika Serikat kembali merevisi angka estimasi penurunan produksi pangan,
terutama biji-bijian. Bahkan, FAO secara serius mengingatkan Indonesia tentang
ancaman krisis pangan ini.
Laporan Organisasi Pangan
dan Pertanian (FAO) menyebutkan bahwa kenaikan harga pangan biji-bijian dunia
telah mencapai 17 persen (38 poin dalam indeks harga) dibandingkan dengan harga
bulan Juni 2012. Departemen Pertanian AS (USDA) juga telah merevisi estimasi
produksi jagung, yang diperkirakan menurun 17 persen pada Agustus 2012 karena
kekeringan yang sangat dahsyat. Harga jagung di tingkat internasional juga
telah meningkat sampai 23 persen. Bahkan, kenaikan harga jagung tercatat 46
persen jika dibandingkan dengan harga pada Mei 2012. Kenaikan harga jagung
masih akan terus berlangsung karena sekitar 42 persen jagung dunia dihasilkan
oleh AS, terutama di daerah Midwest, yang kini bermasalah karena kekeringan
hebat.
Kekeringan hebat juga telah
melanda Rusia, sebagai salah satu produsen gandum dunia, sehingga telah
menaikkan harga gandum sampai 19 persen. Stok gandum dunia diperkirakan menurun
menjadi 179 juta ton sehingga volume yang diperdagangkan pun akan menurun, yang
akan mengerek harga gandum lebih tinggi lagi. Dengan ketergantungan 100 persen
pada gandum impor, dan total impor gandum Indonesia yang mencapai 6,6 juta ton
(naik 6,2 persen), kenaikan harga tepung terigu di dalam negeri akan memiliki
dampak berantai yang pasti berpengaruh terhadap kinerja sektor riil di
Indonesia.
Kontraksi suplai kedelai di
tingkat global, juga karena kekeringan di AS, telah meningkatkan rekor harga
kedelai sebesar 26 persen dan sempat membuat ekonomi kedelai di Indonesia
kacau-balau karena kinerja produksi kedelai di dalam negeri sangat buruk. Hal
yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa kenaikan harga kedelai dan jagung akan
meningkatkan harga pakan ternak, yang akan terlihat dampaknya pada siklus
produksi daging dan ayam tahun 2013.
Fenomena yang terjadi pada
ekonomi gula dunia juga cukup menarik setelah harga gula dunia naik 12 persen
karena suplai gula yang bermasalah. Musim hujan yang agak ekstrem telah
memengaruhi kinerja produksi gula di Brasil sebagai pemasok gula terbesar di
dunia. Musim hujan yang lambat di India dan kekeringan yang terjadi di
Australia juga ikut memengaruhi ancaman kenaikan harga gula di dalam negeri,
yang masih tergantung 54 persen dari gula impor.
Suplai beras dunia
diperkirakan tak banyak berubah, karena musim kinerja produksi beras di
Thailand, Vietnam, dan Kamboja cukup baik, sehingga kenaikan harga beras tak
sebesar kenaikan harga pangan lainnya. Namun, Indonesia masih harus mewaspadai tingkah
laku dan reaksi protektif beberapa negara produsen beras, terutama jika kinerja
produksi beras di dalam negeri masih banyak masalah. Selama 10 tahun terakhir,
produksi beras global hanya tumbuh 0,75 persen per tahun, sementara konsumsinya
tumbuh 0,97 persen per tahun. Kesenjangan pertumbuhan 0,19 persen inilah yang
telah mengubah struktur perdagangan beras di pasar internasional, yang berubah
menjadi semakin rumit. Produsen utama beras dunia tersebut ternyata lebih
mengutamakan pemenuhan konsumsi dalam negerinya daripada harus melempar stok ke
pasar global. Struktur perdagangan beras dunia semakin sulit dipercaya setelah
negara-negara produsen beras lebih banyak terfokus untuk mengatasi
persoalan-persoalan di dalam negeri mereka sendiri.
Indonesia sebenarnya
memiliki pengalaman yang baik dalam merumuskan respons kebijakan dalam meredam
dampak krisis pangan global 2008-2009. Kebetulan juga musim hujan cukup
bersahabat sehingga produksi beras, sebagai pangan pokok, juga meningkat bahkan
di atas 6 persen. Perum Bulog juga mampu melakukan manajemen logistik beras dan
penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin) juga cukup baik.
Kini, musim hujan di
Indonesia diperkirakan masih akan terlambat sehingga kinerja produksi pangan
tak sebaik tahun 2008-2009. Secara hakikat, sejarah tak akan pernah dapat
diulang secara sama persis sehingga respons kebijakan yang harus segera diambil
pemerintah juga perlu lebih inovatif. Benar bahwa Kementerian Pertanian telah
melakukan rapat koordinasi dengan seluruh kepala dinas pertanian. Langkah nyata
dan pelaksanaan kebijakan di tingkat lapangan sangat ditunggu karena ancaman
krisis pangan tidak akan dapat diselesaikan di ruang rapat.
Misalkan, prioritas
penanganan dan antisipasi krisis pangan global perlu diberikan kepada kelompok
miskin. Total jumlah orang miskin masih tercatat 29,1 juta orang (12 persen)
dan 18,5 juta orang (64 persen dari kemiskinan itu) tinggal di pedesaan.
Sebagian besar penduduk miskin pedesaan adalah petani dan lebih dari 75 persen
petani miskin itu adalah petani tanaman pangan, dengan penguasaan lahan
setengah hektar. Baik sebagai produsen pangan maupun sebagai konsumen pangan,
kelompok petani miskin menjadi demikian rentan terhadap external shocks yang
benar-benar di luar kendali dan kekuasaan mereka.
Sebagai produsen, kelompok
petani miskin ini amat rentan terhadap ancaman kekeringan, perubahan iklim,
serangan hama dan penyakit tanaman, bencana alam, dan lain-lain. Bahkan, mereka
yang berada sedikit di atas garis kemiskinan (near poor) tiba-tiba dapat jatuh menjadi amat miskin karena tidak
banyak lagi yang dapat diandalkan dari harta-benda dan kekayaannya. Respons
kebijakan terhadap kelompok paling bawah dari petani tentu tidak cukup hanya
dengan proyek-proyek percontohan usaha tani yang sangat administratif, akses
kredit pertanian yang sangat birokratis, atau bantuan langsung uang tunai yang
nyaris tidak berdampak apa-apa.
Kelompok ini memerlukan
pendampingan yang serius, peningkatan kapasitas secara sistematis, pendidikan
informal yang mampu mengarah pada kemampuannya menolong diri sendiri (self-help). Mereka perlu memperoleh
pemberdayaan organisasi dan kelembagaan yang mampu meningkatkan posisi tawar
petani, minimal agar tidak dijadikan bulan-bulanan oleh tengkulak dan elite
ekonomi lainnya. Rencana untuk memberikan perlindungan dari kemungkinan gagal
panen dan puso, bahkan sampai asuransi tanaman perlu segera direalisasikan.
Sebagai konsumen, kelompok
petani miskin juga sangat rentan terhadap kenaikan harga-harga pangan dan
kebutuhan pokok lainnya, karena produksi yang dihasilkannya sendiri tidak
memadai untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Oleh karena itu, respons
kebijakan dalam menghadapi ancaman krisis pangan wajib menjadi prioritas
kebijakan negara, bukan kebijakan sektoral yang bersifat administratif semata.
Krisis pangan yang tidak tertanggulangi akan menjadi cikal bakal krisis ekonomi
dan krisis-sosial politik yang sangat tidak diharapkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar