Reaksi dan Agenda
Penistaan
Hery Sucipto ; Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Dunia Islam
Universitas Muhammadiyah Jakarta
|
REPUBLIKA,
18 September 2012
Jagad
publik kembali digegerkan dengan munculnya film yang menyerang kesucian ajaran
Islam, yakni “Innocent of Muslim“.
Film yang disutradarai Sam Bacile itu diunggah di situs YouTube dan dalam sekejap menyulut amarah publik internasional,
khususnya umat Islam.
Para
pemain film ini, seperti dilansir banyak media, termasuk Republika, mengaku
telah merasa dibohongi. Mereka tidak diberitahu skenario sesungguhnya film
tersebut. Skenario film, menurut para pemain, diubah tanpa sepengetahuan
mereka. Karena kecewa itulah, mereka berencana menuntut sang sutradara dan
produser yang memproduksi film tersebut.
Penistaan Agama
Sebenarnya,
kasus pelecehan agama bukan kali ini saja dilakukan aktivis maupun oknum di
negara-negara Barat. Sebut saja misalnya, Pendeta Amerika Terry Jones dengan kampanye
membakar kitab suci Alquran beberapa waktu lalu. Pada 2005, di Norwegia seorang
kartunis membuat kartun Nabi Muhammad yang kemudian menyulut kemarahan publik
internasional.
Di
Belanda, politisi oposisi dan antiIslam, Geers Wilders, yang partainya baru
saja menelan kekalahan telak dalam pemilu negeri itu pekan lalu, juga membuat
film penghinaan terhadap Muhammad SAW beberapa waktu lalu. Masih banyak lagi
karya-karya yang melecehkan agama dan umat Islam, termasuk di akhir era 80-an,
Salman Rushdi dengan “The Satanic Verses“-nya.
Para
seniman dan tokoh tersebut, dengan dalih karya seni, menciptakan karyanya untuk
kepentingan seni semata. Padahal, sebuah seni-dan memang sudah seharusnya-tetap
harus mengedepankan etika dan nilai-nilai universal kemanusiaan. Dengan
demikian, sebuah karya seni akan dihargai dan dinilai sebagai sebuah karya yang
indah. Namun sebaliknya, apa yang dilakukan para seniman di atas, selain telah
menistakan nilai agama, juga telah merendahkan martabat dan karya seni itu
sendiri.
Dengan
dampak negatif dan massif yang ditimbulkan dari “Innocent of Muslims“ dan karya
seni sejenis itu, sulit rasanya dihindari penilaian sebagian kalangan bahwa
kemunculan film tersebut ada agenda tertentu untuk merusak kerukunan dan
kedamaian di masyarakat, khususnya untuk merusak citra Islam. Namun, satu yang
pasti, munculnya karya seni yang kontroversial, apalagi menyinggung agama
tertentu, sudah pasti akan mengganggu stabilitas dan keamanan publik. Inilah
yang kita saksikan, terutama di negara-negara Timur Tengah, dunia Arab, dan
bahkan di sebagian negara-negara Barat sendiri.
Respons Timur Tengah
Berbeda
dengan di Indonesia yang terlihat sepi dari aksi jalanan, demo masif
berhari-hari memprotes film “Innocent of
Muslims“ terlihat sangat keras di negara-negara di Timur Tengah dan Afrika
Utara (Arab Maghribi). Yang paling parah di Libya, demo warga bahkan menewaskan
dubes AS dan ketiga stafnya. Washington pun marah dan mengerahkan 2 kapal
perang ke Libya.
Di
Mesir, kedubes AS menjadi sasaran amuk massa. Lebih dari 200 orang cedera dalam
aksi itu. Di Tunisia juga demikian, bahkan kedubes AS dan sekolah milik Paman
Sam ditutup sementara. Di Sudan, bukan saja kedubes AS yang menjadi sasaran,
tetapi juga kedubes Inggris dan Jerman tak luput dari aksi massa.
Bahkan KFC, restoran cepat saji asal Amerika, dibakar massa. Di Afghanistan,
Bahkan KFC, restoran cepat saji asal Amerika, dibakar massa. Di Afghanistan,
munculnya film tersebut menjadi pembenar Taliban menyerang kamp militer
Pangeran Harry dari Inggris.
Di
tengah euphoria Arab springs
(revolusi Arab) yang telah berhasil menumbangkan beberapa rezim otoriter di
kawasan dunia Arab dan Timur Tengah, kemunculan film tersebut secara umum
seakan menjadi amunisi baru dari amarah publik terhadap pemerintah Amerika
Serikat (AS). Beberapa alasan berikut dapat menjelaskan kemarahan yang dahsyat tersebut.
Pertama,
selama ini kebijakan AS di Timur Tengah dinilai kerap memarginalkan
negara-negara Arab dan Timur Tengah, serta lebih memihak Israel. Para tiran di
dunia Arab, seperti Husni Mubarak, Ali Zein Abidin di Tunisia, dan lainnya,
meski menindas rakyatnya, tapi didukung penuh oleh AS. Sebaliknya, rezim yang
tak sejalan dengan Amerika, seperti Qadafi di Libya, Bashar Assad di Suriah,
Saddam Hussein di Irak, Ahmadinedjad di Iran, dan lainnya, akan dimusuhi dan
dilengserkan. Publik juga tahu, bagaimana AS dengan getol menyerang Irak,
Libya, dan Afghanistan merupakan bukti lain kebijakan AS yang jauh dari nilai
kemanusiaan.
Kedua,
fakta ketidakadilan politik AS di Timur Tengah telah memicu sikap politik
publik Timur Tengah dengan caranya sendiri. Dalam konteks inilah sebenarnya
kita dapat membaca bahwa kemarahan publik di Timur Tengah dan dunia Arab tidak
semata protes atas film “Innocent of
Muslims“, tetapi lebih sebagai kemarahan politis. Berbeda dengan sikap
pemerintah di negara-negara Arab yang cenderung tak tegas dan diam, rakyat
Timur Tengah memanfaatkan film itu sebagai “pembalasan“ atas arogansi AS selama
ini.
Ketiga,
dari kasus ini, sebenarnya AS dapat belajar, minimal di masa mendatang, agar
lebih bijak dan hati-hati lagi dalam merumuskan kebijakan politiknya terkait
Timur Tengah. Meskipun di Amerika sendiri, sikap dan tindakan yang merendahkan
agama tertentu adalah hal biasa.
Namun,
tanpa disadari, efek domino dari sikap tersebut telah merugikan bukan saja
pemerintah AS sendiri, melainkan juga dunia internasional yang terus
mengampanyekan pentingnya hidup rukun, menjunjung pluralitas, dan mengedepankan
harmonisme di tengah perbedaan. Agama, bagaimana pun mempunyai peran strategis
dalam kehidupan, meski kaum kapitalis, seperti penulis Roger S Gottlieb, kerap
menganggap agama sebagai sumber kekerasan dan terorisme.
Nah, film “Innocent of Muslims“ seakan telah meruntuhkan bangunan harmoni dan
inklusifisme, di sisi lain telah memunculkan tindakan radikalisme dan
militanisme baru yang tidak sejalan dengan kampanye hidup damai. Pelajaran
berharga ini menyadarkan kita semua dan sudah seharusnya menjadi perhatian
dunia-bahwa kampanye, komitmen, dan promosi perdamaian dunia harus selalu
diikuti tindakan nyata. Jika tidak, hanya akan menjadi pekerjaan wacana yang
sia-sia belaka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar