Kamis, 06 September 2012

Hegemoni Uang Hakim Tipikor


Hegemoni Uang Hakim Tipikor
Putera Manuaba ;  Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga, Surabaya
SUARA KARYA, 06 September 2012


Satu kasus lagi yang ada di negeri ini, yang secara besar-besaran diekspos beberapa media massa, belum lama ini dan masih menjadi persoalan bangsa adalah adanya perilaku hakim-hakim tindak pidana korupsi (tipikor) daerah yang menerima suap dari koruptor. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 84 hakim tipikor bermasalah yan g diadukan ke Komisi Yudisial. Mahkamah Agung (MA) paham benar mengenai hakim-hakim tipikor daerah yang mulai membebaskan dan meringankan hukuman tersangka korupsi. Padahal, keberadaan hakim tipikor ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi koruptor.

Mengapa hakim-hakim tipikor daerah yang bermasalah melakukan perilaku semacam itu? Ini tak lain dan tak bukan karena mereka menjadikan uang sebagai 'yang maha kuasa'. Mereka menganggap uang sebagai penentu keputusan, yang mengalahkan otoritas profesinya sebagai hakim. Sebagai orang yang menekuni profesi hakim - sebagaimana halnya profesi lainnya yang ditekuni orang -, para hakim sebenarnya mungkin juga ingin menggunakan otoritas profesinya untuk memutuskan apa yang seharusnya diputuskan berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran, namun uang tampaknya lebih punya kuasa. Karena itu, apa yang menjadi keputusan hakim sebenarnya di bawah kuasa uang. Inilah yang oleh Antonio Gramsci, seorang filsuf-sosiolog kritis Marxis dari Italia, dinamakan sebagai orang yang terhegemoni.

Pemikiran hegemoni ini pada awalnya tercetus dari adanya dominasi kuasa negara kota Athena kepada negara kecil Sparta. Dalam dominasi kuasa itu, penguasaan terjadi atas dasar konsensus (kesepakatan). Pihak yang dikuasai sepakat melakukan sesuatu, meskipun sesuatu itu bukan merupakan kehendak dirinya. Pihak ini meninggalkan kata hati, keharusan, keadilan, dan kebenaran. Ada kekuatan faktor eksternal yang mengatur pihak yang dikuasai.

Pihak yang dimaksud biasanya bisa berupa orang-orang yang memiliki kuasa, dan bisa juga berupa uang atau harta. Biasanya, dominasi kuasa atas dasar kesepakatan itu terjadi karena pihak yang dikuasai punya kepentingan. Apabila tak punya kepentingan, tak akan terjadi penguasaan hegemonik seperti itu.

Dalam kasus hakim-hakim tipikor daerah yang bermasalah, sepertinya memang ada tarik-menarik antara otoritas profesinya sendiri dengan kuasa uang. Namun, pada akhirnya otoritas profesi terkalahkan, dan hakim-hakim jadi terhegemoni oleh uang. Hegemoni itu terjadi bukan disebabkan perilaku progresif uang itu sendiri - mengingat uang itu adalah benda mati - tapi akibat hakim yang terhegemoni itu terlampau mengikuti keinginannya untuk memiliki uang sehingga uang seolah-olah jadi menguasainya. Uang menguasai karena orang salah memosisikan uang akibat kelemahan orang itu sendiri yang terlampau memikirkan kepentingannya dan kurang memrioritaskan menjalankan profesinya sebagai seorang yang berprofesi sebagai hakim.

Abai Profesi

Dengan demikian, orang yang bekerja semata-mata untuk uang akan mengalami hegemoni. Dalam perilaku yang sudah terhegemoni, orang akan sangat mudah mengabaikan profesinya. Ia tak akan bekerja dengan mengembangkan profesinya. Tapi, ia akan menggunakan dan bahkan mengorbankan profesinya sebagai hanya alat untuk meraup uang.

Pada titik ini, orang cenderung akan mengabaikan etika profesinya. Seharusnya, orang bekerja itu mula-mula adalah untuk mengoptimalkan profesinya dengan inovasi-inovasi yang kreatif dan berguna bagi pengembangan profesi itu sendiri dan bagi kebermanfaatannya untuk kebaikan orang banyak.

Dengan kata lain, orang semestinya bekerja dan berkarya seoptimal, sekreatif, dan seinovatif mungkin, dan semua hasil kerja dan karyanya pasti akan ada dampaknya dan sekaligus akan dihargai orang, dan bentuk penghargaan yang paling bernilai itu bisa berupa uang. Dengan demikian, orang akan tak terhegemoni, tetap mengoptimalkan profesinya, dan menjalankan profesinya dalam batas etika profesinya.

Jika semua orang bekerja dan berkarya dengan semangat profesi seperti itu, niscaya ia tak akan terhegemoni oleh uang. Uang benar-benar dapat diposisikan sebagai sesuatu yang memiliki nilai yang berarti, sebagai sebuah penghargaan, dan bukan sekedar alat 'yang maha kuasa', yang dapat mengatur dan merusak profesi yang seharusnya dikembangkan dengan segenap daya aktivitas dan kreativitas kita.

Sekali lagi, uang menjadi penghegemoni itu bukan karena secara ontologis uang berpotensi menguasai - karena uang adalah benda mati. Tapi, hal itu semata-mata karena orang salah memosisikan dan memperlakukan uang, ditambah lagi apabila orang memang lebih bersikap materialis, konsumtif, dan hedonis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar