Media Massa dan
Antikorupsi
Setio Boedi ; Penikmat Budaya, Tinggal di Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 06 September 2012
"Media massa saat ini harus benar-benar bebas dari kekuasaan, baik
dari kekuasaan politik maupun ekonomi"
TIADA kejahatan yang begitu
dahsyat dan berbahaya di negeri kita saat ini, kecuali korupsi. Karena dengan
korupsi, sendi-sendi bangsa terus digerogoti secara pelan dan pasti sampai
darah dan kekayaan negeri ini habis. Lihatlah, betapa mengerikannya gerak
penghancuran bangsa ini, semua lini berebutan memanfaatkan kesempatan demi
perut sendiri, keluarga, dan kelompoknya.
Tak ada lagi budaya malu. Meski
pejabat terhormat bahkan di area yang tampaknya steril dari korupsi (Departemen
Agama), tercengkeram oleh ketamakan. Korupsi adalah vampir. Seperti vampir yang
selama ini kita kenal, akan tampil anggun pada siang hari tapi segera
mengerikan pada malam hari.
Ada beberapa wilayah yang harus
mendapat perhatian utama dalam membangun semangat pantang korupsi ini. Sebut
saja keluarga. Sebagai institusi terkecil, keluarga adalah lahan paling subur
untuk membangun hidup jujur dan tidak bermental maling. Berikutnya adalah
sekolah, kapan tiap sekolah di Indonesia mengajarkan tentang bahayanya korupsi?
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin
Hidayat pernah menyatakan bahwa pendidikan antikorupsi telah menjadi bagian
dalam kurikulum UIN.
Bahkan ada berita yang
menggembirakan bahwa Binus University sejak tahun lalu menerapkan kebijakan
akan mencabut ijazah kesarjanaan lulusannya yang terbukti korupsi.
Sungguh melegakan bila ada lembaga pendidikan yang ikut terbebani moral dalam
memperbaiki bangsa ini dari wabah korupsi.
Yang ketiga adalah tempat ibadah.
Silakan pembaca menebak isi pikiran kaum ateis ketika melihat bangsa Indonesia,
yang begitu terkenal sebagai bangsa religius, tempat ibadahnya selalu penuh
apalagi bila hari raya masing-masing agama, tetapi ironisnya sekaligus sebagai
bangsa yang terpenjara oleh budaya korupsi. Kita semua menanti peran
pemimpin semua agama untuk aktif memerangi korupsi dari mimbar masing-masing.
Yang keempat adalah media massa
alias pers. Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan singkat ini. Apa
peran media dalam membangun iklim bangsa yang sedang memberantas korupsi?
Pramoedya Ananta Toer, pengarang
hebat kelas dunia kelahiran Blora, dalam karyanya banyak menyampaikan tentang
peran penting surat kabar, terutama dalam menyadarkan bangsa yang lama
sekali ditekan oleh penjajah. Dari salah satu bukunya yang terkenal, Anak Semua
Bangsa (Hasta Mitra, 1981 hal. 179-180), Kommer salah satu tokoh yang
ditulisnya berkata kepada Minke, pemilik koran Medan, ’’Pengarang (bisa
dibaca penulis-Red) yang baik, Tuan Minke, seyogianya dapat memberikan
kegembiraan kepada pembacanya, bukan kegembiraan palsu... Berilah harapan
kepada pembaca Tuan... Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan
bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia.’’
Kebebasan Media
Bukankah korupsi itu bukan
bencana alam? Itu berarti bagi Pram, korupsi bisa dilawan oleh manusia.
Prof Koh Young Kun, anggota staf
pengajar di Hankuk University of Foreign
Studies (HUFS) Seoul, Korea menggarisbawahi dalam bukunya Pramoedya
Menggugat ñ Melacak Jejak Indonesia (Gramedia,
2011). Dia menulis, ’’Pramoedya adalah seorang pengamat yang peka terhadap
perubahan zaman dalam sejarah bangsanya... Melalui ruangan sastra ’Lentera’ di
surat kabar Bintang Timur, Pramoedya menyalurkan esai-esainya yang bersifat
peninjauan kembali tentang sejarah modern Indonesia yang ditulis oleh
murid-muridnya serta beberapa penulis lain...(hal. 218)
Pramoedya memakai media untuk
mempengaruhi bangsa, bagaimana dengan media kita saat ini? Apakah terus
mengasah pisau kepekaan terhadap perubahan zaman yang terjadi? Betapa
memprihatinkan jika media sekarang masih saja lebih menekankan kepada sisi
industrialisasi daripada area idealisme. Masihkah kita bisa berharap dari media
massa?
Harapan yang seperti apa?
Pertama; media yang berani menyampaikan fakta adalah fakta. Kalaupun memasukkan
interpretasi, semua berdasarkan data objektif. Kedua; media yang bukan hanya
menerima fakta dan memberitakannya, melainkan juga investigasi.
Media saat ini tidak
masanya lagi hanya mengandalkan informasi dari meja jumpa pers atau
dengan andalan data singkat konservatif, 5 W + 1 H tetapi harus
dipikirkan pula what is next? Ketiga; media benar-benar bebas dari kekuasaan,
baik dari kekuasaan politik maupun ekonomi.
Jika media kita mau menerjunkan
diri turut ambil bagian dalam pemberantasan korupsi, dia harus rela
melakukan tiga hal itu secara terus-menerus. Dengan demikian pers benar-benar
menjadi agen perubahan masyarakat yang lebih baik, membangkitkan nasionalisme
sejati. Melalui pers pula bangsa ini makin memahami bahwa nasionalisme alias
mencintai Tanah Air yang sejati adalah tidak melakukan korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar