Komnas HAM dan
Komitmen Elite
Joko Wahyono ; Peneliti pada Center for Indonesian Political
Studies
(CIPS)
Yogyakarta
|
SUARA
KARYA, 06 September 2012
Polemik seputar masa tugas para komisioner
Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) periode 2007-2012 telah diputuskan oleh
Presiden. Melalui Keppres, masa jabatan anggota Komnas HAM yang sedianya telah
berakhir 30 Agustus 2012 diperpanjang sampai dengan selesainya proses seleksi
di DPR atau ditetapkannya komisioner Komnas HAM yang baru. Keputusan ini
dipilih dengan pertimbangan agar tidak terjadi kevakuman tugas di Komnas HAM.
Langkah ini harus kita apresiasi sebagai bentuk
komitmen formal pemerintah dalam melindungi hak-hak dasar setiap warga negara.
Terlebih lagi, mengingat fungsi dan peran strategis yang dimiliki Komnas HAM
sebagai institusi untuk mengungkap berbagai bentuk pelanggaran HAM, baik yang
dilakukan oleh aparatur negara (state actor) maupun masyarakat (non state
actor).
Di sisi lain, langkah "darurat" ini
juga mengundang sejumlah pertanyaan yang mengganjal di benak publik. Pasalnya,
sebelum masa kerja komisioner Komnas HAM berakhir, tim seleksi yang dipimpin
oleh Prof Jimly Ashidiqie telah menyerahkan 30 daftar kandidat komisioner Komnas
HAM kepada DPR sejak 11 Juni 2012.
Namun, sampai hari ini Komisi III DPR sama
sekali belum menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Alasannya, pada 14 Juli 2012
DPR sedang reses dan cuti Hari Raya Idul Fitri, sehingga baru aktif pada 27
Agustus 2012. Akibatnya, proses fit and proper test terhadap para calon
komisioner Komnas HAM terpaksa belum bisa dilakukan. Akhirnya, nasib kelanjutan
Komnas HAM dilemparkan kepada Presiden. Aksi saling lempar tugas dan tanggung
jawab ini mencerminkan buruknya fungsi koordinasi antar-lembaga negara dan
elite politiknya. Antara legislatif dan eksekutif belum terjalin suatu sistem
kerja sama yang efektif dalam menjalankan tugas kenegaraan
Kita menilai alasan masa reses dan cuti tidak
berarti kemudian menghilangkan tanggung jawab moral politik para elite dan
penyelenggara negara. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Dennis Thompson bahwa
tanggung jawab moral politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri
para politisi. Karena, di dalam setiap kekuasaan atau jabatan politik
terkandung secara inheren tanggung jawab moral untuk berbuat sesuai dengan
tuntutan jabatan untuk kepentingan umum.
Namun, itulah yang terjadi pada diri para elite
politik. Jarak antara komitmen politik dan pilihan tindakan kekuasaan (negara)
dalam pengurusan kehidupan publik semakin lebar mengangga. Di tengah maraknya
aksi pelanggaran HAM tidak terlihat adanya inisiasi serius dari mereka untuk
membenahi keberadaan institusi nasional HAM.
Para elite politik tampaknya tidak bergairah
untuk menguatkan komitmen formal dalam penegakan HAM. Padahal, berbagai
perilaku diskriminasi, teror dan intimidasi atas dasar etnis, ras, agama yang
berujung pada penganiayaan, pembakaran, penyerobotan tanah, kekerasan dan
kerusuhan sosial selalu siap mengintai setiap warga negara di Republik ini.
Jika komitmen formal para elite politik saja
tidak ada, lalu bagaimana dengan komitmen moral aksi mereka untuk memastikan
pemenuhan perlindungan HAM? Kita tidak sampai hati menilai bahwa mereka adalah
perwakilan politik yang buruk (poor political representation).
Gerakan dan diseminasi HAM begitu deras dan
berdaya desak melampaui batas-batas teritorial negara. Pandangan dunia tentang
HAM adalah pandangan kesemestaan bagi eksistensi dan proteksi kehidupan dan
kemartabatan manusia yang memiliki dasar pijakan yang kokoh dari seluruh budaya
dan agama. Oleh karenanya, jika sebuah negara teridentifikasi mengabaikan HAM,
maka dengan sekejap mata, negara bangsa (nation
state) di belahan bumi lainnya akan memberi kecaman keras yang berbiaya
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang tinggi. Negara adalah entitas utama
yang bertanggung jawab secara penuh untuk melindungi dan menegakkan HAM.
Di sinilah elite politik harus segera
menyatukan komitmen formal dan moral dalam menegakkan HAM. Besarnya harapan
masyarakat terhadap Komnas HAM sebagai lembaga super body dan harapan akhir
harus menjadi pemantik bagi para elite untuk membenahi dan memperkuat
keberadaannya agar berfungsi lebih optimal dalam mengungkap berbagai bentuk
pelanggaran HAM. DPR dan pemerintah harus segera menyeleksi keanggotaan Komnas
HAM yang baru dengan berpijak pada profesionalisme. Di samping, dituntut
berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghormati cita-cita negara hukum dan
kesejahteraan yang berbasis pada keadilan, menghormati hak dan kewajiban dasar
manusia.
Harapan besar masyarakat ini juga harus
diimbangi dengan perluasan kewenangan yang diberikan kepada Komnas HAM. Hal ini
mengingat bahwa selama ini rekomendasi Komnas HAM hanyalah bersifat morally
binding, sehingga tidak ada kewajiban hukum bagi para pihak yang menerima
rekomendasi untuk menindaklanjutinya. Inilah yang mengakibatkan Komnas HAM tak
punya taring. Maka, wajar jika banyak pengaduan dugaan pelanggaran HAM tidak
dapat diselesaikan dengan tuntas. Untuk itu, Komnas HAM perlu diberikan
kewenangan yang lebih melalui perubahan undang-undang (UU) yang ada, sehingga
dapat menjalankan mandatnya dengan lebih baik sesuai harapan masyarakat.
Segala bentuk regulasi yang ada harus menjamin
independensi Komnas HAM dari segala bentuk intervensi kepentingan, baik dari
pemerintah sendiri, partai politik maupun institusi mana pun yang dapat
mempengaruhi kinerjanya. Untuk optimaliasasi penegakan HAM, pemerintah harus
benar-benar berani menindaklanjuti setiap rekomendasi Komnas HAM.
Keraguan pemerintah
dalam mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berakibat pada minimnya
prestasi penegakan HAM. Pemerintah harus bergerak meneguhkan komitmen formal
menuju komitmen riil yang lebih substansial. Jika ini dilakukan, maka akan
tercipta kondisi negeri yang kondusif bagi pemenuhan HAM dan pengembangan
pribadi manusia Indonesia seutuhnya untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang
kehidupan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar