Belajar Solusi
dari Yogyakarta
M Mas’ud Said ; Asisten Staf Khusus Presiden
Bidang Otonomi Daerah dan
Pembangunan Daerah,
Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia (MIPI)
|
SINDO,
01 September 2012
Sejak lama, otonomi daerah (otda) diklaim para promotornya sebagai
solusi berbagai masalah pemerintahan di negara yang plural dan bhinneka seperti
Indonesia.
Para pendukung bahkan berkeyakinan bahwa otda bisa menjadi a glue of national integration, perekat
kesatuan bangsa, saat bangsa itu sedang kritis. Bukti terbaru bagi keyakinan
bahwa format otda adalah solusi masalah pemerintahan ialah telah disahkannya UU
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh DPR melalui sidang paripurna 30
Agustus 2012 lalu. Pengesahan UUK DIY adalah bentuk variasi dari solusi atas
merebaknya aspirasi di daerah istimewa.
Serentak sesaat setelah UU Keistimewaan Yogyakarta disahkan di Gedung DPR Senayan, saat itu pula terjadi kegembiraan masyarakat secara luas. Ada yang menari kegirangan, ada yang sujud syukur, bahkan ada yang mayoran atau tumpengan, ada pula yang menggelar doa bersama sebagai bentuk kepuasan akan keputusan mengakui keistimewaan DIY. Saat era reformasi dan demokratisasi datang di Indonesia akhir tahun 1990-an, konsep otda datang sebagai salah satu solusi untuk mencegah gejala disintegrasi di beberapa daerah, termasuk Papua, Aceh.
Otonomi khusus bagi Papua dan Aceh membantu meredakan tekanan para aktivis antiintegrasi untuk berhenti mengibarkan kebencian dan bahkan telah mementahkan desakan negara luar yang “memancing di air keruh” untuk menyeret kedua provinsi itu mengikuti jejak Timor Leste keluar dari Indonesia.
Terobosan Baru
Otda dengan format UU Keistimewaan DIY 2012 dalam hal ini juga memunculkan kelegaan hati petinggi dan kerabat keraton Yogyakarta, Kementrian Dalam Negeri, pimpinan DPR dan DPRD Yogyakarta, termasuk Sultan HB X dan Presiden Soesilo Yudhoyono di Istana Negara. Situasi kelegaan hati secara massal semacam ini juga terjadi saat pengesahan Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua dan Aceh tahun 2001 dan penetapan UU Pemerintahan Aceh (UUPA) tahun 2007.
Aceh sekarang situasinya kondusif untuk membangun karena tuntutan adat Aceh sudah dilegalisasi dalam pelaksanaan otsus atau otonomi khusus. Di kancah internasional, para pendukung otonomi daerah berujar: “Seumpama presiden Uni Soviet Michael Gorbachev pada era tahun awal 1990-an dulu yakin akan keampuhan otonomi dan menggunakan otonomi khusus atau otonomi istimewa kepada negara- negara bagiannya yang saat itu berontak, maka mungkin saja negara-negara bagian Uni Soviet tidak terbelah-belah dan lepas dari induknya seperti sekarang ini.”
Hal yang sama juga terjadi di Filipina. Tetangga Indonesia itu sekarang masih utuh dengan memberi otonomi khusus kepada bangsa Moro yang menuntut kemerdekaan sehingga sampai saat ini, provinsi bagian selatan negara itu masih masuk sebagai bagian integral dengan solusi pemberian otonomi yang luas. Data dari laporan tahunan Bank Dunia mengatakan bahwa begitu pentingnya otonomi daerah sehingga sampai saat ini hanya 5% negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memilih jalan sentralisasi sebagai lawan dari otonomi daerah.
Mencari Solusi Baru
Di samping keunggulannya dalam mencegah disintegrasi, otda tak lepas dari kritik dan cemoohan. Para praktisi pemerintahan khususnya orang yang mengalami pengalaman buruk di era otda mengkritik bahwa otda adalah biang kekacauan. Di Indonesia, otda dicap sebagai biang kerusakan administrasi pemerintahan. Otda diyakini telah menurunkan derajat kualitas pelayanan dan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Pada zaman negara ini diatur secara sentralistis di era Soeharto misalnya, mana ada wali kota dan bupati yang berani tidak mendampingi presiden ketika berkunjung ke daerah? “Sekarang banyak kepala daerah yang semaunya sendiri dan tidak berpihak kepada rakyat,” kritik mereka. Pada sistem sentralistis, perintah atau petunjuk presiden seolah-olah menjadi undangundang. Pidato presiden baik dalam kunjungan kerja atau di Istana Negara selalu menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan, menjaga keamanan dan ketertiban di daerah.
Sekarang otda di Indonesia dituduh telah menggeser korupsi dari pusat ke daerah. Otda juga menyebabkan munculnya raja-raja kecil di daerah Secara akademis, banyak pakar yang mengkritik pedas pelaksanaan otda. Pakar pemerintahan Philip Mawhood dalam bukunya Local Government in The Third World (1983) mengikhtisarkan betapa sulit dan kompleksnya realisasi untuk memberi keleluasaan dan mendorong perkembangan pemerintahan di daerah secara fair dan cepat.
Nuansa sulitnya mengatasi kendala otonomi di daerah dapat pula dibaca dari buku yang ditulis Wyn Reilly, seorang pakar dari University of Manchester, berjudul Decentralization– Myth or Reality (Desentralisasi, Mitoskah Atau Realitas?) Atau tulisan Nelson Kasfir seorang ahli dari Dartmouth College yang menggambarkan betapa problem dari otda lebih ruwet dari yang diperkirakan semula.
Pelaksanaan Masih Buruk
Dapat dikatakan bahwa secara politik dan pemerintahan otda adalah pilihan terbaik sebagaimana yang dikemukakan founding fathers dan yang termaktub dalam Pasal 18 UUD 1945,bahwa otonomi adalah keniscayaan bagai berlangsungnya pemerintahan yang demokratis dan berlanjutnya sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di samping itu, secara objektif, walaupun sampai saat ini otda masih menyisakan banyak masalah dan pelaksananya masih dalam penguasaan kader-kader politik dan pelaksanaannya masih banyak cacat,kita tak bisa lagi kembali ke sistem sentralistis atau memilih federasi. Oleh sebab itu, pemerintah berkomitmen menjadikan otda sebagai strategi pembangunan nasional. Dalam kaitan ini Indonesia harus berani membuat terobosan baru dan mengevaluasi tata cara pelaksanaannya kalau ingin menjadi kampiun dari solusi pelaksanaan otda di negeri yang sangat plural dalam tataran sistem negara kesatuan ini.
Penulis berpendapat bahwa di samping banyak kelemahan, otda menyimpan potensi untuk menyelesaikan banyak soal ketimpangan di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Kita boleh membayangkan, kalau kita telah cukup memberikan otonomi dan perhatian penuh pada pelayanan terbaik kepada rakyat dan secara serius memberi perhatian kepada saudara-sau-dara kita yang masih merasa belum dapat menikmati kesejahteraan hasil pembangunan, maka dengan kebijakan yang fair kita akan mendapati mereka yang tersisih menjadi bagian dari bangsa ini secara keseluruhan. Semoga. ●
Serentak sesaat setelah UU Keistimewaan Yogyakarta disahkan di Gedung DPR Senayan, saat itu pula terjadi kegembiraan masyarakat secara luas. Ada yang menari kegirangan, ada yang sujud syukur, bahkan ada yang mayoran atau tumpengan, ada pula yang menggelar doa bersama sebagai bentuk kepuasan akan keputusan mengakui keistimewaan DIY. Saat era reformasi dan demokratisasi datang di Indonesia akhir tahun 1990-an, konsep otda datang sebagai salah satu solusi untuk mencegah gejala disintegrasi di beberapa daerah, termasuk Papua, Aceh.
Otonomi khusus bagi Papua dan Aceh membantu meredakan tekanan para aktivis antiintegrasi untuk berhenti mengibarkan kebencian dan bahkan telah mementahkan desakan negara luar yang “memancing di air keruh” untuk menyeret kedua provinsi itu mengikuti jejak Timor Leste keluar dari Indonesia.
Terobosan Baru
Otda dengan format UU Keistimewaan DIY 2012 dalam hal ini juga memunculkan kelegaan hati petinggi dan kerabat keraton Yogyakarta, Kementrian Dalam Negeri, pimpinan DPR dan DPRD Yogyakarta, termasuk Sultan HB X dan Presiden Soesilo Yudhoyono di Istana Negara. Situasi kelegaan hati secara massal semacam ini juga terjadi saat pengesahan Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua dan Aceh tahun 2001 dan penetapan UU Pemerintahan Aceh (UUPA) tahun 2007.
Aceh sekarang situasinya kondusif untuk membangun karena tuntutan adat Aceh sudah dilegalisasi dalam pelaksanaan otsus atau otonomi khusus. Di kancah internasional, para pendukung otonomi daerah berujar: “Seumpama presiden Uni Soviet Michael Gorbachev pada era tahun awal 1990-an dulu yakin akan keampuhan otonomi dan menggunakan otonomi khusus atau otonomi istimewa kepada negara- negara bagiannya yang saat itu berontak, maka mungkin saja negara-negara bagian Uni Soviet tidak terbelah-belah dan lepas dari induknya seperti sekarang ini.”
Hal yang sama juga terjadi di Filipina. Tetangga Indonesia itu sekarang masih utuh dengan memberi otonomi khusus kepada bangsa Moro yang menuntut kemerdekaan sehingga sampai saat ini, provinsi bagian selatan negara itu masih masuk sebagai bagian integral dengan solusi pemberian otonomi yang luas. Data dari laporan tahunan Bank Dunia mengatakan bahwa begitu pentingnya otonomi daerah sehingga sampai saat ini hanya 5% negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memilih jalan sentralisasi sebagai lawan dari otonomi daerah.
Mencari Solusi Baru
Di samping keunggulannya dalam mencegah disintegrasi, otda tak lepas dari kritik dan cemoohan. Para praktisi pemerintahan khususnya orang yang mengalami pengalaman buruk di era otda mengkritik bahwa otda adalah biang kekacauan. Di Indonesia, otda dicap sebagai biang kerusakan administrasi pemerintahan. Otda diyakini telah menurunkan derajat kualitas pelayanan dan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Pada zaman negara ini diatur secara sentralistis di era Soeharto misalnya, mana ada wali kota dan bupati yang berani tidak mendampingi presiden ketika berkunjung ke daerah? “Sekarang banyak kepala daerah yang semaunya sendiri dan tidak berpihak kepada rakyat,” kritik mereka. Pada sistem sentralistis, perintah atau petunjuk presiden seolah-olah menjadi undangundang. Pidato presiden baik dalam kunjungan kerja atau di Istana Negara selalu menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan, menjaga keamanan dan ketertiban di daerah.
Sekarang otda di Indonesia dituduh telah menggeser korupsi dari pusat ke daerah. Otda juga menyebabkan munculnya raja-raja kecil di daerah Secara akademis, banyak pakar yang mengkritik pedas pelaksanaan otda. Pakar pemerintahan Philip Mawhood dalam bukunya Local Government in The Third World (1983) mengikhtisarkan betapa sulit dan kompleksnya realisasi untuk memberi keleluasaan dan mendorong perkembangan pemerintahan di daerah secara fair dan cepat.
Nuansa sulitnya mengatasi kendala otonomi di daerah dapat pula dibaca dari buku yang ditulis Wyn Reilly, seorang pakar dari University of Manchester, berjudul Decentralization– Myth or Reality (Desentralisasi, Mitoskah Atau Realitas?) Atau tulisan Nelson Kasfir seorang ahli dari Dartmouth College yang menggambarkan betapa problem dari otda lebih ruwet dari yang diperkirakan semula.
Pelaksanaan Masih Buruk
Dapat dikatakan bahwa secara politik dan pemerintahan otda adalah pilihan terbaik sebagaimana yang dikemukakan founding fathers dan yang termaktub dalam Pasal 18 UUD 1945,bahwa otonomi adalah keniscayaan bagai berlangsungnya pemerintahan yang demokratis dan berlanjutnya sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di samping itu, secara objektif, walaupun sampai saat ini otda masih menyisakan banyak masalah dan pelaksananya masih dalam penguasaan kader-kader politik dan pelaksanaannya masih banyak cacat,kita tak bisa lagi kembali ke sistem sentralistis atau memilih federasi. Oleh sebab itu, pemerintah berkomitmen menjadikan otda sebagai strategi pembangunan nasional. Dalam kaitan ini Indonesia harus berani membuat terobosan baru dan mengevaluasi tata cara pelaksanaannya kalau ingin menjadi kampiun dari solusi pelaksanaan otda di negeri yang sangat plural dalam tataran sistem negara kesatuan ini.
Penulis berpendapat bahwa di samping banyak kelemahan, otda menyimpan potensi untuk menyelesaikan banyak soal ketimpangan di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Kita boleh membayangkan, kalau kita telah cukup memberikan otonomi dan perhatian penuh pada pelayanan terbaik kepada rakyat dan secara serius memberi perhatian kepada saudara-sau-dara kita yang masih merasa belum dapat menikmati kesejahteraan hasil pembangunan, maka dengan kebijakan yang fair kita akan mendapati mereka yang tersisih menjadi bagian dari bangsa ini secara keseluruhan. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar