Rabu, 19 September 2012

Demokrasi dan Pemerintahan yang Efektif


Demokrasi dan Pemerintahan yang Efektif
Hajriyanto Y Thohari ;  Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 
SINDO, 19 September 2012


Dalam buku The Mahabharata of Vyasa karya P Lal (New Delhi,1981) diceritakan secara sangat dramatis bagaimana Kanika, sang penasihat politik Destarasta, memberi nasihat kepada Pejabat Raja Hastinapura itu. 

“Yang Mulia”, demikian nasihatnya, “seorang raja dapat memerintah dengan berbagai sistem dan cara. Tapi ingat, tidak ada gunanya seorang raja memberikan perintah jika perintah itu tidak dilaksanakan. Penting bagi seorang raja bisa menyembunyikan kelemahan seperti seekor kura-kura menyembunyikan kepalanya. Maka sedikit berpura-pura tuli dan buta akan menolong”. Nasihat Kanika itu disampaikan kepada Destarastra yang sedang mengalami kebingungan menghadapi kenyataan semakin merosotnya legitimasi politiknya.

Pemerintahannya mengalami krisis kepercayaan karena semakin tipisnya harapan rakyat terhadap kepemimpinannya sebagaimana yang tampak pada berbagai survei. Tetapi, poin terpenting dari nasihat Kanika adalah bahwa dalam sistem apa pun suatu pemerintahan haruslah berjalan efektif dan efisien. Perintah-perintahnya harus dijalankan oleh para pembantunya dan aparatusnya. Untuk itulah, pemerintah dari dulu sampai sekarang disebut eksekutif sebab pemerintah dan memang hanya pemerintahlah yang memiliki fungsi eksekutorial itu.

Dalam konteks dan perspektif inilah,seorang presiden, perdana menteri, kanselir, atau apa pun namanya, bahkan raja sekalipun, sama sekali tidak ada gunanya memberikan perintah jika perintah itu tidak dilaksanakan. Jika ini yang terjadi, raja tersebut berarti tidak bisa menjalankan fungsinya yang paling elementer: fungsi eksekutorial. Ini suatu kelemahan mendasar.

Inefektivitas Eksekutorial

Jika suatu pemerintahan tidak bisa menjalankan fungsi eksekutorialnya, perlu diteliti dengan seksama di mana letaknya stagnasi yang mengakibatkan inefektivitas dan inefisiensi eksekutorialnya itu terjadi. Apakah disebabkan karena faktor yang inheren di dalam pemerintahan seperti lemahnya organisasi pemerintahan atau kelemahan aparatnya ataukah karena sesuatu yang bersifat sangat fundamental dan sistemik.Yang dimaksud dengan sistemik di sini terutama adalah sistem politik yang sedang dianut oleh negara di mana pemerintahan itu bekerja.

Dalam kasus negara kita banyak kalangan yang menuding faktor yang kedua atau yang terakhir inilah yang terjadi. Tragisnya adalah bahwa yang dituding sebagai biang persoalan atau bahkan ”kambing hitam”-nya adalah sistem demokrasi liberal yang katanya sedang kita jalankan sekarang ini. Bagi pendukung pandangan yang agak pesimis ini, pertanyaan selanjutnya yang digulirkan, apakah lantas kita biarkan saja demokrasi yang liberal ini terus berlangsung di negeri ini dengan segala kelemahannya yang semakin menjengkelkan rakyat ini?

Apakah menoleransi demokrasi semacam ini tidak berarti membiarkan sebuah sistem demokrasi yang tidak produktif bagi kesejahteraan rakyat akan terus berlangsung? Lantas bagaimana dengan nasib rakyat yang sebagian besar masih papa dan miskin ini? Atau yang lebih fundamental lagi, apakah serangkaian kegaduhan ini justru diakibatkan oleh praktik demokrasi yang terlalu demokratis seperti ini? Saya ingin menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa bagaimanapun demokrasi adalah suatu keharusan. Bahwa tidak seorang pun sekarang ini yang bisa menolak demokrasi.

Tetapi, terus terang saja demokrasi itu bukanlah demokrasi yang liberal seperti sekarang ini. Keharusan untuk menerapkan prinsip demokrasi rasanya kita sepakati bersama. Tetapi, setelah lebih dari satu dasawarsa ini terbuktilah bahwa demokrasi yang seperti ini perlu direnungkan kembali. Apakah demokrasi semacam ini sepadan dengan modal sosial yang kita miliki? Demokrasi janganlah dipahami sebagai kebebasan (bicara) semata sehingga akhirnya pemerintahan negara tidak berjalan efektif (sangkil), apalagi efisien (mankus) seperti ini.

Jika demokrasi liberal di tahun 1950-an mengakibatkan pemerintahan jatuh bangun, demokrasi liberal pascareformasi melahirkan pemerintahan yang tidak efektif dan efisien. Bagaimana bisa dikatakan efektif manakala pemerintahan negara dalam sistem presidensil ini seringkali justru tidak dibenarkan hadir pada saat dan situasi yang sedemikian rupa di mana kehadiran negara merupakan suatu keniscayaan!

Ketika fenomena premanisme politik marak di seluruh penjuru, pemerintah negara tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika korupsi menggerogoti birokrasi pemerintahan itu sendiri, kepala pemerintahan bahkan menyerahkan pemberantasan korupsi itu kepada lembaga independen yang bernama KPK, tanpa sama sekali memberdayakan lembaga penegak hukum terlebih dulu yang ada di lingkungan pemerintahan seperti kejaksaan/kepolisian dan badan “pencegah korupsi” Inspektorat Jenderal dan Bawasda.

Demikian juga saban terjadi kerusuhan sosial dan konflik keagamaan pemerintahan negara tidak hadir karena alasan—seperti sering dikatakan oleh petinggi pemerintahan sendiri—bahwa pemerintah tidak bisa melakukan intervensi. Walhasil, ketidakhadiran alat negara sebagai simbol negara berarti—benar atau salah—disebabkan oleh faktor-faktor sistemik dalam sistem dan infrastruktur politik hukum kita. Setidaknya demikianlah yang dipersepsikan oleh Presiden sebagaimana yang sering dikeluhkan ketika dikritik bahwa negara melakukan pembiaran.

Demokrasi Macam Apa Ini?

Ini belum lagi kita bicara tentang pengelolaan keuangan negara. Bagaimana bisa dikatakan bahwa penyelenggaraan negara efisien apabila kenyataannya untuk keperluan anggaran rutin saja telah menghabiskan sebagian besar belanja negara yang pada 2012 ini berjumlah sekitar Rp1.500 triliun? Sulit untuk mengatakan efisien jika anggaran rutin dari tahun ke tahun sedemikian besarnya sehingga ada orang menyebutnya sebagai “APBN Beamtenstaat” karena sebagian besar anggaran negara habis untuk “ongkos tukang”.

Amanat UUD 1945 Pasal 23 ayat 1 bahwa APBN itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat terabaikan dalam sistem demokrasi yang sekarang ini. Dus, terjadinya inefisiensi keuangan negara berarti sama dan sebangun dengan penyelenggaraan negara yang tidak efektif.

Juga demokrasi macam apa ini ketika orang bisa begitu berani mencaci maki presidennya secara terbuka di media masa dan media sosial; ketika seseorang bisa memenangkan pemilihan anggota DPR, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota, hanya karena keunggulannya dalam politik transaksional yang bersifat material; jika seseorang menjadi menteri hanya karena menyumbang kepada sebuah partai politik sekian miliar rupiah; jika seseorang bisa dicalonkan oleh suatu parpol dalam pilkada hanya karena yang bersangkutan memiliki kemampuan logistik tinggi; dan lain-lainnya?

Sungguh sebuah demokrasi yang anakronistik. Di mata kebanyakan rakyat demokrasi sekarang ini yang tampak hanyalah kebebasan orang untuk bicara, mengkritik, dan memaki. Ini demokrasi yang tidak produktif bagi kesejahteraan rakyat dan karena itu tidak relevan dengan kepentingan rakyat yang masih papa dan miskin ini. Banyak hal ternyata yang harus kita renungkan bersama. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar