Rabu, 19 September 2012

Perlukah Peradilan Tipikor Dibubarkan?


Perlukah Peradilan Tipikor Dibubarkan?
Ahmad Yani ;  Wakil Ketua Fraksi PPP Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 
SINDO, 19 September 2012


Ketika institusi pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dijadikan ajang jual beli vonis antara pengadil (hakim) dan tersangka koruptor, itu pertanda negara bakal kalah telak dalam perang pemberantasan korupsi. 

Ada urgensi untuk melakukan Koreksi atas UU Tipikor yang Jakarta sentris. Upaya para koruptor melemahkan kekuatan negara dalam perang melawan korupsi sudah membuahkan hasil nyata. Dalam konteks ini, barometer kekuatan negara tidak hanya direfleksikan oleh independensi dan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kekuatan negara harus dilihat dan dimaknai secara komprehensif sebab dalam perang melawan koruptor, negara mengandalkan juga kekuatan Polri, kejaksaan, KPK, hingga institusi pengadilan.

Belakangan, institusi pengadilan tipikor pun sudah dijebol. Pengadilan tipikor tidak lagi menjadi kekuatan negara yang layak diandalkan. Publik bahkan sudah tidak percaya lagi pada institusi pengadilan yang satu ini karena citranya sudah dihancurkan oleh kinerja pengadilan tipikor di sejumlah daerah. Pengadilan tipikor di daerah mulai berjalan pada 21 Oktober 2011. Pengadilan tipikor tingkat pertama beroperasi di 33 pengadilan negeri di ibu kota provinsi, sementara pengadilan banding ada di 30 pengadilan tinggi di seluruh Indonesia.

Alih-alih mendukung pemberantasan korupsi, pengadilan tipikor daerah justru berulangkali membuat kontroversi. Belum setahun berjalan, pengadilan tipikor di sejumlah daerah sudah memvonis bebas tidak kurang dari 70 terdakwa kasus korupsi. Saya tidak anti terhadap vonis bebas kasus korupsi. Sesuai aturan KUHAP, hakim wajib untuk membebaskan seorang terdakwa jika alat-alat bukti yang diajukan jaksa penuntut lemah. Fakta-fakta di persidangan menjadi penentu utama bagi hakim untuk menjatuhkan putusan.

Yang menjadi persoalan jika vonis bebas diberikan karena ada hengki-pengki antara hakim dan terdakwa. Oknum hakim yang berani memperjualbelikan putusan seperti itu harus ditindak tegas. Kinerja peradilan tipikor yang kontroversial ini membuat publik meradang. Pemerintah bahkan sempat membersitkan curiga kalau pengadilan tipikor sudah disusupi mafia peradilan. Akhirnya, kajian dan evaluasi oleh Komisi Yudisial (KY) sampai pada kesimpulan bahwa pengadilan tipikor daerah bermasalah karena dari aspek operasional belum siap.

Maka itu, tepat pada 17 Agustus 2012, ketika rakyat di seantero negeri sedang memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan 1945,KPK bersama Mahkamah Agung (MA) menangkap dua hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor Semarang, Jawa Tengah. Kedua hakim diduga menerima suap terkait dengan peradilan tokoh penting yang perkaranya sedang ditangani pengadilan tipikor. Entah sudah berapa banyak hakim yang ditangkap karena perilaku koruptif.

Revisi UU

Undang-Undang (UU) No 46/2009 tentang Peradilan Tipikor juga mengatur pengadilan tipikor di tingkat provinsi. Pengaturan peradilan tipikor di tingkat provinsi sejak awal sudah diragukan efektivitasnya.

Mengacu pada berbagai alasan atau hambatan, keberadaan pengadilan tipikor di tingkat provinsi pada dasarnya sulit diaplikasikan. Karena itu, apa yang berjalan sekarang terkesan tidak realistis dan sangat dipaksakan. Akibatnya, sejumlah ekses yang telah muncul saat ini merupakan konsekuensi logis dari pemaksaan itu. Mengapa peradilan tipikor di tingkat provinsi sulit diaplikasi? Pertama, karena perkara korupsi tidak hanya terjadi di ibu kota provinsi. Kasus korupsi bisa juga muncul dari desa atau kecamatan.

Persoalannya, jika kasus korupsi dari desa atau kecamatan harus dibawa semua ke ibu kota provinsi, yang tampak adalah proses peradilan yang tidak efisien dan mahal sehingga bertentangan dengan prinsip peradilan yang sederhana, murah, dan cepat. Kedua, pelaksanaan UU No 46/2009 akan terkendala oleh proses rekrutmen hakim ad hoc. Saya teringat saat Komisi III mengadakan rapat pertama kali dengan Ketua MA Harifin Tumpa pada 2009. Ketua MA saat itu mengeluhkan susahnya mencari hakim ad hoc sebab banyak lulusan terbaik di bidang hukum enggan menjadi hakim, apalagi hakim ad hoc.

Tumpa sempat berkeluh kesah saat rekrutmen hakim ad hoc pertama kali dibuka, tidak ada satu pun yang mendaftar. Begitu pula saat dibuka rekrutmen kedua. Ketika pendaftaran diperpanjang untuk ketiga kalinya, hanya segelintir lulusan hukum yang mendaftar. Itu pun bukan lulusan terbaik. Ketiga, terjadi kesalahan diagnosis awal. Wacana tentang kebutuhan hakim ad hoc berlatar belakang pada ketidakpercayaan terhadap hakim karier. Nyatanya, hakim ad hoc juga bermasalah. Berarti, hingga posisi sekarang ini, masalah yang menyelimuti peradilan tipikor di daerah belum ditemukan jalan keluarnya.

Mau berapa lama lagi situasi seperti sekarang ini ingin dipertahankan? Padahal, situasi seperti sekarang harus diterjemahkan sebagai proses pelemahan kekuatan negara dalam perang melawan korupsi. Sebuah rumusan solusi harus segera digagas guna memulihkan kekuatan negara untuk melanjutkan perang yang satu ini. Selain perlunya penguatan kemauan politik pemerintah, perlu juga dilakukan evaluasi total terhadap keberadaan peradilan tipikor di ibu kota provinsi. Sebaiknya peradilan tipikor provinsi dikembalikan ke pengadilan negeri setempat.

Caranya, pengadilan negeri setempat menyediakan kamar khusus tipikor seperti di MA. Hakim yang menangani kamar tipikor bisa berasal dari hakim karier atau hakim ad hoc. Tidak perlu dilakukan penambahan hakim baru. Terpenting, hakim karier dan hakim ad hoc yang akan dipilih menjadi hakim khusus tipikor tersebut harus menjalani evaluasi ketat, baik secara teknis yudisial ataupun rekam jejak. Kedua, jika perlu, dilakukan moratorium penerimaan hakim ad hoc. Anggaran yang ada bisa dialokasikan untuk meningkatkan gaji para hakim.

Saya melihat standar gaji hakim saat ini masih jauh dari memadai. Pemerintah tahun depan memang berencana menaikkan gaji hakim tingkat pertama dan tingkat banding minimal Rp10,6 juta hingga Rp11 juta per bulan. Tetap saja itu tidak cukup. Minimal gaji hakim tingkat pertama dan tingkat banding seharusnya mencapai Rp25 juta per bulan. Ketiga, penanganan kasus tipikor oleh KPK bisa disidang di pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Sementara kasus tipikor lain yang ditangani polisi dan kejaksaan cukup disidang di peradilan tipikor yang ada di pengadilan negeri.

Keempat, ketua pengadilan negeri harus menjadi pengawas bagi hakim-hakim tipikor yang ada di pengadilan negeri. Jika ada hakim yang tersandung kasus suap, ketua pengadilan negeri harus juga ikut bertanggung jawab karena ketua pengadilan negeri memiliki peran penting dalam pendistribusian penanganan kasus tipikor. Kelima, terbukti bahwa UU Tipikor tidak bisa dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia sebab kondisi daerah yang berbeda.

Artinya, harus ada kemauan dan keberanian untuk merevisi UU Tipikor terkini. Bagaimanapun UU Tipikor yang diadopsi sekarang ini terlalu Jakarta sentris dan sama sekali tidak solutif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar