Rabu, 19 September 2012

Indonesia yang Waras


Indonesia yang Waras
Dinna Wisnu ;  Co-founder & Direktur,
Studi Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina 
SINDO, 19 September 2012


Kementerian Luar Negeri RI memberi perhatian besar pada ASEAN. Memang itu bukan berita baru karena selama ini Indonesia adalah penjaga perkembangan ASEAN yang setia, mengawal segala forum, skema kerja sama, dan kelembagaannya. 

Yang menarik, dalam suatu pertemuan dengan pejabat senior suatu negara besar ada pernyataan bahwa dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, Indonesia adalah yang paling waras dan sadar. Istilah mereka: sober. Heran juga, apa yang dimaksud dengan waras? Mengapa komentar itu muncul? Satu komponen penting dalam diplomasi adalah rasa percaya (trust) dan rasa yakin (confidence).

Ada banyak studi tentang diplomasi yang menyoroti tentang strategi, lembaga, model kerja sama atau bentuk-bentuk kesepakatan, tetapi pada akhirnya diplomasi sangat bergantung pada apa yang dirasakan, dilihat, dan dipahami oleh orang-orang yang berangkat ke meja perundingan atau berdialog di ruang rapat. Jadi, suasana pertemuan dan siapa yang bicara akan ikut memengaruhi hasil dari tiap pertemuan. Namun, kita juga tahu bahwa diplomasi mengutamakan proses. Hampir tidak ada hubungan antarnegara yang tidak dibangun secara bertahap.

Dengan begitu, kalaupun kesan yang muncul dari suatu pertemuan cenderung negatif, tidak akan negara itu otomatis memutus hubungan atau mengajak perang. Memutuskan hubungan belum ada yang semena-mena, pasti ada prosesnya. Tugas para diplomat adalah memperjuangkan kelangsungan komunikasi antarpihak dalam pergaulan internasional itu. Hubungan yang paling pahit sekalipun selalu diupayakan agar terhindar dari ketiadaan kontak. Dalam konteks ASEAN, proses membangun reputasi itu berjalan berpuluh tahun lamanya.

Apakah rasa percaya dan rasa yakin antarnegara ASEAN ini menguat? Kejadian gagalnya negara-negara ASEAN mencapai kesepakatan joint communiqué tentang Laut China Selatan terus dikutip oleh berbagai pihak sebagai bukti bahwa kekompakan antarnegara ASEAN ini masih lemah. Saya pikir pendapat seperti itu kurang tepat karena orangorang dari negara-negara di kawasan Asia punya kebiasaan dan karakter yang khusus. Keragaman budaya, sejarah, latar belakang antarnegara di kawasan Asia sangatlah tinggi.

Berbeda dengan Eropa atau Amerika Latin, di mana hampir semua orang di kawasan itu, kecuali imigran dari luar kawasan, pasti punya sejarah keluarga yang sama atau dekat (karena terjadi perkawinan lintas batas negara), di Asia belum tentu satu sama lain saling kenal. Bukan satu kali saja, saya dengar orang Asia mengatakan bahwa mereka merasa lebih akrab dan percaya terhadap orang-orang kulit putih daripada dengan sesama orang Asia. Aneh, ya? Sebenarnya bukan ASEANnya yang dipersalahkan, melainkan pengembangan rasa percaya dan yakin tadi yang harus diperkuat.

Jika diamati, hampir semua negara di kawasan ASEAN merasa lebih dekat dengan negara-negara non- ASEAN.Beberapa bahkan merasa bahwa identitasnya lebih lekat dengan bangsa non- ASEAN. Misalnya Filipina yang dekat dengan AS, Jepang, dan Taiwan yang bergantung pada AS juga. Korea Selatan yang mulai ingin keluar dari pengaruh AS, tetapi kenyataannya masih cari aman dalam kepak sayap AS. Malaysia dan Singapura lebih sering berpikir seperti mantan penjajahnya Inggris. Ada negara-negara IndoChina yang lebih merasa dekat dengan daratan Tiongkok.

Cuma Indonesia yang selalu berusaha untuk tidak dianggap dekat dengan negara mana pun. Seorang teman mengatakan bahwa inilah makna dari ”waras” tadi. Dalam satu sisi, Indonesia boleh dianggap ”waras” bagi negara lain karena artinya Indonesia selalu berusaha berayun agar tidak berpihak dan jangan sampai menyakiti hati bangsa lain. Tapi, apakah kemudian Indonesia ”waras” bagi bangsanya sendiri? Kembali ke soal perasaan saling percaya dan yakin tadi.

Pada satu titik kita akan dipaksa untuk mengambil sikap yang berpihak; mungkin bisa diakali agar kita tidak perlu menunjukkan keberpihakan pada negara tertentu tetapi berpihak pada model kebijakan atau perilaku tertentu. Di Asia Pasifik,ketegasan itu berulangkali diminta oleh China pada Indonesia. Di belakang layar, para pejabat China rajin berkunjung ke Indonesia. Dengan pesan yang tunggal, mereka terus menyuarakan keinginannya agar Indonesia membantu China agar dipercaya di kawasan ini dan agar Indonesia serta negara-negara di kawasan Asia tidak termakan mulut manis AS.

Saya dapat melihat bahwa ada sejumlah pejabat Kementerian Luar Negeri RI yang mulai gerah dengan perkembangan ini. Fokus pada ASEAN dirasakan kurang konkret dalam mendukung kepentingan Indonesia. ASEAN selama ini seakan diajak oleh Indonesia untuk sama-sama menjadi ”massa mengambang” dalam rivalitas apa pun di luar sana. ASEAN diajak menahan diri. ASEAN diminta satu pandangan. ASEAN diharapkan menjadi kekuatan independen yang memotori dinamika kawasan Asia; bukan menjadi gabungan negara pengekor negara lain.

Padahal jelas-jelas negara-negara anggota di ASEAN punya kecenderungan untuk lebih merasa selamat ketika dekat dengan patron seperti AS, China, atau Eropa. Payahnya, negara seperti Filipina misalnya dengan bebasnya berteriak menarik-narik AS untuk menggebuk China di kawasan yang dilewati negara-negara ASEAN, padahal jelasjelas aturan ASEAN menabukan hal seperti itu. Sulit untuk menyangkal bahwa sebenarnya ada hal-hal yang bisa diperbaiki oleh Kementerian Luar Negeri untuk menghindari rasa tidak nyaman antarnegara ASEAN tadi.

Dalam perdebatan soal pembagian anggaran di DPR misalnya, kementerian lain bersikukuh untuk menambah anggaran belanjanya atau setidaknya menolak pemotongan. Kementerian Luar Negeri justru tidakmampu menyerap dana yang mereka miliki sehingga akhirnya harus menerima pemotongan anggaran hingga 37%! Hal ini ironis karena sebenarnya ada banyak sekali posisi duta besar, wakil duta besar, dan berbagai jabatan penting bidang ekonomi dan politik di kantor-kantor perwakilan di luar negeri yang kosong bertahun-tahun.

Kabarnya, ada lebih dari 30 posisi duta besar yang kosong. Tidak ada yang menyangkal juga bahwa sejumlah besar staf di Kementerian Luar Negeri cenderung bersifat pasif. Sejumlah duta besar di negara-negara penting justru diduduki oleh orang-orang yang tidak asertif. Sementara di tempat-tempat lain, ada duta besar yang asertif, memesona negara tempatnya tinggal, tetapi tidak dilengkapi staf yang memadai sehingga akhirnya duta besar ini lebih mirip agen negara tempatnya tinggal ketimbang pembela kepentingan Indonesia.

Pada akhirnya jargon: ”Thousand Friends Zero Enemy (Seribu Kawan Tanpa Musuh)” yang diulang-ulang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tinggal jargon belaka karena segala keinginan menjadi kawan bagi negara lain justru seperti kurang bahan bakar. Sekali lagi, diplomasi adalah proses.

Dalam proses itu, sangat dibutuhkan individu-individu diplomat yang andal, siaga, dan cukup dalam jumlah maupun kompetensi untuk menjalankan visi politik luar negeri Indonesia. Jangan sampai pada suatu titik kita dianggap pembual atau bahkan tidak waras karena hal-hal yang sebenarnya bisa dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar