Catatam Tragedi 11 September
Menyemai Napas Perdamaian
Muhammadun ; Analis Studi Politik
pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 11 September 2012
DI tengah gagap gempita terorisme yang terus menyeruak, kondisi
kemanusiaan terbelah dalam ruas ideologi dan politik yang terus berbenturan.
Semua mengklaim sebagai pemegang hak sendiri-sendiri sehingga mengabaikan
kewajiban dan hak yang lain. Di samping itu, manusia sedang mengalami masa
transformasi sosial dan kegelisahan psikologis yang luar biasa. Setiap hari,
gambaran tentang peperangan, kemiskinan, bencana alam, dan terorisme disorotkan
ke ruang-ruang tengah kita. Hidup terasa sesak dijejali berbagai krisis
kemanusiaan yang terus berlangsung di hampir seluruh penjuru dan lorong dunia.
Di tengah kondisi demikian, ternyata agama yang selama ini
memberikan ketenangan dan kedamaian juga ikut larut menjadi part of problem, bagian pokok problem
krisis sosial. Doktrin agama dijadikan alat legitimasi untuk membaptis
kemungkaran sosial. Tragedi-tragedi mengerikan semisal Auschwitz, Rwanda,
Bosnia, dan World Trade Center, bom
Bali, hancurnya Afghanistan dan Irak, dan konflik berdarah Israel-Palestina,
merupakan epifani buruk yang
menyingkapkan apa yang bisa terjadi ketika kepekaan terhadap kesucian setiap
manusia lain telah musnah. Agama justru tampak pesimistis dan mencerminkan
kekerasan dan keputusasaan zaman.
Franz Magnis Susino (2009) menjelaskan tragedi konflik sosial
horizontal dewasa ini tidak lagi dianggap sebagai pertarungan politik biasa,
tetapi sebagai peperangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan. Mereka sangat
mencemaskan ancaman pemusnahan sehingga mereka membentengi identitas dengan
membangkitkan kembali doktrin-doktrin dan praktikpraktik masa lampau. Mereka
telah mengubah mitos agama menjadi logos, baik dengan menyatakan bahwa ajaran
mereka secara ilmiah benar, atau mengubah mitologi mereka yang rumit menjadi
satu ideologi yang efisien. Dengan demikian, dalam praktiknya mereka sering
mengabaikan nilai-nilai tersuci dalam keimanan.
Amin Abdullah (2001) melihat model keberagamaan berdasarkan
realitas tersebut masih terjebak dalam konsep fiqh oriented. Semuanya dihukumi hitam-putih, halal-haram,
muslim-nonmuslim, dan stereotip diskriminatif lainnya. Itulah model beragama di
tangan agamawan. Mereka fasih bicara agama, tetapi ‘gagal’ menemukan hikmah dan
kebajikan dari agama.
Mereka hafal A sampai Z tentang agama, tetapi itu hanya menjadi
logos, al-ilm, pengetahuan, yang tak
merasuk ke jiwa. Kegagalan memahami agama itulah yang terus menyulut konflik horizontal
tiada henti. Semua akan mengklaim agama mereka sebagai satu-satunya jalan
kebenaran (truth), jalan keselamatan
(salvation), jalan kebahagiaan (happiness), sementara agama lain sebaliknya.
Kalau demikian, di mana kita melangkahkan jalan keberagamaan kita
di masa depan? Di sinilah pentingnya menyuarakan agama cinta, yakni model
beragama masa depan yang paling strategis. Agama cinta lahir bukan dari dan
untuk rahim agama tertentu. Agama cinta lahir untuk menebarkan misi suci (sacred mission) rahmatan lil'alamin berupa kebahagiaan, kedamaian, dan
ketenteraman. Agama cinta tak lagi memandang batas-batas agama, suku, etnik,
budaya, dan bangsa. Agama cinta menjelma payung terhadap semesta. Orang yang
berteduh dalam payung cinta akan merasakan kehadiran-Nya sehingga kehidupannya
tak lagi menampakkan kebencian dan kebengisan dengan yang lain. Konsep itulah
yang disabdakan Nabi, “Tidaklah sempurna iman kamu sekalian sehingga mencintai
saudaramu sebagaimana mencintai diri sendiri.”
Model itulah yang dipraktikkan dalam dakwah Nabi, baik di Mekah
maupun di Madinah. Walaupun menjadi pemimpin tertinggi Madinah, beliau tidak
pernah memaksakan Islam dan syariatnya kepada Yahudi dan Nasrani. Semuanya
berteduh di bawah payung Nabi. Ketika orang musyrik yang sering melemparinya
kotoran sakit, beliaulah bahkan orang pertama yang menjenguk musyrik tersebut.
Ketika beliau menaklukkan Kota Mekah (fathu
makkah), tak setetes pun darah mengalir, padahal sebelumnya mereka musuh
besar Nabi.
Itulah yang kemudian dipraktikkan Khulafau al-Rasyidin. Siapa tak
takjub melihat sang Khalifah Umar bin Khattab mengangkat beras dari baitulmal untuk diantarkan sendiri
kepada rakyatnya yang sedang kelaparan. Spirit cinta Nabi itulah kemudian yang
dipraktikkan para sufi agung seperti Rabiah Adawiyah, Abdul Qodir Jailany, dan
Maulana Jalaluddin Rumi. Para sufi tersebut tidak hanya menebarkan kasih sayang
terhadap sesama muslim, tetapi juga lintas agama. Dalam tariqoh-nya, Rumi tidak hanya dikelilingi murid-muridnya yang
muslim, tetapi juga dari orang Yahudi dan Nasrani. Rumi pun tidak tak pernah
memaksakan Islamnya kepada kaum ahli kitab.
Mereka melihat jalan menuju Tuhan tak perlu dibatasi dan disekat
lembaga dan organisasi agama tertentu. Jalan menuju Tuhan adalah jalan
menebarkan kasih sayang. Mengapa kita harus menyempitkan kasih Tuhan, yang
meliputi langit dan bumi?
Simaklah yang dikatakan Ibnu Arabi, sufi agung abad ke-13, “Hatiku
telah mampu menerima berbagai bentuk. Padang gembala rusa atau biara pendeta
Kristen, dan kuil berhala, Kabah tempat peziarah, dan Kitab Taurat, dan
Alquran. Aku mengikuti agama cinta; ke mana pun unta cinta membawaku, ke
situlah agamaku dan keimananku.”
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar