Senin, 17 September 2012

Maniak dalam Tinju dan Politik

Maniak dalam Tinju dan Politik
M Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 17 September 2012


Tinju dan politik mempunyai kesamaankesamaan. Keduanya memerlukan dan memiliki ring. Ring tinju merupakan keterangan tempat yang sebenarnya. Ring tinju politik mewakili ungkapan metaforis. Pada 1974 ketika Mohammad Ali melawan juara bertahan,raksasa mengerikan George Foreman yang memiliki kekuatan halilintar, di Kinshasa, Zaire, Afrika, dunia berdebar. Jalan-jalan di Jakarta sunyi sepi. Semua orang menonton siaran langsung itu di televisi. Ali sudah dianggap tua, 32 tahun, Foreman baru 25 tahun, sedang ganas-ganasnya karena musuh-musuh besarnya, Joe Frazier dan Ken Norton, dibikin nyungsep di ring tinju, takluk total, dalam dua ronde yang membuat mereka tampak begitu dungu.

Pasaran internasional mengunggulkan Foreman. Beberapa di antara mereka menonton di ring side. Juga Joe Louis dan Joe Frazier. Di mata mereka dan di hati Foreman, Ali bakal dijagal. Tapi Ali tak gentar. Dia muncul di ring lebih dulu dan sempat bergaya, “menari-nari” untuk memamerkan kecepatannya menyerang lawan. Hook, jab dan upper cut yang sangat tajam dan gerak lincahnya yang tanpa tandingan bikin penonton terpesona. Lalu terdengar yel-yel tak terduga oleh siapa pun, “Ali bomaye, Ali bomaye...,” terus-menerus sebelum dan selama mengiringi ronde-ronde yang menentukan itu berlalu.

Teriakan itu kedengarannya begitu histeris, tak terkendali menjadi seperti maniak. Bomaye? Maksudnya: bunuhlah Foreman. Kita tahu itu sekadar ungkapan. Maksudnya kalahkan Foreman. Bikin dia tak berdaya. Ali maniak dan fanatisme terhadap Ali dahsyat minta ampun. Jangan lupa ada juga sebetulnya sikap histeris yang terkendali dan diam. Pukulan-pukulan “granat” dari kedua tangan Ali membikin Foreman goyah, sangat jelas sudah goyah, di ronde kelima.Tapi Ali belum sempat membuatnya finish karena keburu terdengar bunyi bel, tanda ronde itu berakhir.

Singkatnya, di ronde kedelapan Foreman takluk. Komunitas tinju yang menjagokan Foreman tampak begitu dungu dan Ali maniak berkibar. Dia berbisik ke telinga Foreman: “Hei, dungu, aku tak mengambil apa pun darimu. Kau masih bisa mengalahkan siapa pun di seluruh dunia ini, kecuali aku.”

Maniak dalam Politik

Langkah politik, dalam urusan apa pun, mengandung jebakan, tipu muslihat, kelicikan, dan manipulasi. Jebakan dan tipu muslihat itu bagian normal dan bisa diterima tanpa keluhan. Keduanya bagian hangat dari political game. Jadi jebakan dan tipu muslihat bukan kebohongan. Tapi kelicikan dan manipulasi itu kotor, terkutuk. Teknologi penghitungan suara bisa diajak terkutuk. Kotak-kotak suara bisa dimanipulasi. Cara menghitung perolehan suara pun bisa dibikin terkutuk. Siapa tokoh politik yang bisa menimbulkan histeria massa dan melahirkan maniak politik?

Bung Karno. Wafatnya saja menimbulkan maniak di kalangan para pemujanya. Tokoh memiliki pemuja karena dia memancarkan wibawa besar, bernama karisma. Mbak Mega pun begitu. Ketika lepas dari himpitan sepatu tentara di zaman Orde Baru, maniak Mega muncul sebagai kekuatan dukungan dan sentimen— pemihakan—yang fanatis sifatnya. Ketika Mbak Mega dikalahkan Gus Dur, muncul pula maniak Mega di kalangan kaum Soekarnois yang menjadi pemuja Mbak Mega.

Mega maniak di sini menampilkan kegundahan dan rasa kecewa yang dalam. Tapi kemudian muncul Mega maniak yang memancarkan kebahagiaan ketika beliau menjadi presiden, menggantikan Gus Dur yang tergusur oleh kongkalikong politik yang ketahuan sejak dulu siapa dalangnya. Sampai hari ini masyarakat masih bicara tentang penyimpangan dan kecurangan pemilu tahun 2004. Orang masih bicara teknologi KPU direkayasa dan diajak nyeleweng untuk mengalahkan Mbak Mega.

Lalu muncul lagi Mega maniak yang memancarkan kemarahan yang mendidih hingga di ubun-ubun para pendukung Mbak Mega. Dan persoalan itu kelihatan tetap hidup di dalam masyarakat. KPU bersedia diajak nyeleweng dan ini pasti akan tetap menjadi perkara politik lebih berat sesudah pergantian penguasa sekarang. Kelihatannya Mbak Mega merupakan tokoh politik yang paling banyak menimbulkan pemihakan massa dan melahirkan sikap maniak di kalangan pendukungnya. Gus Dur juga memilik pemuja-pemuja fanatik yang histeris dan menjadi Gus Dur maniak.Bahkan, terutama sesudah beliau wafat dan memperoleh keluhuran maqomsebagai wali.

Selain Bung Karno, Mbak Mega, dan Gus Dur, siapa tokoh politik kita yang memancarkan wibawa pribadi dan melahirkan tingkah laku maniak politik? Di deretan tokoh yang masih “bocah”, Jokowi yang bisa menjawab pertanyaan itu. Ketika pilkada memasuki ronde kesatu pilkada DKI ini, si Gubernur tampil dengan penuh percaya diri bahwa dia tak terkalahkan karena berpengalaman. Sama seperti Foreman ketika menghadapi Ali di Zaire tahun 1974 tadi. Tapi ketika di ronde kelima dibikin sempoyongan oleh hook, jab, dan upper cut Ali di ronde kelima dan nyungsep di ronde kedelapan, Foreman merasa seperti terbangun dari suatu nightmare yang mengerikan.

Dan ketika di putaran pertama pilkada itu pasangan Gubernur ternyata kalah telak dari “bocah” Solo yang tak terduga, barulah dia gugup. Di masyarakat orang berkata— dengan sikap “nyukurin”— bahwa Pak Kumis kehilangan akal. Lalu beredar pula isu lain: untuk membombardir Jokowi, akan ditempuh apa saja. Konon—ini kata gosip, tapi politik kita memang berupa gosip—Partai Demokrat akan tampil mati-matian dan akan menempuh apa saja. Partai-partai bergabung dan konon pula ada yang sudah diberi instruksi untuk melakukan ini dan itu.

Partai Demokrat yang diisukan melakukan kecurangan serius di Pemilu 2004 masih ingin mengulangi lagi kecurangan buat membela seorang gubernur yang tak punya kemampuan apa- apa? Betapa fatal kalau itu dilakukan, sebagaimana gosip mengatakannya. Beban Demokrat akan tambah berat. Banyak yang bakal diungkit publik. Urusan kasus Century, kasus korup lebih besar berikutnya, kasus Antasari, dan akan ditambah kasus membela orang yang disebut sebagai Pak Kumis tadi? Kalkulasi politiknya apa? Karena merasa bahwa SBY ingin bertarung lagi dengan Mbak Mega? Jokowi maniak kelihatannya tak terbendung oleh apa pun.

Apalagi jelas, di balik Jokowi maniak ada pula Mega maniak yang siaga membela jagonya. Maniak itu kekuatan politik yang tak terdefinisikan. Kekuatannya tak terukur. “Jokowi kok dilawan....” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar