Belajar
Komunikasi dari Kasus Sampang
Syafiq Basri Assegaff ; Dosen di
Jurusan Ilmu Komunikasi
dan Peneliti di Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan, Universitas Paramadina
|
INILAH.COM,
08 September 2012
Ada yang menarik dari
diskusi mengenai kasus Sampang di media. Seperti saat Fuad Jabali, pengajar
pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, mengajukan
pernyataan yang menggugah dalam sebuah talkshow di salah satu televisi swasta,
Rabu (5/9).
"Bagi saya yang Sunni,
seharusnya kita bertanya... Kalau ingin berdakwah, bukan dengan membakar rumah
orang Syiah; (tetapi) jawab pertanyaan penting: kenapa orang berpaling ke
Syiah? Kenapa lari dari Sunni?" kata Fuad.
Dari sisi komunikasi,
sesungguhnya analisa itu menunjukkan bahwa, dalam penyelesaian masalah
kehidupan secara luas, selayaknya semua kita memilih berkomunikasi secara baik
dan efektif dengan semua pihak.
Bila seorang anak membangkang
orangtuanya, hendaknya sang ayah atau ibu mengintrospeksi dirinya, apakah ia
telah mengirim pesan (perintah) kepada anaknya secara efektif?
Demikian pula di dalam percaturan
politik dalam negeri. Ketika hasil pilkada menunjukkan perolehan suara yang
jauh dibawah perhitungan survei sebelumnya, seorang gubernur mestinya juga
menengok kembali kepada dirinya: apakah ia selama ini sudah menjalankan
komunikasi yang baik dengan khalayak pemilihnya; di mana salahnya; mengapa
orang lari darinya?
Kita juga mencatat, belakangan
ini banyak terjadi pecah kongsi antara beberapa pemimpin daerah dengan
wakilnya, baik di tingkat propinsi maupun di level Kabupaten/Kota.
Kuat dugaan, di antara
penyebabnya adalah komunikasi yang buruk antara pasangan itu, akibat berebutan
pengaruh di antara kedua pimpinan yang lazimnya berasal dari latar belakang
partai politik yang berbeda. Tetapi kita boleh yakin bahwa kalau saja
komunikasi antar-pribadi para pimpinan itu baik, maka banyak perpecahan bisa
dihindari.
Berebut pengaruh
Demikian pula halnya dengan kasus
Sampang. Kabarnya, sebagaimana disebutkan seorang nara sumber lain dalam dialog
di TV swasta itu, ada rebutan pengaruh antar-ulama, sehingga kyai Tajul Muluk
yang rupanya mendapat simpati dari banyak orang -- karena memiliki kelebihan
tertentu dibanding pesaingnya -- dianggap sebagai ancaman yang harus
disingkirkan.
Bagaimana pun, saling
mempengaruhi khalayak adalah keniscayaan. Setiap komunikator, entah kyai, juru
dakwah, ahli pemasaraan atau pun praktisi Public Relations, pasti berusaha
mendapatkan simpati, kekaguman dan loyalitas audiens atau pengikutnya.
Yang menarik, di dalam kasus
Sampang itu, sinyalemen adanya aliran 'baru' Syiah mengalami perjalanan
komunikasi dengan khalayaknya yang mirip dengan teori proses difusi-adopsi.
Dalam proses itu, awalnya adalah
munculnya awareness, ketika khalayak
menemukan atau mendengar adanya 'ide' (atau produk) baru yang hadir di
sekitarnya. Kemudian, tumbuh peminatan atau interest di tengah khalayak itu.
Mirip dengan produk atau jasa
yang baru di 'pasar', peminatan khalayak tadi pada gilirannya menyebabkan
sebagian mereka mencari tambahan informasi, atau bahkan ada yang sudah mulai
'mencoba' hal baru itu.
Bila dalam produk tangible seperti telepon seluler orang akan
melakukan tahapantrial(uji
coba) lewat fitur-fitur yang ada, maka dalam kasus mazhab agama -- yangintangible (berhubung ia merupakan 'ideologi') --
proses trial itu sangat boleh jadi akan terlewati secara cepat atau bahkan sama
sekali tidak terasa, dan khalayak yang telah memiliki interest tadi
langsung melakukan 'evaluasi' terhadapnya.
Dan evaluasi itu bisa jadi mereka
lakukan sendiri, misalnya dengan cara membandingkannya terhadap pemikiran (atau
mazhab) yang dianut sebelumnya.
Di antara mereka mungkin saja
berpikir bahwa ide, produk atau jasa 'baru' itu, misalnya, terkesan lebih baik,
lebih logis, lebih nyaman, atau memberi lebih banyak benefit -- yang semuanya
bersifat sangat subyektif, karena berkaitan dengan persepsi yang ada di benak
khalayak.
Kalau tidak mengevaluasi sendiri,
sebagian audience (atau 'umat' dalam kasus aliran agama) mungkin saja melakukan
konsultasi dengan mereka yang dianggap pakar, atau lebih berpengetahuan,
seperti ulama yang dipercaya.
Hasil evaluasi ini macam-macam.
Bila khalayak puas, maka besar kemungkinan mereka akan menyerap atau menggunakan
(mengadopsi) ide atau 'aliran' itu pada dirinya -- sebagaimana pembeli di dunia
pemasaran mulai memanfaatkan produk atau jasa baru yang dianggapnya memiliki
keunggulan dibanding pesaingnya.
Melihat proses di atas,
sesungguhnya, dalam persaingan di dunia yang kian sempit ini -- ketika
informasi mengenai berbagai aliran dan mazhab dapat dengan mudah diperoleh
bahkan secara gratis sekali pun -- sehingga setiap komunikator agama, entah
kyai, ustadz atau habib memang dituntut untuk bersaing secara sehat, profesional
dan damai.
Maka, jika ingin memperoleh
penganut lebih banyak, selayaknya semua komunikator menggunakan 'kekuatan
logika' dan bukannya 'logika kekuatan', antara lain dengan menunjukkan
keunggulan 'produk' (ideologi atau mazhab) atau benefit fitur-fitur yang
dipromosikannya.
Sejauh kita yakin bahwa 'produk'
agama Islam mazhab Sunni yang kita pilih ini bagus, maka tak ada alasan untuk
merasa terancam oleh pesaing yang namanya Islam mazhab Syiah Imamiyah
Itsna'asyariyah itu.
Yang mesti dicatat adalah bahwa,
ketertarikan khalayak dipengaruhi komunikasi yang efektif dari juru dakwah
(komunikator) yang membawa ide tersebut. Dan komunikasi yang efektif terjadi
ketika seseorang berhasil memperoleh pemahaman yang sesuai (diharapkan),
menstimulasi orang lain untuk melakukan sesuatu, dan mendorong orang untuk
berpikir dengan cara baru (atau berbeda).
Dengan demikian, sudah saatnya
pimpinan agama lebih menyadari pentingnya komunikasi ini. Ahli-ahli
kepemimpinan dan motivator dunia seperti Stephen Covey juga sudah mengingatkan
peran komunikasi sebagai skill terpenting dalam hidup kita.
Sementara, rekan Covey, Thomas
Faranda, mengatakan,”Tidak ada yang lebih penting bagi seorang pemimpin
ketimbang kemampuan berkomunikasi secara efektif.”
Untuk itu, di antara kunci terpenting
adalah dengan menganggap semua orang yang berkomunikasi dengan kita sebagai
‘costumer’ -- pembeli atau pengguna -- yang berbisnis dengan kita. Dengan
demikian, Anda akan selalu berusaha memberikan kepuasan kepada khalayak, pasar
atau umat, sehingga mereka tidak beralih 'membeli' produk, jasa atau mazhab
pesaing.
Komunikasi model begitu biasanya
selalu dilakukan dengan sikap terbuka, tidak manipulatif, dan berusaha makin
mendekatkan satu dengan yang lain – ibarat pedagang menarik pelanggan -- serta
mendorong munculnya keberhasilan bagi semua pihak.
Keberhasilan komunikasi itu hanya
tercapai bila yang Anda sebarkan adalah cinta dan dakwah yang sejuk serta
ramah, bukan kebencian dan amarah. Terakhir, perlu digarisbawahi, komunikasi
yang efektif itu hanya terjadi melalui pendekatan persuasif dan dialog secara
damai, bukan dengan menghardik, mencaci, dan membakar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar