Menakar
Efektivitas Deradikalisasi
Abdullah Yazid ; Peneliti International
Conference of Islamic Scholars,
Alumnus Ponpes Qomaruddin, Gresik
|
REPUBLIKA,
10 September 2012
Merebaknya
kasus terorisme dengan anak-anak muda sebagai pelaku merupakan ancaman serius
tumbuhnya disintegrasi bangsa. Masa depan generasi muda dipertaruhkan. Problem
ideologi yang belum tuntas dideideologisasi kan, tampak jelas dengan
tertangkapnya pelaku teroris dari kalangan muda di Depok (5/9) yang masih satu
jaringan de ngan kasus Solo.
Untuk
mengatasinya, mau tidak mau peran penting dari berbagai elemen masyarakat,
khususnya dalam bidang keluarga dan pendidikan, harus menjadi fokus utama.
Keluarga dan pendidikanlah yang menjadi titik penting dalam membangun dasar keagamaan
yang benar untuk menghindari paham radikalisme.
Sayangnya,
program deradikalisasi yang digencarkan pemerintah melalui Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme belum cukup optimal. Ini terbukti dengan meledaknya
kasus Solo serta ancaman-ancaman yang dimunculkan dengan menargetkan tempat-tempat
dan kalangan tertentu. Resistensi jaringan teroris terlihat amat nyata dengan
penyerangan terhadap aparatus negara.
Ini
sudah saatnya mengevaluasi program deradikalisasi yang kurang tepat sasaran.
Misalnya, BNPT mengadakan seminar dan diskusi di pondok-pondok pesantren dan
madrasah yang secara ideologis sudah tidak bermasalah.
Agar
efektif dan tepat sasaran, program deradikalisasi tidak boleh di-gebyah uyah (dipukul rata) ke semua
kalangan dan kelompok. Selain kurang mengena, pemerintah hanya akan
menyia-nyiakan anggaran penanggulangan terorisme pada kelompok yang tidak
membutuhkan.
Jika
maksudnya adalah menularkan pemahaman keagamaan yang benar dan mengajak pada
pentingnya cinta kepada negara, pemerintah cukup menggandeng tokoh-tokoh ulama
dan masyarakat panutan. Sudah saatnya kerja-kerja deradikalisasi, jika dianggap
solusi untuk saat ini, harus lebih prioritas pada target, bukan massa secara
umum.
Di
semua daerah, terutama di wilayah akar jaringan, isu terorisme harus dijadikan
skala prioritas gerakan regio nal. Tidak boleh lagi melakukan tindakan
spekulatif dan sporadis. Sebab, kasusnya sudah berulang kali. Angka teroris
yang ditangkap Densus 88 hingga kini tercatat 700 orang, ditahan dan deradikalisasi
sebanyak 200 orang. Jika se misal satu orang bisa memengaruhi lima orang baru
maka penanganannya tidak lagi dapat dianggap remeh.
Upaya
pencegahan (prevensi) tetap pilihan yang terbaik. Terutama pada anak-anak muda
sebagai usia rentan, banyak terungkap jika gerakan radikal sebagai embrio
terorisme sekarang banyak digerakkan oleh kaum muda, khususnya akademisi
seperti para pelajar.
Misalnya,
gerakan radikal diisukan mengkader banyak anggotanya melalui kegiatan
ekstrakurikuler rohis.
Studi
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang digelar Oktober-Januari 2011
menunjukkan mayoritas pelajar di Jakarta dan sekitarnya ternyata cenderung
setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral.
Studi ini jelas-jelas mempersepsikan bahwa kebanyakan pelajar Muslim yang loyal
pada agamanya menyetujui gerakan radikal.
Dan,
kebanyakan pelajar ini berada di lingkungan rohis. Akhirnya, sebagian
masyarakat memiliki persepsi jika rohis pun ikut menyetujui gerakan radikal.
Persepsi
tersebut pastilah amat mengganggu, apalagi jika tidak terbukti kebenarannya.
Pemerintah,
para tokoh agama, serta tokoh masyarakat perlu menyikapi persepsi ini secara
serius dan menakar ulang efektivitas program deradikalisasi.
Berawal
dari semangat melumpuhkan ideologi radikal, kita harus hati-hati dan tidak
boleh terjebak pada pandangan
Agar
deradikalisasi tidak malah resisten maka terlebih dulu harus meng atasi
deideologisasi, terutama terhadap paham yang telah nyata membahayakan
kedaulatan negara dan NKRI. Faktanya, beberapa kelompok dengan “pikiran keras”
memang ada. Bahkan, BNPT mengung kap banyak orang Indonesia mengunjungi situs
radikal di Asia Tenggara. Ada puluhan situs yang digunakan untuk kampanye oleh
kelompok-kelompok radikal, dan 80-90 persen dari pengunjungnya berbahasa
Indonesia.
Jika
demikian, ini perlu diberikan perhatian. Ideologi yang berwajah radikal perlu
diatasi dengan deideologisasi oleh para tokoh agama sendiri. Kelompok-kelompok
radikal telah transparan dan demonstratif.
Sepanjang
tidak berubah menjadi tindakan melawan negara, upaya deideologisasi harus terus
diupayakan dengan cara-cara yang baik, persuasif, dan dialogis sebagai
manifestasi upaya preventif. Bagi teroris yang telah selesai di penjara dan
kembali ke masyarakat sebagai warga negara biasa, deradikalisasi memang
dibutuhkan.
Kelompok-kelompok
muda dan awam juga penting agar tidak terseret arus propaganda sesat.
Berdasarkan ha sil banyak seminar, deradikalisasi telah menjadi kecenderungan
global karena semua negara memahami bahwa upaya fisik, seperti penangkapan,
penegakan hukum, dan bahkan perang tidak akan menyelesaikan masalah.
Namun,
sekali lagi prioritas sudah saatnya dievaluasi dan difokuskan ulang sehingga
program deradikalisasi tidak seperti menggarami lautan. Kita harus percaya
banyak tokoh bisa memainkan peran penting. Tokoh lokal dan kiai kampung amat
berperan untuk dilibatkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar