Selasa, 11 September 2012

Menakar Efektivitas Deradikalisasi


Menakar Efektivitas Deradikalisasi
Abdullah Yazid ;  Peneliti International Conference of Islamic Scholars,
Alumnus Ponpes Qomaruddin, Gresik
REPUBLIKA, 10 September 2012


Merebaknya kasus terorisme dengan anak-anak muda sebagai pelaku merupakan ancaman serius tumbuhnya disintegrasi bangsa. Masa depan generasi muda dipertaruhkan. Problem ideologi yang belum tuntas dideideologisasi kan, tampak jelas dengan tertangkapnya pelaku teroris dari kalangan muda di Depok (5/9) yang masih satu jaringan de ngan kasus Solo.

Untuk mengatasinya, mau tidak mau peran penting dari berbagai elemen masyarakat, khususnya dalam bidang keluarga dan pendidikan, harus menjadi fokus utama. Keluarga dan pendidikanlah yang menjadi titik penting dalam membangun dasar keagamaan yang benar untuk menghindari paham radikalisme.

Sayangnya, program deradikalisasi yang digencarkan pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme belum cukup optimal. Ini terbukti dengan meledaknya kasus Solo serta ancaman-ancaman yang dimunculkan dengan menargetkan tempat-tempat dan kalangan tertentu. Resistensi jaringan teroris terlihat amat nyata dengan penyerangan terhadap aparatus negara.

Ini sudah saatnya mengevaluasi program deradikalisasi yang kurang tepat sasaran. Misalnya, BNPT mengadakan seminar dan diskusi di pondok-pondok pesantren dan madrasah yang secara ideologis sudah tidak bermasalah.

Agar efektif dan tepat sasaran, program deradikalisasi tidak boleh di-gebyah uyah (dipukul rata) ke semua kalangan dan kelompok. Selain kurang mengena, pemerintah hanya akan menyia-nyiakan anggaran penanggulangan terorisme pada kelompok yang tidak membutuhkan.

Jika maksudnya adalah menularkan pemahaman keagamaan yang benar dan mengajak pada pentingnya cinta kepada negara, pemerintah cukup menggandeng tokoh-tokoh ulama dan masyarakat panutan. Sudah saatnya kerja-kerja deradikalisasi, jika dianggap solusi untuk saat ini, harus lebih prioritas pada target, bukan massa secara umum.

Di semua daerah, terutama di wilayah akar jaringan, isu terorisme harus dijadikan skala prioritas gerakan regio nal. Tidak boleh lagi melakukan tindakan spekulatif dan sporadis. Sebab, kasusnya sudah berulang kali. Angka teroris yang ditangkap Densus 88 hingga kini tercatat 700 orang, ditahan dan deradikalisasi sebanyak 200 orang. Jika se misal satu orang bisa memengaruhi lima orang baru maka penanganannya tidak lagi dapat dianggap remeh.

Upaya pencegahan (prevensi) tetap pilihan yang terbaik. Terutama pada anak-anak muda sebagai usia rentan, banyak terungkap jika gerakan radikal sebagai embrio terorisme sekarang banyak digerakkan oleh kaum muda, khususnya akademisi seperti para pelajar.
Misalnya, gerakan radikal diisukan mengkader banyak anggotanya melalui kegiatan ekstrakurikuler rohis.

Studi Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang digelar Oktober-Januari 2011 menunjukkan mayoritas pelajar di Jakarta dan sekitarnya ternyata cenderung setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral. Studi ini jelas-jelas mempersepsikan bahwa kebanyakan pelajar Muslim yang loyal pada agamanya menyetujui gerakan radikal.

Dan, kebanyakan pelajar ini berada di lingkungan rohis. Akhirnya, sebagian masyarakat memiliki persepsi jika rohis pun ikut menyetujui gerakan radikal.

Persepsi tersebut pastilah amat mengganggu, apalagi jika tidak terbukti kebenarannya.
Pemerintah, para tokoh agama, serta tokoh masyarakat perlu menyikapi persepsi ini secara serius dan menakar ulang efektivitas program deradikalisasi.

Berawal dari semangat melumpuhkan ideologi radikal, kita harus hati-hati dan tidak boleh terjebak pada pandangan

Agar deradikalisasi tidak malah resisten maka terlebih dulu harus meng atasi deideologisasi, terutama terhadap paham yang telah nyata membahayakan kedaulatan negara dan NKRI. Faktanya, beberapa kelompok dengan “pikiran keras” memang ada. Bahkan, BNPT mengung kap banyak orang Indonesia mengunjungi situs radikal di Asia Tenggara. Ada puluhan situs yang digunakan untuk kampanye oleh kelompok-kelompok radikal, dan 80-90 persen dari pengunjungnya berbahasa Indonesia.

Jika demikian, ini perlu diberikan perhatian. Ideologi yang berwajah radikal perlu diatasi dengan deideologisasi oleh para tokoh agama sendiri. Kelompok-kelompok radikal telah transparan dan demonstratif.

Sepanjang tidak berubah menjadi tindakan melawan negara, upaya deideologisasi harus terus diupayakan dengan cara-cara yang baik, persuasif, dan dialogis sebagai manifestasi upaya preventif. Bagi teroris yang telah selesai di penjara dan kembali ke masyarakat sebagai warga negara biasa, deradikalisasi memang dibutuhkan.

Kelompok-kelompok muda dan awam juga penting agar tidak terseret arus propaganda sesat. Berdasarkan ha sil banyak seminar, deradikalisasi telah menjadi kecenderungan global karena semua negara memahami bahwa upaya fisik, seperti penangkapan, penegakan hukum, dan bahkan perang tidak akan menyelesaikan masalah.

Namun, sekali lagi prioritas sudah saatnya dievaluasi dan difokuskan ulang sehingga program deradikalisasi tidak seperti menggarami lautan. Kita harus percaya banyak tokoh bisa memainkan peran penting. Tokoh lokal dan kiai kampung amat berperan untuk dilibatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar