Kamis, 06 September 2012

Aparat dalam Aksi Teror

Aparat dalam Aksi Teror
Herry Nurdi ;  Wartawan dan Penulis Muslim
REPUBLIKA, 05 September 2012


Pada Maret 2011, sebuah lembaga survei, Pulse Asia, mengeluarkan hasil penelitian dan survei tentang lembaga pemerintah yang paling korup di Filipina. Hasilnya, Armed Forces of the Philippines (Tentara Filipina) berada di peringkat pertama lembaga terkorup di negeri itu. Posisi kedua, disusul oleh Philippine National Police (Kepolisian Filipina).
Hal ini, secara eksplisit, diakui pula oleh Kepala Staf Militer Filipina Jenderal Eduardo Oban Jr yang berjanji sekeras mungkin memperbaikinya. Sebanyak 81 persen responden setuju jika militer adalah lembaga paling korup di negeri mereka. Dan, korupsi ini tidak hanya menyangkut bujet dan anggaran yang dimainkan oleh para petinggi, tapi juga melibatkan pengelolaan senjata organik.
 
Jual beli senjata organik menjadi hal lazim yang terjadi di antara anggota militer Filipina.
Maka, sungguh tak heran jika Kepolisian Republik Indonesia menemukan senjata organik milik Philippine National Police dalam peristiwa di Solo pekan lalu. Selama ada uang, 
selalu ada barang. Itulah yang terjadi di Filipina.

Hal itu pula yang pernah penulis dapatkan ketika melakukan wawancara dengan kelompok MNLF dan juga MILF di wilayah selatan Filipina. Senjata yang mereka gunakan adalah senjata-senjata organik milik polisi atau tentara yang keluar dari gudang dan tempat penyimpanan, kemudian dijual dalam transaksi-transaksi gelap para militer korup di negeri itu. Pelakunya berpangkat, mulai dari jenderal sampai kopral.

Tak hanya Filipina, korupsi di ranah militer negeri tetangga, Thailand, juga tak kalah merisaukan. Pada 2 September 2010, di gudang No 69 di Armys Ordnance Department di Lop Buri, sebanyak 9.000 pucuk M-60 raib. Senjata mesin ini hilang, seperti menguap di udara. Tak hanya itu, dari gudang ini juga hilang 10 roket RPG.

Tak selang lama, hanya beberapa hari saja, 60 roket RPG dan 31 roket jenis lainnya telah dibungkus rapi siap dipaket untuk pembeli. Seorang sersan ditangkap bersama tiga orang sipil di Provinsi Lop Buri dengan tuduhan pencurian dan penjualan senjata ilegal.

Di Thailand, senjata hilang dalam jumlah besar dengan berbagai jenis bukan peristiwa yang aneh atau janggal. Banyak peristiwa pencurian dan pembobolan gudang senjata di negeri itu. Dan, selalu berakhir dengan penangkapan anggota militer yang berada di baliknya. Dua negara ini adalah negara-negara yang sering diperbincangkan sebagai negara yang banyak terlibat dalam peredaran senjata gelap dalam berbagai peristiwa terorisme di Indonesia.

Tak hanya pemain-pemain oknum militer korup, para penyuplai senjata yang melibatkan jaringan besar, seperti yang dipimpin Viktor Bout dan para user dari seluruh dunia, juga menjadi tokoh penting dalam rangkaian ini. Di sinilah, suplai dan permintaan bertemu. Para militer korup tergoda para penyuplai senjata dan para pemasok senjata berperan aktif menjual senjata-senjata ilegal ke tangan pengguna.

Viktor Bout mampu menyuplai senjata dalam jenis apa pun sampai ke negara-negara, seperti Afghanistan, Angola, Kongo, Liberia, Rwanda, Sierra Leone, Sudan, dan sangat mungkin di wilayah ASEAN, mengingat mantan agen KGB ini dicokok di Bangkok. Padahal, Viktor Bout tak hanya satu. Ada banyak Viktor Bout yang berkeliaran di seluruh dunia.

Tahun ini, seperti yang kita ketahui bersama, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia menerima alokasi dana terbesar, yaitu sebesar Rp 77,7 triliun. Sementara, untuk kepolisian, pemerintah mengalokasikan dana Rp 43,4 triliun atau menempati urutan keempat sebagai lembaga yang mendapat prioritas anggaran setelah Kementerian PU serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Bukan rahasia umum pula, korupsi masih menjadi problem terbesar di negara ini, termasuk di lembaga-lembaga negara. Karena itu, bukan bercanda ketika Presiden SBY mengingatkan jangan ada mark up dalam proses pembelian senjata oleh TNI. Korupsi membelit banyak lembaga negara di negeri ini.

Di sinilah titik pertemuannya. Dengan korupsi, pejabat-pejabat militer menyuplai senjata-senjata ilegal pada gerakan-gerakan radikal yang membelinya di pasar-pasar gelap di seluruh dunia. Senjata dari Filipina, Thailand, dan juga dari Pindad, Indonesia.

Pada Agustus 2009, PT Pindad menambah daftar panjang jumlah peredaran senjata yang bisa saja menjadi ilegal. Polisi Filipina menangkap kapten kapal kargo MV Ufuk Bruce Jones yang kedapatan membawa senjata dari PT Pindad yang konon untuk dibawa pada pembeli secara legal di Filipina dan Mali. Polisi Filipina menyita 50 Senapan Serbu 1 (SS1) buatan PT Pindad dan 10 pucuk senjata api genggam bikinan Israel. Ada pula beberapa peti senjata kosong yang diduga telah diturunkan.

Jangan lupa pula, ada kasus pelatihan militer di Aceh yang dalam proses pembuktian menemukan fakta senjata-senjata yang digunakan adalah milik Mako Brimob yang keluar melalui oknum-konum korupnya. Dalam persidangan, jaksa penuntut umum menghadirkan saksi Ahmad Sutrisno yang menjelaskan pistol dan senjata laras panjang yang dijual diperoleh dari oknum-oknum korup penjaga gudang senjata.

Harga pistol jenis revolver dan FN per unitnya seharga Rp 5 juta. Sedangkan, jenis AK47 dan M16 per unitnya seharga Rp 15 juta. Ini belum lagi ditambah dengan penjualan amunisi. Dalam persidangan, Sutrisno menerangkan, keuntungan dari jual senjata itu yang diperolehnya selama dua tahun sejak 2008 adalah Rp 60 juta. Total transaksi mencapai sekitar Rp 300 juta.

Maka, bukan saja masalah radikalisme yang kerap kali berujung menyudutkan umat Islam dan ajaran Islam, kasus-kasus terorisme juga bermuara pula pada gurita korupsi yang membelit di berbagai lini menjadi salah satu bahan bakarnya. Maka, semua pihak harus berperan memutuskan rantainya. Dakwah harus bekerja keras menyampaikan kebenaran dan kebaikan kepada umat. Hukum tak boleh hanya keras proses penindakan, tapi juga harus melakukan perang pada korupsi yang membuka peluang penyebaran alat-alat penebar kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar