Aparat dalam
Aksi Teror
Herry Nurdi ; Wartawan dan Penulis
Muslim
|
REPUBLIKA,
05 September 2012
Pada Maret 2011, sebuah lembaga survei, Pulse Asia, mengeluarkan
hasil penelitian dan survei tentang lembaga pemerintah yang paling korup di
Filipina. Hasilnya, Armed Forces of the
Philippines (Tentara Filipina) berada di peringkat pertama lembaga terkorup
di negeri itu. Posisi kedua, disusul oleh Philippine
National Police (Kepolisian Filipina).
Hal ini, secara eksplisit, diakui pula oleh Kepala Staf Militer
Filipina Jenderal Eduardo Oban Jr yang berjanji sekeras mungkin memperbaikinya.
Sebanyak 81 persen responden setuju jika militer adalah lembaga paling korup di
negeri mereka. Dan, korupsi ini tidak hanya menyangkut bujet dan anggaran yang
dimainkan oleh para petinggi, tapi juga melibatkan pengelolaan senjata organik.
Jual beli senjata organik menjadi hal lazim yang terjadi di antara anggota
militer Filipina.
Maka, sungguh tak heran jika Kepolisian Republik Indonesia
menemukan senjata organik milik Philippine National Police dalam peristiwa di
Solo pekan lalu. Selama ada uang,
selalu ada barang. Itulah yang terjadi di
Filipina.
Hal itu pula yang pernah penulis dapatkan ketika melakukan
wawancara dengan kelompok MNLF dan juga MILF di wilayah selatan Filipina.
Senjata yang mereka gunakan adalah senjata-senjata organik milik polisi atau
tentara yang keluar dari gudang dan tempat penyimpanan, kemudian dijual dalam
transaksi-transaksi gelap para militer korup di negeri itu. Pelakunya
berpangkat, mulai dari jenderal sampai kopral.
Tak hanya Filipina, korupsi di ranah militer negeri tetangga,
Thailand, juga tak kalah merisaukan. Pada 2 September 2010, di gudang No 69 di Armys Ordnance Department di Lop Buri,
sebanyak 9.000 pucuk M-60 raib. Senjata mesin ini hilang, seperti menguap di
udara. Tak hanya itu, dari gudang ini juga hilang 10 roket RPG.
Tak selang lama, hanya beberapa hari saja, 60 roket RPG dan 31
roket jenis lainnya telah dibungkus rapi siap dipaket untuk pembeli. Seorang
sersan ditangkap bersama tiga orang sipil di Provinsi Lop Buri dengan tuduhan
pencurian dan penjualan senjata ilegal.
Di Thailand, senjata hilang dalam jumlah besar dengan berbagai
jenis bukan peristiwa yang aneh atau janggal. Banyak peristiwa pencurian dan
pembobolan gudang senjata di negeri itu. Dan, selalu berakhir dengan
penangkapan anggota militer yang berada di baliknya. Dua negara ini adalah
negara-negara yang sering diperbincangkan sebagai negara yang banyak terlibat
dalam peredaran senjata gelap dalam berbagai peristiwa terorisme di Indonesia.
Tak hanya pemain-pemain oknum militer korup, para penyuplai
senjata yang melibatkan jaringan besar, seperti yang dipimpin Viktor Bout dan
para user dari seluruh dunia, juga menjadi tokoh penting dalam rangkaian ini.
Di sinilah, suplai dan permintaan bertemu. Para militer korup tergoda para
penyuplai senjata dan para pemasok senjata berperan aktif menjual
senjata-senjata ilegal ke tangan pengguna.
Viktor Bout mampu menyuplai senjata dalam jenis apa pun sampai ke
negara-negara, seperti Afghanistan, Angola, Kongo, Liberia, Rwanda, Sierra
Leone, Sudan, dan sangat mungkin di wilayah ASEAN, mengingat mantan agen KGB
ini dicokok di Bangkok. Padahal, Viktor Bout tak hanya satu. Ada banyak Viktor
Bout yang berkeliaran di seluruh dunia.
Tahun ini, seperti yang kita ketahui bersama, Kementerian
Pertahanan Republik Indonesia menerima alokasi dana terbesar, yaitu sebesar Rp
77,7 triliun. Sementara, untuk kepolisian, pemerintah mengalokasikan dana Rp
43,4 triliun atau menempati urutan keempat sebagai lembaga yang mendapat
prioritas anggaran setelah Kementerian PU serta Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Bukan rahasia umum pula, korupsi masih menjadi problem terbesar di
negara ini, termasuk di lembaga-lembaga negara. Karena itu, bukan bercanda
ketika Presiden SBY mengingatkan jangan ada mark
up dalam proses pembelian senjata oleh TNI. Korupsi membelit banyak lembaga
negara di negeri ini.
Di sinilah titik pertemuannya. Dengan korupsi, pejabat-pejabat
militer menyuplai senjata-senjata ilegal pada gerakan-gerakan radikal yang
membelinya di pasar-pasar gelap di seluruh dunia. Senjata dari Filipina,
Thailand, dan juga dari Pindad, Indonesia.
Pada Agustus 2009, PT Pindad menambah daftar panjang jumlah
peredaran senjata yang bisa saja menjadi ilegal. Polisi Filipina menangkap
kapten kapal kargo MV Ufuk Bruce Jones yang kedapatan membawa senjata dari PT
Pindad yang konon untuk dibawa pada pembeli secara legal di Filipina dan Mali. Polisi
Filipina menyita 50 Senapan Serbu 1 (SS1) buatan PT Pindad dan 10 pucuk senjata
api genggam bikinan Israel. Ada pula beberapa peti senjata kosong yang diduga
telah diturunkan.
Jangan lupa pula, ada kasus pelatihan militer di Aceh yang dalam
proses pembuktian menemukan fakta senjata-senjata yang digunakan adalah milik
Mako Brimob yang keluar melalui oknum-konum korupnya. Dalam persidangan, jaksa
penuntut umum menghadirkan saksi Ahmad Sutrisno yang menjelaskan pistol dan
senjata laras panjang yang dijual diperoleh dari oknum-oknum korup penjaga
gudang senjata.
Harga pistol jenis revolver dan FN per unitnya seharga Rp 5 juta.
Sedangkan, jenis AK47 dan M16 per unitnya seharga Rp 15 juta. Ini belum lagi
ditambah dengan penjualan amunisi. Dalam persidangan, Sutrisno menerangkan,
keuntungan dari jual senjata itu yang diperolehnya selama dua tahun sejak 2008
adalah Rp 60 juta. Total transaksi mencapai sekitar Rp 300 juta.
Maka, bukan saja masalah radikalisme yang kerap kali berujung
menyudutkan umat Islam dan ajaran Islam, kasus-kasus terorisme juga bermuara
pula pada gurita korupsi yang membelit di berbagai lini menjadi salah satu
bahan bakarnya. Maka, semua pihak harus berperan memutuskan rantainya. Dakwah
harus bekerja keras menyampaikan kebenaran dan kebaikan kepada umat. Hukum tak
boleh hanya keras proses penindakan, tapi juga harus melakukan perang pada
korupsi yang membuka peluang penyebaran alat-alat penebar kematian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar