Andai Aku Jadi
Importir (Pangan)
Iman Sugema ; Ekonom
|
REPUBLIKA
, 03 September 2012
Kalau
saya ditanya tentang bisnis apa yang gampang saat ini, jawabannya adalah bisnis
impor pangan. Di samping mampu memperkaya diri sendiri, koneksi politik akan
terbangun dengan mudah. Apalagi kalau pangan itu dipandang sebagai `hajat hidup
orang banyak' atau sembilan bahan kebutuhan pokok, seperti terigu, kedelai,
gula, dan garam. Mengapa
demikian?
Setidaknya, ada lima kenikmatan khusus dari bisnis importir ini. Pertama,
bisnis ini dijamin untung alias tidak akan pernah merugi. Harga domestik selalu
bisa dipastikan lebih tinggi dibandingkan harga internasional, baik ketika
harga turun maupun sedang naik, importir bisa dipastikan bisa ambil untung. Ini
merupakan hukum ekonomi yang bisa dijelaskan secara sederhana.
Ketika
harga sedang naik, sudah pasti importir dapat menikmati margin penjualan tambahan yang terjadi akibat pertambahan harga. Ketika
harga internasional cenderung turun, importir akan dengan mudah mencegah
terjadinya transmisi harga secara one on
one. Caranya adalah dengan mengatur suplai ke pasar domestik. Karena pasar
domestik berada dalam excess demand,
pada prinsipnya konsumen domestik bersedia membayar lebih mahal dibanding
dengan harga internasional.
Kedua,
bisnis ini dijamin dapat tumbuh melebihi pertumbuhan pendapatan dan populasi
penduduk. Inilah yang menjelaskan mengapa, misalnya, pangsa impor gula, garam,
dan kedelai semakin membengkak, sementara produsen domestik mati megap-megap.
Harap di ingat bahwa jumlah importir relatif sedikit dibandingkan jumlah
petani. Para importir dapat melakukan pengaturan harga di antara sesamanya
dengan tujuan untuk mematikan usaha petani. Di lain pihak, tak ada satu
institusi yang mampu melalukan pengaturan harga di antara sesama petani. Dengan
kata lain, bargaining position petani relatif sangat lemah dibandingkan
importir.
Dalam
beberapa kasus, importir dapat membuat petani enggan berproduksi secara
permanen. Contohnya, ketika terjadi panen, importir dapat menyusupkan barang
impor ke sentrasentra produksi sehingga hasil panen tidak laku dijual. Akibat
nya bisa ditebak, petani rugi dan kapok sehingga mereka memutuskan untuk
beralih komoditas.
Karena
itu, dalam jangka panjang, ketergantungan terhadap impor akan selalu bertambah
besar. Bukankah itu yang terjadi pada beberapa komoditas pangan selama ini?
Kalau demikian, kita tak bisa bermimpi menggapai kedaulatan pangan selama keran
impor dibuka lebar-lebar.
Ketiga,
bisnis ini bisa dijalan kan dengan modal dengkul atau tanpa modal sama sekali.
Kele bih an produksi pangan di negara-negara maju, mau tidak mau, harus
dilempar ke negara lain. Biaya penyimpanan komoditas pangan lebih tinggi
dibandingkan ongkos bunga pinjaman bank. Karena itu, importir diberi fasilitas
khusus pinjaman dari ECA atau export
credit agency yang jumlahnya bisa mencapai 100 persen dari nilai barang.
Dengan kata lain, Anda sebagai importir tak harus memiliki modal sama sekali.
Selain itu, suku bunga ECA biasanya disubsidi alias merupakan dana murah.
Keempat,
posisi sebagai importir bisa dibela habis-habisan oleh negara pengekspor.
Importir adalah representasi dari kepentingan negara pengekspor.
Celakanya, percaturan politik dunia lebih banyak ditentukan oleh negara maju
yang sekaligus juga adalah negara pengekspor.
Ini
yang menjelaskan bahwa ultimate owner
dari perusahaan importir pangan biasanya tidak pernah berubah dari waktu ke
waktu. Bendera perusahaanya bisa saja berubah, tapi pemiliknya itu-itu juga.
Kelima,
secara politis Anda sebagai importir dapat menjadi king maker dalam percaturan politik nasional. Selain karena ada back up dari negara adikuasa, Anda juga
memiliki sumber daya keuangan yang besar dari margin impor. Kalau Anda memiliki margin sebesar Rp 1.000 per kilogram dengan volume impor sebanyak
satu juta ton per tahun, keuntungan bersihnya mencapai Rp 1 triliun setahun.
Itu setahun saja, lho. Karena besarnya margin
inilah, importir tak segan-segan untuk mengeluarkan biaya politik. Tujuannya
adalah untuk mengokohkan posisi bisnis melalui politik.
Lagi
pula, sistem pemilu yang multipartai sekarang ini membutuhkan biaya politik
yang tidak murah. Cara yang paling aman bagi para politisi adalah berkolaborasi
dengan pemilik duit, yang salah satu di antaranya adalah para importir pangan
dan energi. Korupsi jenis ini lebih sulit terendus oleh KPK karena tidak
melibatkan proses APBN.
Itulah
beberapa sisi gelap importasi pangan yang harus diketahui secara gamblang oleh
rakyat. Nasib jutaan rumah tangga petani adalah taruhannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar