Negara Tanda Tanya
Benny Susetyo ; Pemerhati
Masalah Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 14 September 2012
Hasil survei nasional Charta
Politika mencerminkan tingkat kepuasan masyarakat (approval rating) kepada pemerintah berada di bawah ambang
psikologis.
Lebih dari 50 persen responden
mengaku tidak puas dengan kinerja pemerintah dan masalah ekonomi menjadi isu
utama yang memengaruhi tingkat evaluasi masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan.
Masyarakat tampaknya akan memberi
hukuman kepada pemerintah bila kinerja ekonomi jeblok. Persepsi publik yang
juga negatif terhadap kinerja para menteri asal parpol juga memengaruhi
rendahnya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah.
Kekuatan partai papan atas masih
didominasi tiga partai besar. Partai Golkar (18 persen), Partai Demokrat (12,5
persen), dan PDI Perjuangan (10,8 persen).
Survei Nasional Charta Politika
menunjukkan kepuasan publik ke pemerintah memasuki ambang batas karena publik
merasa pemerintah antara ada dan tiada. Publik merasa pemerintah tidak
memberikan harapan akan kesejahteraan, keamanan, dan pelayanan.
Rendahnya tingkat kepuasan publik
ini mencerminkan pemerintahan tidak maksimal menjalankan amanat konstitusi. Pemimpin sudah nyaris abai untuk
menegakkan hukum serta memberikan kepastian. Pemimpin hanya mampu memahami
dirinya sendiri.
Ia sangat sibuk memainkan citra
yang menghibur para penonton sehingga lupa tugas sesungguhnya adalah untuk
membantu rakyatnya keluar dari penderitaan. Rakyat pun terbuai dengan senyum
manis pemimpinnya dan seolah tak merasakan lagi bahwa kehidupan yang mereka
jalani semakin menderita.
Survei akhir-akhir ini yang
menyatakan melorotnya kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan bisa
menjadi masalah serius dalam hal citra belaka dan justru bukan dalam konteks
evaluasi apa sesungguhnya yang membuat masyarakat semakin tidak puas.
Elite yang pandai bersilat lidah
tidak mementingkan solusi atas fakta itu, melainkan bagaimana tetap
mempertontonkan pertunjukan yang memukau dan menghibur penonton.
Akibatnya, negara ini tidak
berubah menjadi baik karena tuntutan masyarakat, melainkan dengan persepsinya
sendiri membangun stabilitas kekuasaan yang sering kali manipulatif. Hari-hari elite lebih banyak
disibukkan dengan pencitraan dirinya untuk menjaga agar tontonan tetaplah bisa
membuai rakyat. Bila perlu sampai
penonton lupa diri dan tidak menyadari apa yang sedang terjadi.
Ironi Citra
Sudah sejak awal kita menyaksikan
betapa rakyat mengharapkan sosok pemimpin yang bisa membawa perubahan.
Sebab setelah didera
otoritarianisme yang amat lama dan krisis berkepanjangan, bangsa ini seolah
sudah berada di tebing kehancuran. Kepercayaan terhadap kemapanan sistem lama
menciptakan ketakutan akan kembalinya otoritarianisme baru dan krisis yang
semakin menjerat.
Keyakinan rakyat bahwa perubahan
harus dilakukan mengantarkan bangsa ini di hadapan puja-puji bangsa lain,
“Betapa hebatnya demokrasi di negeri ini.”
Namun, apa yang terjadi? Kita
menyadari ada jurang pemisah yang amat lebar antara realitas dan cita-cita.
Antara apa yang terlontar di panggung para pemimpin dan jerit tangis penonton
di bawah. Kehidupan tidak berubah menjadi lebih baik, bahkan tak jarang justru
semakin merosot.
Di atas panggung, para pemimpin
mengandaikan dirinya bak pahlawan yang bisa mengatasi semua masalah rakyat.
Tetapi, itu semua tak ubahnya merupakan kata-kata hiburan yang kerap tidak
memiliki makna di tengah sulitnya kehidupan rakyat.
Ada situasi berbeda yang enggan
dipahami para pemimpin kita: merosotnya
kepuasan
masyarakat atas pemerintahan itu hanyalah salah satu bukti kecil bahwa
kita gagal, dan mulai terdengar sayup-sayup di tengah kerumunan bahwa
pemerintah belum berbuat maksimal untuk rakyatnya.
Dalam dunia yang semakin lama
semakin berkembang ke arah yang serbamaya ini, citra adalah power. Citra juga bisa digunakan untuk
merebut kekuasaan. Dalam politik muncul ide untuk mencitrakan sosok
kepemimpinan sebagai sesuatu yang baik tanpa harus mengoreksi terlebih dahulu
sejauh mana citra tersebut bukan sekadar imajinasi.
Dalam pencitraan, yang kita
pahami adalah bahwa orang yang digambarkan selalu sebagai pribadi yang mampu
mengatasi segala-galanya. Ia bagaikan Superman
yang mampu terbang tinggi dan Spiderman
yang selalu menjadi pahlawan. Ia
dicitrakan selalu bisa mengatasi segala kesulitan yang terjadi.
Di sisi lain, hal ini sangat
berbahaya bila citra itu tidak mewujud dalam praktik sesungguhnya dan
semata-mata berhenti sebagai khayalan. Rakyat sejauh ini hanya berkhayal
memiliki negara yang bebs korupsi. Bermimpi memiliki pemimpin ”Ratu Adil” yang
bisa melindungi dan menjaga martabat kehidupannya. Semuanya hanya khayalan dan
mimpi.
Bermimpi Bebas Korupsi
Akhir-akhir ini publik gundah,
masih adakah minat kekuasaan untuk memberantas korupsi ini secara sungguh-sungguh?
Perlu ditegaskan bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar citra dan
pencitraan. Pemerintahan yang
bersih mengandung makna yang sangat mendalam dan mendasar. Ini menyangkut
substansi.
Kita belum sampai pada proses
inti ”pemerintahan yang bersih” itu. Ketidakseriusan dalam memberantas korupsi
berarti juga mengkhianati semangat konstitusi yang di dalamnya tercantum
cita-cita masyarakat yang adil dan makmur serta cerdas bangsa.
Cita-cita itu merupakan dasar
untuk memerangi korupsi karena dengan korupsi membawa bangsa ini pada
kebangkrutan. Bangsa ini harus diselamatkan karena sudah berada di ujung tanduk
kehancuran karena korupsi.
Dalam perjalanan memberantas
korupsi yang sudah mendarah daging, selalu terdapat tarik-menarik khususnya
dari aspek penegakan hukum berhadapan dengan kekuasaan. Hukum yang sering
diintervensi dengan pola-pola barter politik pada akhirnya tidak akan pernah
bisa memberantas korupsi secara sungguh-sungguh.
Korupsi begitu dekat dengan
politik. Bahkan, karena korupsi adalah penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan
kepentingan pribadi maka korupsi paling sering dilakukan karena adanya dukungan
kekuasaan politik yang dimiliki pelaku.
Akibat demikianlah sudah
seharusnya penanganan kasus-kasus korupsi dijauhkan dari intervensi politik
agar ia menghasilkan keputusan hukum yang netral dan tidak memihak. Karenanya,
aparat penegak hukum tidak boleh memiliki loyalitas dan pemihakan kepada pihak
manapun, terutama penguasa.
Namun, idealitas semacam di atas
bukan merupakan sesuatu yang mudah dilaksanakan. Bahkan, boleh dikatakan
idealitas semacam itu hanyalah mimpi. Karena korupsi dilakukan di aras politik
dan hukum kerap tunduk pada penguasa politik suatu zaman, pemihakan keadilan
sering kali tidak berimbang.
Intinya, mereka yang berada dan
memiliki jalur atau akses kekuasaan kerapkali mendapatkan situasi menguntungkan
dari proses hukum yang terjadi. Ada yang mengatakan penegakan hukum model
“belah bambu”, satu diangkat satu diinjak.
Kembali pada upaya pelemahan
pemberantasan korupsi, kembali harus dingatkan kepada semua pihak agar tidak
main-main dalam agenda ini, sebab rakyat sudah begitu muak dengan korupsi.
Kerisauan seperti ini sudah
semestinya mendapatkan respons aktif pemerintah, bukan dalam bentuk pencitraan
semata. Rakyat membutuhkan realisasi dari janji-janji manis pemberantasan
korupsi. Ini karena korupsi hanya bisa ditangani dengan baik apabila terdapat
komitmen kekuasaan yang dapat dibuktikan dan diukur dengan nyata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar