Rabu, 01 Februari 2012

Tuntaskan Bengkalai Korupsi


Tuntaskan Bengkalai Korupsi
Marwan Mas, GURU BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
Sumber : SINDO, 1 Februari 2012


Menjelang tutup tahun 2011, ada kabar yang cukup menggembirakan dari Transparency International, sebuah organisasi nonpemerintah asing, bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2011 meningkat menjadi 3 dari 2,8 tahun 2010. Tapi IPK ini hanya “persepsi publik”, sebab realitas menunjukkan begitu banyak kasus korupsi kelas kakap yang “terbengkalai”. Di antaranya kasus BLBI, Bank Century, suap pembangunan Wisma Atlet yang hanya menjaring pelaku pinggiran meski diduga melibatkan elite-elite Partai Demokrat, kasus Hambalang,dugaan mafia anggaran DPR yang hanya menetapkan sang peniup peluit Wa Ode Nurhayati sebagai tersangka, serta kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia yang baru menetapkan Miranda S Goeltom sebagai tersangka, tetapi masih jauh dari tuntas.

Ini menunjukkan bahwa uang negara dikorup elite politik dan kekuasaan, begitu susah tersentuh hukum.Hukum tumpul menghadapinya,tetapi tajam jika yang korup pejabat yang tidak punya sandaran politik. Mereka akan segera digiring ke ruang sidang pengadilan meski juga pada akhirnya lebih banyak diputus bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Begitulah potret buram pemberantasan korupsi yang membuat negeri ini menjadi surga bagi koruptor.

KPK baru yang sebenarnya diharapkan lebih gesit dan berani membongkar kasus korupsi kakap begitu lamban langkahnya, bahkan tertatih-tatih mengikuti perkembangan kasus Wisma Atlet yang terungkap dalam sidang pengadilan. Respons KPK serbanormatif, bahkan tidak memberi keyakinan bagi publik bahwa alat bukti yang ada sudah bisa ditingkatkan ke penyidikan. KPK terkesan terbelenggu ketentuan Pasal 40 UU Nomor 30/2002 tentang KPK yang melarang menghentikan penyidikan dan penuntutan.

Hukum yang Bertenaga

Banyaknya bengkalai kasus yang terpaksa di-carry over KPK jilid III tentu harus didukung oleh “hukum yang lebih bertenaga”.Bukan hanya regulasinya (substansi hukum) yang harus diperkuat, tetapi juga keberanian KPK (pelaksana hukum) yang nantinya akan didukung publik.

Janji Ketua KPK Abraham Samad yang akan pulang kampung (mengundurkan diri) jika dalam setahun tidak mampu berbuat banyak bisa ditafsirkan sebagai tekad untuk tidak takut membongkar kasus-kasus korupsi yang melibatkan pusat kekuasaan dan elite partai politik.Apalagi KPK memiliki pisau tajam berupa wewenang luar biasa dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Meski begitu, KPK tidak boleh dibiarkan bekerja sendirian,semua komponen bangsa yang antikorupsi harus berdiri di belakang KPK untuk memerangi perilaku korupsi yang sistematis dan masif.

Begitulah realitas penanganan kasus-kasus korupsi kelas kakap di negeri ini, padahal Gustav Radbruch menggaungkan bahwa hukum bertujuan untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Tapi realitas berkata lain, penegakan hukum lebih mengembangkan pemahaman positivistis dan keadilan prosedural. Keadilan substansial yang membawa manfaat bagi rakyat banyak sebagai skala prioritas menurut Radbruch hanya dijadikan slogan. Mulai dari pembentukan hukum sampai pada penegakannya selalu menghitung agar kepentingan kekuasaan tidak dirugikan.

Hukum didesain mandul sehingga tidak berdaya menghadapi kekuatan di luar dirinya (faktor nonhukum). Disebutkan dalam “teori sibernetik” Talcott Parsons bahwa hukum dalam realitas tidak pernah otonom lantaran dipengaruhi oleh faktor nonhukum seperti kekuatan ekonomi, politik, sosial,dan budaya masyarakat. Akibatnya,hukum tidak pernah menjadi sarana terapi preventif lantaran lebih banyak difungsikan sebagai “proses formal” yang membuat para koruptor bisa lepas dari sanksi maksimal.

Inilah yang disebut almarhum Satjipto Rahardjo sebagai pembangkangan terhadap nilai-nilai substansial hukum. Pikiran-pikiran progresif yang seharusnya dipakai memerangi para koruptor yang melakukan kejahatan luar biasa justru dikecam dengan pandangan dan penghayatan pragmatis. Pemikiran sang begawan sosiologi hukum itu seharusnya dijadikan acuan dengan menjadikan “hukum lebih bertenaga” menghadapi kelihaian para koruptor. Deskripsi ini paling tidak bisa menggulung paham positivistis yang lebih banyak berlindung pada sisi teknis prosedural. Penguatan hukum harus didukung bersama agar negeri ini bisa bebas dari kekuasaan para koruptor.

Neraka bagi Koruptor

Apabila selama ini gertakan para pencoleng uang negara begitu kencang sehingga sering membuat polisi, jaksa, KPK, dan hakim kelimpungan saat memeriksa perkara korupsi, seharusnya itu tidak terjadi lagi dan harus dilawan. Sudah pasti rakyat akan membentengi aparat hukum dari tekanan para koruptor yang membuat mereka tidak punya pilihan.Makanya, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus memfungsikan hati nuraninya dalam memutus perkara korupsi, tidak hanya melaksanakan bunyi undang-undang secara kaku.

Harus memperhatikan kepentingan yang lebih luas karena undangundang selalu memiliki semangat untuk melindungi warga negara dari keserakahan para koruptor. Menyetop perampokan uang negara tidak bisa hanya dengan pandangan normatif, apalagi retorika atau imbauan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Tugas pimpinan KPK yang masih dipercaya publik adalah untuk menggerakkan hukum agar lebih bertaring. Siapa pun yang terbukti merampok uang negara, tanpa pandang bulu,dibawa ke ruang pengadilan untuk diperiksa dan dijatuhi hukuman sesuai dengan kesalahannya.

Makanya, tak ada kata berhenti untuk memerangi perilaku korup,negeri ini harus jadi “neraka” bagi para koruptor. KPK tidak boleh ikut terjebak pada pola lama dalam menanganikasusyangterkaitdengan kekuasaan atau partai yang berkuasa.Kepercayaan publik bisa semakin tergerus jika masih tebang pilih,jika ketajaman pisau hukum hanya diarahkan ke bawah,sementara yang tumpul menghadap ke atas.

Semoga memasuki 2012, yang sebagian orang meyakini akan terjadi kiamat, bisa memompa nyali KPK terhadap pemeo hukum bahwa “sekalipun langit akan runtuh besok, hukum harus tetap ditegakkan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar