Prahara
“Revolusi Angkot”
Hasibullah Satrawi, Alumni
Al-Azhar, Kairo, Mesir,
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
Sumber
: SINDO, 17
Februari 2012
Awalnya
revolusi Mesir menjadi kebanggaan tersendiri. Setidaknya demikian klaim
subjektif masyarakat Mesir atas keberhasilan gerakan revolusi 25 Januari yang
melengserkan kekuasaan Hosni Mubarak pada 11 Februari 2011 lalu.
Apalagi
revolusi yang dimotori para pemuda itu tidak sampai menjadi perang terbuka, tidak memakan ribuan korban, dan tidak membutuhkan waktu perjuangan
sedemikian panjang (seperti yang pernah terjadi di Libya dan sekarang terjadi
di Syria). Sungguh ironis, kebanggaan di atas perlahan berubah menjadi
”penyesalan”.
Setidaknya demikian analisis kolumnis terkemuka Mesir, Abdul Mun’im Said, yang membagi pandangan masyarakat Mesir terkait prahara revolusi ke dalam tiga kelompok (Ash-Sharq Al-Awat, 1/2). Pertama, kelompok penyelamat (sikkatu as-salamah) yang diwakili militer Mesir sebagai lembaga negara satu-satunya yang mengambil alih tugas-tugas kenegaraan pascarevolusi (terlepas dari semua kekurangan yang ada).
Kedua, kelompok yang menyesal (sikkatu an-nadamah) karena menganggap kehidupan pascarevolusi lebih buruk dibanding era sebelumnya. Ketiga, kelompok tak berdaya karena semanis apa pun kehidupan di masa lalu tak akan bisa dikembalikan (allazi yazhab lam ya’ud). Kehidupan sosial politik Mesir pascarevolusi yang sarat dengan aksi kekerasan cukup menjadi alasan bagi pergeseran kebanggaan menjadi penyesalan sebagaimana di atas.
Baik kekerasan yang bernuansa keagamaan, sosial-politik atau bahkan pertandingan sepak bola seperti yang terjadi di Port Said yang berubah menjadi ajang pembantaian tidak lama ini. Pelbagai macam aksi kekerasan yang terjadi di Mesir pascarevolusi ditengarai oleh banyak pihak sebagai konspirasi politik (tak terkecuali tragedi Port Said mutakhir yang menewaskan 74 orang).
Setidaknya ada tiga pihak yang selama ini kerap dituding sebagai dalang dari pelbagai macam konspirasi politik di Mesir mutakhir. Pertama, militer dan loyalis Hosni Mubarak. Dalam persoalan aksi kekerasan di Port Said, contohnya, hampir semua pihak di Mesir mengarahkan ”telunjuknya” kepada militer dan loyalis Hosni Mubarak sebagai pihak yang berada di balik aksi kekerasan tersebut.
Suporter kesebelasan Al- Ahly (biasa dikenal dengan nama Ultras) yang menjadi korban dalam tragedi itu berperan cukup besar dalam sejumlah aksi demonstrasi yang berhasil menggulingkan Hosni Mubarak. Asumsinya, para loyalis Mubarak tidak rela membiarkan Mesir pascarevolusi menjadi tenteram dan aman.Apalagi kekuatan revolusi mendongkel kekuasaan Mubarak dengan cara yang dianggap sangat menyakitkan.
Terlebih lagi kekuatan revolusi saat ini memaksa Mubarak menjadi pesakitan di ruang pengadilan bersama semua perangkat medis dan ranjang dorongnya. Persis seperti kata pepatah, sekali dayung dua dan tiga pulau terlampaui.Dengan melakukan pelbagai macam aksi kekerasan, para loyalis Mubarak hendak membalas sakit hati mereka atas semua penderitaan yang saat ini dialami Mubarak, sekaligus menciptakan ”ruang rindu terlarang” seperti yang disampaikan Abdul Mun’im Said.
Hingga masyarakat Mesir menyesal atas semua situasi yang terjadi mutakhir (walaupun mereka sadar tidak mungkin bisa kembali pada situasi yang sudah berlalu). Militer Mesir kerap dianggap sebagai bagian dari loyalis Mubarak yang paling terorganisasi. Tidak semata-mata karena mereka bekas anak buah Mubarak. Lebih dari itu semua, pelbagai macam kebijakan Dewan Agung Militer Mesir kerap tidak mendukung bagi segera terbentuknya pemerintahan sipil Mesir yang demokratis.
Alih-alih, dengan pelbagai dalih, militer Mesir justru dianggap terus mengulur waktu peralihan kekuasaan kepada pemerintahan sipil. Dalam konteks seperti ini, tragedi Port Said sangat memperlihatkan peran dan kepentingan militer Mesir.Aksi kekerasan itu bisa dijadikan dalih berikutnya oleh militer Mesir untuk memperpanjang masa kekuasaannya.
Apalagi proses demokrasi di Mesir telah berhasil membentuk komposisi parlemen melalui pemilu yang diakui paling bersih di dunia Arab dan akan segera ”dihantamkan” melalui pemilu presiden yang menurut rencana akan dilaksanakan pada pertengahan tahun ini. Semua ini berarti kekuasaan militer Mesir akan segera berakhir (bila tidak diperpanjang karena alasan tertentu). Kedua, kelompok islamis yang berhasil menguasai hampir sepertiga dari kursi parlemen Mesir.
Baik kelompok islamis yang tergabung dalam koalisi Ikhwanul Muslimin melalui Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizbul Hurriyah wal-‘Adalah) maupun yang tergabung dalam koalisi Partai Nur Salafi (Hizbu an-Nur as-Salafiy). Sebagai pemenang pemilu, kelompok islamis sangat berkepentingan untuk mengawal perjalanan revolusi hingga berakhir dengan penyerahan kekuasaan dari militer.
Merekalah yang akan menjalankan pemerintahan Mesir ke depan. Itu sebabnya, kelompok islamis kerap menahan diri dan tidak terlibat dalam sejumlah aksi demonstrasi belakangan yang dianggap hanya akan mengganggu proses penyerahan kekuasaan. Termasuk aksi demonstrasi yang meminta militer menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil secepat mungkin (lebih cepat dari batas waktu yang telah diberikan militer sebagaimana di atas).
Dalam konteks seperti ini, pelbagai macam aksi kekerasan di Mesir mutakhir bisa dibaca dari perspektif kepentingan kelompok islamis di atas. Asumsinya, pelbagai macam kekerasan yang terjadi akan semakin membuat dewan militer terpojok. Apalagi mereka masih kerap dianggap sebagai bagian dari loyalis Mubarak sebagaimana telah disebutkan. Karena itu, militer Mesir tidak seharusnya bermain-main, apalagi mempermainkan kelompok islamis sebagai pemenang pemilu.
Apa pun dalihnya. Pesan ini penting disampaikan oleh kelompok islamis kepada pihak militer. Mengingat yang terakhir disebutkan di atas tampak berupaya mencampuri kekuasaan pemerintah Mesir terpilih mendatang atas nama menjaga konstitusi atau melindungi Mesir agar tidak menjadi negara agama. Ketiga,kelompok nasionalisliberal. Dalam konteks revolusi Mesir, kelompok nasionalisliberal bisa disebut sebagai pihak kedua yang tak kalah sakit hati dari para loyalis Mubarak.
Dikatakan demikian karena merekalah yang sesungguhnya terlibat penuh dalam sejumlah aksi demonstrasi yang berhasil melengserkan Hosni Mubarak. Sedangkan kelompok islamis justru berada di baris belakang atau mungkin bahkan tidak keluar dari ”persembunyiannya”. Persis sebagaimana pernah dikatakan oleh salah satu tokoh gerakan salafi di Mesir, bila mereka keluar melakukan demonstrasi,bukan tidak mungkin pesawat tempur Mesir akan dikerahkan ke atas udara Alunalun Tahrir untuk menumpas para demonstran dengan dalih mengejar para teroris.
Kelompok islamis baru merangsek masuk ke barisan terdepan gerakan revolusi Mesir (termasuk Ikhwanul Muslimin) setelah Mubarak dinyatakan memundurkan diri dari kekuasaannya. Hingga akhirnya kelompok islamis tampil sebagai pemenang pemilu parlemen Mesir.Sedangkan kelompok nasionalis- liberal (termasuk para pemuda yang menjadi motor utama revolusi) justru mengalami kekalahan telak. Inilah yang sejak awal saya sebut sebagai ”revolusi angkot”.
Pada masa-masa awal mereka tampak kompak bersama-sama di dalam ”angkot revolusi” dan tidak mempersoalkan perbedaan ideologi yang ada. Namun, sesudah angkot sampai di tujuan, mereka justru saling serang untuk mendapatkan tujuan masing-masing. Itu sebabnya, bagi kelompok nasionalis-liberal, hasil pemilu Mesir mutakhir tak ubahnya buah simalakama.Hampir mustahil mereka menerima pemerintahan yang membawa agenda islamis.
Namun, tak mungkin juga mereka menolak hasil pemilu yang ada karena dilahirkan melalui proses yang demokratis. Di sini bisa dipahami bila pelbagai macam aksi demonstrasi mutakhir di Mesir tampak kehilangan orientasi.Baik dari segi sasaran maupun dari segi isu yang diperjuangkan. Pada suatu kesempatan, kelompok demonstran berhadapan dengan kelompok militer.
Namun,pada kesempatan yang berbeda mereka tidak jarang justru berhadapan dengan kelompok islamis yang dulu menjadi teman seperjuangan di dalam ”angkot revolusi”. Hingga akhirnya revolusi Mesir kerap menimbulkan prahara dan korban jiwa sampai sekarang. ●
Setidaknya demikian analisis kolumnis terkemuka Mesir, Abdul Mun’im Said, yang membagi pandangan masyarakat Mesir terkait prahara revolusi ke dalam tiga kelompok (Ash-Sharq Al-Awat, 1/2). Pertama, kelompok penyelamat (sikkatu as-salamah) yang diwakili militer Mesir sebagai lembaga negara satu-satunya yang mengambil alih tugas-tugas kenegaraan pascarevolusi (terlepas dari semua kekurangan yang ada).
Kedua, kelompok yang menyesal (sikkatu an-nadamah) karena menganggap kehidupan pascarevolusi lebih buruk dibanding era sebelumnya. Ketiga, kelompok tak berdaya karena semanis apa pun kehidupan di masa lalu tak akan bisa dikembalikan (allazi yazhab lam ya’ud). Kehidupan sosial politik Mesir pascarevolusi yang sarat dengan aksi kekerasan cukup menjadi alasan bagi pergeseran kebanggaan menjadi penyesalan sebagaimana di atas.
Baik kekerasan yang bernuansa keagamaan, sosial-politik atau bahkan pertandingan sepak bola seperti yang terjadi di Port Said yang berubah menjadi ajang pembantaian tidak lama ini. Pelbagai macam aksi kekerasan yang terjadi di Mesir pascarevolusi ditengarai oleh banyak pihak sebagai konspirasi politik (tak terkecuali tragedi Port Said mutakhir yang menewaskan 74 orang).
Setidaknya ada tiga pihak yang selama ini kerap dituding sebagai dalang dari pelbagai macam konspirasi politik di Mesir mutakhir. Pertama, militer dan loyalis Hosni Mubarak. Dalam persoalan aksi kekerasan di Port Said, contohnya, hampir semua pihak di Mesir mengarahkan ”telunjuknya” kepada militer dan loyalis Hosni Mubarak sebagai pihak yang berada di balik aksi kekerasan tersebut.
Suporter kesebelasan Al- Ahly (biasa dikenal dengan nama Ultras) yang menjadi korban dalam tragedi itu berperan cukup besar dalam sejumlah aksi demonstrasi yang berhasil menggulingkan Hosni Mubarak. Asumsinya, para loyalis Mubarak tidak rela membiarkan Mesir pascarevolusi menjadi tenteram dan aman.Apalagi kekuatan revolusi mendongkel kekuasaan Mubarak dengan cara yang dianggap sangat menyakitkan.
Terlebih lagi kekuatan revolusi saat ini memaksa Mubarak menjadi pesakitan di ruang pengadilan bersama semua perangkat medis dan ranjang dorongnya. Persis seperti kata pepatah, sekali dayung dua dan tiga pulau terlampaui.Dengan melakukan pelbagai macam aksi kekerasan, para loyalis Mubarak hendak membalas sakit hati mereka atas semua penderitaan yang saat ini dialami Mubarak, sekaligus menciptakan ”ruang rindu terlarang” seperti yang disampaikan Abdul Mun’im Said.
Hingga masyarakat Mesir menyesal atas semua situasi yang terjadi mutakhir (walaupun mereka sadar tidak mungkin bisa kembali pada situasi yang sudah berlalu). Militer Mesir kerap dianggap sebagai bagian dari loyalis Mubarak yang paling terorganisasi. Tidak semata-mata karena mereka bekas anak buah Mubarak. Lebih dari itu semua, pelbagai macam kebijakan Dewan Agung Militer Mesir kerap tidak mendukung bagi segera terbentuknya pemerintahan sipil Mesir yang demokratis.
Alih-alih, dengan pelbagai dalih, militer Mesir justru dianggap terus mengulur waktu peralihan kekuasaan kepada pemerintahan sipil. Dalam konteks seperti ini, tragedi Port Said sangat memperlihatkan peran dan kepentingan militer Mesir.Aksi kekerasan itu bisa dijadikan dalih berikutnya oleh militer Mesir untuk memperpanjang masa kekuasaannya.
Apalagi proses demokrasi di Mesir telah berhasil membentuk komposisi parlemen melalui pemilu yang diakui paling bersih di dunia Arab dan akan segera ”dihantamkan” melalui pemilu presiden yang menurut rencana akan dilaksanakan pada pertengahan tahun ini. Semua ini berarti kekuasaan militer Mesir akan segera berakhir (bila tidak diperpanjang karena alasan tertentu). Kedua, kelompok islamis yang berhasil menguasai hampir sepertiga dari kursi parlemen Mesir.
Baik kelompok islamis yang tergabung dalam koalisi Ikhwanul Muslimin melalui Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizbul Hurriyah wal-‘Adalah) maupun yang tergabung dalam koalisi Partai Nur Salafi (Hizbu an-Nur as-Salafiy). Sebagai pemenang pemilu, kelompok islamis sangat berkepentingan untuk mengawal perjalanan revolusi hingga berakhir dengan penyerahan kekuasaan dari militer.
Merekalah yang akan menjalankan pemerintahan Mesir ke depan. Itu sebabnya, kelompok islamis kerap menahan diri dan tidak terlibat dalam sejumlah aksi demonstrasi belakangan yang dianggap hanya akan mengganggu proses penyerahan kekuasaan. Termasuk aksi demonstrasi yang meminta militer menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil secepat mungkin (lebih cepat dari batas waktu yang telah diberikan militer sebagaimana di atas).
Dalam konteks seperti ini, pelbagai macam aksi kekerasan di Mesir mutakhir bisa dibaca dari perspektif kepentingan kelompok islamis di atas. Asumsinya, pelbagai macam kekerasan yang terjadi akan semakin membuat dewan militer terpojok. Apalagi mereka masih kerap dianggap sebagai bagian dari loyalis Mubarak sebagaimana telah disebutkan. Karena itu, militer Mesir tidak seharusnya bermain-main, apalagi mempermainkan kelompok islamis sebagai pemenang pemilu.
Apa pun dalihnya. Pesan ini penting disampaikan oleh kelompok islamis kepada pihak militer. Mengingat yang terakhir disebutkan di atas tampak berupaya mencampuri kekuasaan pemerintah Mesir terpilih mendatang atas nama menjaga konstitusi atau melindungi Mesir agar tidak menjadi negara agama. Ketiga,kelompok nasionalisliberal. Dalam konteks revolusi Mesir, kelompok nasionalisliberal bisa disebut sebagai pihak kedua yang tak kalah sakit hati dari para loyalis Mubarak.
Dikatakan demikian karena merekalah yang sesungguhnya terlibat penuh dalam sejumlah aksi demonstrasi yang berhasil melengserkan Hosni Mubarak. Sedangkan kelompok islamis justru berada di baris belakang atau mungkin bahkan tidak keluar dari ”persembunyiannya”. Persis sebagaimana pernah dikatakan oleh salah satu tokoh gerakan salafi di Mesir, bila mereka keluar melakukan demonstrasi,bukan tidak mungkin pesawat tempur Mesir akan dikerahkan ke atas udara Alunalun Tahrir untuk menumpas para demonstran dengan dalih mengejar para teroris.
Kelompok islamis baru merangsek masuk ke barisan terdepan gerakan revolusi Mesir (termasuk Ikhwanul Muslimin) setelah Mubarak dinyatakan memundurkan diri dari kekuasaannya. Hingga akhirnya kelompok islamis tampil sebagai pemenang pemilu parlemen Mesir.Sedangkan kelompok nasionalis- liberal (termasuk para pemuda yang menjadi motor utama revolusi) justru mengalami kekalahan telak. Inilah yang sejak awal saya sebut sebagai ”revolusi angkot”.
Pada masa-masa awal mereka tampak kompak bersama-sama di dalam ”angkot revolusi” dan tidak mempersoalkan perbedaan ideologi yang ada. Namun, sesudah angkot sampai di tujuan, mereka justru saling serang untuk mendapatkan tujuan masing-masing. Itu sebabnya, bagi kelompok nasionalis-liberal, hasil pemilu Mesir mutakhir tak ubahnya buah simalakama.Hampir mustahil mereka menerima pemerintahan yang membawa agenda islamis.
Namun, tak mungkin juga mereka menolak hasil pemilu yang ada karena dilahirkan melalui proses yang demokratis. Di sini bisa dipahami bila pelbagai macam aksi demonstrasi mutakhir di Mesir tampak kehilangan orientasi.Baik dari segi sasaran maupun dari segi isu yang diperjuangkan. Pada suatu kesempatan, kelompok demonstran berhadapan dengan kelompok militer.
Namun,pada kesempatan yang berbeda mereka tidak jarang justru berhadapan dengan kelompok islamis yang dulu menjadi teman seperjuangan di dalam ”angkot revolusi”. Hingga akhirnya revolusi Mesir kerap menimbulkan prahara dan korban jiwa sampai sekarang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar