Pembenaran
Mudji Sutrisno, BUDAYAWAN
Sumber
: SINDO, 4
Februari 2012
Pembenaran berasal dari kata
kunci kebenaran yang mengacu pada tindakan membenarkan diri
atau kelompok dengan argumentasi yang ditampilkan serasional
mungkin,selegal mungkin hingga mengesankan posisi si subjek atau
kelompoknya benarbenar “benar”.
Pertanyaannya apakahbetul “benar”ataudemi membela kepentingan diri dan kelompok,maka tampil seolaholah benar? Persoalan tindakan membenarkan diri muncul terutama bila menyangkut korban pelanggaran HAM yang tewas karena peluru atau tindakan kekerasan dalam posisi tidak seimbang antara pengunjuk rasa yang sudah melucuti senjatanya, tetapi tetap ditembak jarak dekat. Argumentasinya “sudah sesuai protap”. Tapi anak bangsa bernama manusia itu tewas oleh tindakan aparat yang seharusnya punya tugas melindungi dan menjadi mediator untuk perkelahian atau sengketa antara rakyat dan pengusaha atau antara rakyat petani dengan mereka yang bisa membayar ongkos untuk dimenangkan dalam sengketa.
Pembenaran dipasang seakan rasional, tetapi isinya membela kepentingan korps atau yang jadi kelompoknya. Mereka tidak pernah menempatkan diri pada posisi korban. Menjadi menarik ketika sudah jatuh korban nyawa,lalu “wacana janji mereka-mereka yang ada dalam tanggung jawab otoritas aparat”muncul dengan ungkapan “akan diusut sampai tuntas”. Lalu cepat pula diinformasikan bahwa sudah diperiksa secara internal sekian puluh yang terlibat untuk dicek apakah menyalahi peraturan dan prosedur?
Kita dilupakan,terutama akal sehat masyarakat Indonesia yang semakin kritis di alam demokrasi media dan politik ini,bahwa semuanya itu karena penyelidikannya internal, maka pastilah kepentingan internalnyalah yang dibela. Oleh karena itu secara fenomenal sekali, setiap tindakan pembenaran internal langsung secara dialektis demi kebenaran objektif memunculkan reaksi pembentukan tim-tim independen dari Komnas HAM,lalu dari DPR dan tim-tim pencari fakta (baca: kebenaran di lapangan dan bukan argumentasi pembenaran) untuk meneliti seobjektif mungkin.
Mengapa muncul tim-tim independen? Karena tewasnya anak bangsa dalam kondisi tidak seimbang yang satu berunjuk rasa dan satu semestinya melindungi protes itu ternyata satu kepentingan yang dibela, yaitu pemenangan pemodal dan bukan rakyat yang diayomi. Ke depan terus-menerus akan terjadi konflik segitiga power antara kutub negara, pemilik modal, dan paling terakhir kutub masyarakat warga Indonesia. Relasi ketiga kutub bisa dijadikan tolok ukur objektivitas kebenaran dengan pertanyaan nurani rasional objektif: kutub mana yang dibela dan mana yang dikorbankan?
Dalam bahasa politik ekonomi menang dan kalah,siapa yang dimenangkan dan siapa yang dikalahkan dan dijadikan korban? Di sinilah judul tebal tulisan ini mau menegaskan bahwa “pembenaran” adalah tindakan mengamankan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya dengan alasan- alasan yang tampaknya rasional tetapi “palsu”, yang kelihatannya logis tetapi menutupi kebohongan. Nilai sejati (value) dikalahkan oleh “kepentingan pembuat pembenaran”.
Kita sering lupa bahwa bangsa Indonesia ini ketika berdiri sebagai negara RI dan memilih hukum dan konstitusi sebagai dasar objektif untuk setiap sengketanya oleh para pendiri bangsa sudah didahului dalam pembukaan konstitusinya alinea keempat untuk memakai “musyawarah” sebagai upaya beradab. Unjuk kekuasaan kekuatan senjata untuk menghadapi setiap unjuk rasa melenceng dari nilai itu. Karena itu negara hukum didampingi dengan demokrasi memang menuntut kesabaran dialog dan proses panjang musyawarah.
Terlebih dalam kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang memang sulit rumit karena beda tingkat edukasi, ragam suku, agama, dan ragam pola pikir.Namun tetap satu yang esensial, yaitu mereka ini adalah manusia-manusia berharkat yang dalam agama merupakan ciptaan Tuhan, citra-Nya, khalifatullah yang dalam piagam HAM berbahasa “memiliki hak-hak asasinya sebagai manusia”. O l e h karena itu langkah bernalar tulus dengan dasar yang bukan prosedural tetapi asasi mendasar atau esensial mestilah menapaki tahap pertama p e r u n d i n g a n .
Dalam musyawarah inilah keterbukaan mau membuka kepentingan-kepentingan yang dibawa oleh yang bersengketa untuk didialogkan. Di sana tes uji kejujuran dukungan kuasa uang, modal atau melindungi rakyat yang tergusur dan selalu kalah menjadi taruhannya. Saya jadi teringat ketika beberapa tahun lalu menjadi anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan saudarasaudari Timor Leste soal kemanusiaan dan pelanggaranpelanggarannya. Ketika buntu di minggu-minggu pertama, lalu dibuatlah ice breaking process dengan membuka jujur kepentingan-kepentingan yang dibawa lalu bersekutu dalam satu kepentingan didasarkan nilai bersama, yaitu nilai rekonsiliasi.
Sebelum ini dibuat tidak pernah bisa dialog.Yang ada adalah saling membenarkan kepentingan masing-masing dan hujan pembenaran-pembenaran semu. Itu terjadi tanpa ketulusan untuk rendah hati mau mengakui kesalahan dan pelanggaran HAM serta pencarian ke depan to reconcile by forgiving although not fogetting. Langkah berikutnya,mempersilakan seluruh tim independen untuk berbagi penemuan sehingga kebenaran objektif semakin multidimensi dan tak hanya dari sudut pembenaran satu instansi, tetapi semua sudut.
Biarkan publik menilai melalui pers serta para wakilnya di DPR lalu simpulkan serta hadirlah “negara” yang bertanggung jawab untuk kompensasi kerugian materiil dan nonmateriil. Bila perlu ajari dengan keteladanan rela mengundurkan diri karena tanggung jawab sebagai pimpinan. Jangan biarkan bangsa besar ini tak pernah punya contoh kebesaran jiwa pemimpinnya yang rela mengundurkan diri karena berani menanggungi jawab tugasnya dan bukan hanya senang dan merasa amanah ketika hari pertama menjabat.
Kita butuh contoh seperti Rahmad Dharmawan, pelatih utama tim PSSI U-23 saat SEA Games.Dia contoh langka yang mau mundur karena merasa bertanggung jawab atas tugasnya. Dan yang terakhir, agar ke depanpembenaran-pembenaran yang memuakkan itu tidak selalu terjadi, harus ada UU agraria yang adil dalam konflik segitiga kekuatan modal, negara, serta kekuatan terbesar, yaitu masyarakat Republik Indonesia.
Acuan kebenaran objektifnya sudah disepakati dalam kitab suci Konstitusi bahwa kekayaan alam di negara RI digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar