Pekerjaan
Rumah Ketua Baru MA
Hifdzil
Alim, PENELITI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
Sumber
: KORAN TEMPO, 20
Februari 2012
Mahkamah Agung punya ketua baru. Mantan Ketua
Muda Pengawasan Mahkamah Agung Hatta Ali terpilih sebagai ketua baru lembaga
yang menjadi puncak lembaga peradilan itu. Hatta Ali terpilih menjadi ketua
setelah mengantongi 28 suara dari 54 suara Hakim Agung yang diperebutkan. Dia
mengalahkan kandidat Ketua MA lainnya, seperti Ahmad Kamil yang memperoleh 15
suara, Abdul Kadir Mappong (4 suara), Mohammad Saleh (3 suara), dan Paulus
Effendi Lotulung (1 suara). Ada tiga suara yang dinyatakan tidak sah (Tempo.co,
8 Februari 2012).
Banyak kalangan berharap terpilihnya Hatta
Ali sebagai Ketua MA mampu membawa lembaga hukum tersebut menjadi muara yang
menampung proses peradilan bersih dan berwibawa. Hanya, sepertinya tak mudah
bagi ketua baru MA asal Sulawesi Selatan itu mewujudkan MA sesuai dengan
harapan banyak kalangan. Pasalnya, ada banyak "pekerjaan rumah" di MA
yang belum kelar hingga sekarang.
Pekerjaan Rumah
Sebelum proses pilah-pilih ketua baru, MA
bukanlah lembaga peradilan yang dianggap bersih 100 persen. Banyak dugaan
masalah menerpa. Misalnya, soal tumpukan perkara hingga syak wasangka
terjeratnya MA oleh kelompok mafia hukum. Bahkan, sesaat sebelum perhelatan
pemilihan nakhoda baru, MA dihujani isu tak sedap. Kelompok mafia masuk dalam
serangkaian kegiatan pemilihan. Selentingan adanya prasangka jual-beli suara
untuk kursi Ketua MA dilontarkan oleh salah satu perkumpulan advokat. Duit
sebesar Rp 1-5 miliar untuk satu suara yang diperuntukkan bagi hakim agung yang
mau memilih kandidat tertentu disediakan oleh kelompok pemodal pendukung salah
satu calon.
Meski kebenaran sangkaan dari perkumpulan
advokat tersebut harus dibuktikan terlebih dulu, paling tidak sangkaan itu
menjadi catatan bahwa ada masalah serius yang sedang melanda MA. Kelompok mafia
hukum dan pemodal sedang mengepung MA. Selanjutnya, catatan buruk MA dalam
usaha pemberantasan tindak pidana korupsi terekam di benak publik. Sebab, MA
sudah berani membebaskan terdakwa korupsi dalam 40 perkara korupsi (www.mahkamahagung.go.id).
Dari sudut pandang sebagian besar masyarakat, membebaskan terdakwa korupsi
adalah dosa besar yang sulit diampuni.
Tak hanya di internal MA, sebagai muara dari
lembaga peradilan yang berwenang mengoreksi lembaga peradilan di bawahnya,
keberadaan beberapa jenjang lembaga peradilan di bawah koordinasi MA juga belum
beres. Sebut saja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pada 2011,
reputasi Pengadilan Tipikor di beberapa daerah anjlok gara-gara menerbitkan
putusan bebas bagi terdakwa korupsi.
Berdasarkan catatan, Pengadilan Tipikor
Surabaya membebaskan 21 terdakwa korupsi. Kemudian Pengadilan Tipikor Samarinda
menjatuhkan vonis bebas bagi 14 terdakwa korupsi. Dua kepala daerah dan satu
wakil kepala daerah diberi angin kebebasan oleh Pengadilan Tipikor Samarinda.
Adapun Pengadilan Tipikor Semarang sudah membebaskan dua terdakwa korupsi.
Aksi beberapa Pengadilan Tipikor yang membebaskan
para terdakwa korupsi tersebut diakui atau tidak telah mengancam runtuhnya
miniatur keberhasilan penegakan hukum antikorupsi yang sebelumnya didirikan
oleh Pengadilan Tipikor sendiri (Koran Tempo, 12 November 2011).
Sebenarnya, akibat yang lebih parah dari kerapnya Pengadilan Tipikor
membebaskan terdakwa korupsi adalah potensi lahirnya ketidakpercayaan publik
terhadap Pengadilan Tipikor.
Ketidakpercayaan publik akan memberi masalah
turunan berupa tindakan masyarakat yang akan main hakim sendiri. Berat rasanya
membayangkan tindakan main hakim sendiri dari masyarakat akan menimbulkan
keadaan yang chaos di mana-mana. Hukum negara tak lagi diakui. Rakyat
memilih jalan sendiri dalam menciptakan rasa keadilan. Jika sudah begini, lalu
apa artinya MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya? Beberapa hal buruk
di atas menjadi pekerjaan rumah bagi ketua baru MA. Hatta Ali perlu merumuskan
strategi yang jitu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah MA.
Turun Tangan
Ketua baru MA harus turun tangan menyelesaikan
pekerjaan rumah MA. Setidaknya ada empat langkah yang mesti diambil. Pertama,
membersihkan hakim nakal, baik hakim di lembaga peradilan di bawah MA--termasuk
hakim Tipikor di semua jenjang peradilan--maupun di lingkungan hakim agung
sendiri.
Program pembersihan hakim nakal tak boleh
hanya dijadikan pencitraan semata. Lagi pula, Hatta Ali, melalui pidato yang
dia sampaikan setelah terpilih, menjanjikan adanya hakim yang bersih di semua
lembaga peradilan. "Tak ingin lagi ada hakim yang melakukan penyimpangan,"
begitu ujarnya (Tempo.co, 8 Februari 2012).
Kedua, setelah menyapu bersih hakim agung di
MA dan hakim di lembaga peradilan di bawahnya, harus dibentuk sebuah sistem
integritas yang kuat bagi semua hakim dan diterapkan di semua jenjang lembaga
peradilan. Contohnya, apabila ada oknum hakim yang diduga saja menerima
bingkisan dari pihak beperkara ataupun penasihat hukumnya, atau dari pihak
lainnya, si oknum hakim tersebut harus dinonaktifkan sementara. Setelah
pemeriksaan dilakukan dan terbukti ada tindak pidana korupsi dari perilaku
oknum hakim itu, langkah memberhentikan permanen tak usah ragu diambil.
Pada konteks tersebut, membangun hubungan
kelembagaan dengan Komisi Yudisial dan penegak hukum lainnya dalam melakukan
pengawasan terhadap hakim mau tak mau harus diperkuat. Jangan lagi ada sentimen
kelembagaan. Bukankah pengawasan akan lebih mudah dilaksanakan apabila ada
banyak mata yang dilibatkan?
Ketiga, khusus bagi hakim Tipikor, perlu
diadakan rekrutmen hakim Tipikor dengan transparan dan akuntabel. Capaian yang
ingin diraih adalah mendapatkan kualitas hakim Tipikor, bukan kuantitas.
Simetris dengan langkah ini, pilihan moratorium pembentukan Pengadilan Tipikor
di 458 kabupaten/kota menjadi pilihan yang rasional.
Untuk sementara, kinerja Pengadilan Tipikor
yang sudah dibentuk di 33 ibu kota provinsi hendaknya digenjot dengan serius.
Jika sudah tampak keberhasilannya, tak ada salahnya mempercepat pembentukan
Pengadilan Tipikor di semua daerah. Strategi ini akan membawa dua dampak secara
bersamaan: menghemat anggaran dan menemukan hakim Tipikor yang berkualitas.
Keempat, last but not least, membuat
amar putusan yang adil dan menjunjung tinggi nurani masyarakat adalah langkah
yang dapat mendekatkan MA ke publik. Sekaligus langkah ini akan menjadi bukti
bahwa MA memang sudah mulai berhasil menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar