Obsesi
Nilai Tambah
Haryo Aswicahyono, PENELITI EKONOMI
CENTRE
FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES
Sumber
: KOMPAS, 16
Februari 2012
Akhir-akhir ini semakin gencar wacana tentang
perlunya Indonesia menerapkan strategi mengejar nilai tambah.
Sebetulnya ini bukan wacana baru, 20 tahun
silam dalam dialog pembangunan di Cides, BJ Habibie sudah menyarankan agar
Indonesia menerapkan strategi pembangunan berdasarkan nilai tambah dengan
orientasi teknologi dan industri.¹
Yang lebih mutakhir, Hatta Rajasa rajin
menyerukan bahwa sekarang saatnya pelaku usaha Indonesia tidak lagi mengekspor
bahan baku, tetapi menjadikan bahan baku itu sebagai barang industri yang
bernilai tambah (Antaranews, 28 Januari 2012).
Obsesi mengejar nilai tambah ini diwujudkan
dalam berbagai kebijakan berbentuk insentif dan disinsentif yang pada dasarnya
”memaksa” pengusaha mempercepat proses mengejar nilai tambah. Tulisan ini
sepakat dengan tujuan yang disampaikan Habibie dan Hatta. Sepakat Indonesia
perlu mengatasi ketertinggalan dalam teknologi dan meningkatkan nilai tambah.
Namun, tulisan ini bersikap kritis dan menyampaikan strategi alternatif untuk
mencapai tujuan tersebut.
Nilai tambah menurut definisi adalah selisih antara
seluruh penerimaan perusahaan dikurangi pengeluaran untuk barang dan jasa
antara dan bahan baku yang dibeli dari luar perusahaan tersebut. Biasanya nilai
tambah ini dibagi menjadi dua komponen: upah yang diberikan kepada buruh dan
keuntungan yang diberikan kepada (pemilik) modal.
Semakin berketerampilan buruh yang mengolah
bahan baku dan kian besar modal yang digunakan dalam proses produksi, kian
besar nilai tambah yang dihasilkan perusahaan atau industri. Berdasarkan data
tabel Input-Output 2005 BPS, misalnya, nilai tambah per pekerja di industri
kimia 276 kali lipat di pertanian padi dan 10 kali lipat di industri tekstil,
pakaian jadi dan penyamakan kulit.
Dari sisi kebutuhan modal per pekerja,
industri kimia 30 kali lebih padat modal dibandingkan sektor pertanian dan
delapan kali lebih padat modal dibandingkan industri tekstil, pakaian jadi dan
penyamakan kulit. Singkat kata, industri atau sektor yang bernilai tambah
tinggi adalah sektor yang secara relatif padat modal fisikal dan/atau padat
modal insani.
Pilihan
Strategi
Tanpa investasi baru, meningkatkan nilai
tambah suatu industri berarti merealokasikan sumber daya dari sektor bernilai
tambah rendah ke sektor bernilai tambah tinggi. Merealokasikan sumber daya dari
sektor padat tenaga kerja nirterampil ke sektor lebih padat modal dan/atau
padat tenaga kerja terampil.
Sebagai ilustrasi, kita lihat implikasi
realokasi sumber daya dari perkebunan kelapa sawit ke industri pengolahan
kelapa sawit. Menurut tabel Input-Output, industri pengolahan kelapa sawit 10
kali lebih padat modal dibandingkan perkebunan kelapa sawit. Jadi, setiap
realokasi satu unit modal dari perkebunan kelapa sawit ke industri pengolahan
kelapa sawit akan ”melepas” 10 buruh dari perkebunan kelapa sawit. Sementara
hanya satu buruh yang diperlukan industri pengolahan kelapa sawit, sembilan
lainnya akan menganggur.
Ditambah lagi karena setelah realokasi
ekonomi tidak lagi full employment, ada sumber daya yang menganggur, maka total
nilai tambah yang dihasilkan akan lebih rendah dibandingkan jika tidak terjadi
realokasi.
Bagaimana jika peningkatan nilai tambah
dilakukan melalui investasi baru bukan melalui realokasi sumber daya?
Pertanyaannya akan tetap sama: mengapa investasi baru digelar di industri
pengolahan kelapa sawit yang padat modal, bukan di perkebunan sawit yang
penyerapan tenaga kerja 10 kali lipat lebih banyak?
Jika kita terpaku hanya pada aspek penyerapan
tenaga kerja, bukankah Indonesia akan terjebak dalam keterbelakangan dan
terus-menerus hanya menghasilkan barang dengan nilai tambah rendah dan
teknologi sederhana? Jawabannya tidak.
Bayangkan jika Indonesia bisa terus-menerus
meningkatkan investasinya secara cepat. Dalam waktu tak terlalu lama tenaga
kerja akan terserap habis sehingga tenaga kerja jadi langka di pasar tenaga kerja.
Di tengah kelangkaan tenaga kerja ini upah buruh akan terdorong naik.
Memproduksi barang padat tenaga kerja tak lagi menguntungkan dan pada
gilirannya pengusaha akan menyesuaikan diri dengan bergeser ke industri padat
modal atau tenaga ahli.
Dengan kata lain, jika investasi tumbuh
pesat, secara natural, Indonesia akan bergeser ke industri bernilai tambah
lebih tinggi. Bedanya dengan strategi yang diusulkan Habibie dan Hatta,
strategi ini meningkatkan nilai tambah secara bertahap, tanpa picking winner,
dan tetap menjaga ekonomi dalam kondisi full employment. Jangan lupa, Indonesia
pernah sukses menerapkan strategi di atas. Pertumbuhan pesat sektor padat karya
yang terjadi sejak 1986 sampai sebelum krisis 1998 telah menyerap jutaan tenaga
kerja.
Chris Manning dalam tulisannya ”Lessons from
Labor Adjustment to the East Asian Crisis: The Case of South Korea, Thailand
and Indonesia” menunjukkan, sebelum krisis 1998, Indonesia sudah memasuki era
langka tenaga kerja. Seandainya tak terjadi krisis, peningkatan nilai tambah
secara natural ini akan terjadi dengan sendirinya.
Dengan terjadinya krisis, ekonomi kembali
berkelimpahan tenaga kerja. Namun, bukan berarti kita lantas harus meninggalkan
tugas penyerapan tenaga kerja dengan bergeser ke strategi penargetan industri
pencipta nilai tambah. Sebaliknya, Indonesia harus bekerja dua kali lebih keras
dalam usaha menciptakan lapangan kerja. Sayangnya, kebijakan tenaga kerja yang
rigid dan upah minimum yang tinggi justru telah memenuhi saran kebijakan
peningkatan nilai tambah di atas. Industri padat modal bernilai tambah tinggi
yang berkembang setelah krisis, tetapi daya serap tenaga kerja rendah.
Peran
Pemerintah
Lantas apa peran pemerintah? Pertama,
mengingat kesuksesan strategi peningkatan nilai tambah tergantung seberapa
cepat Indonesia bisa sampai pada era kelangkaan tenaga kerja, strategi yang
tepat adalah mempercepat investasi yang mampu menyerap sebanyak-banyaknya
tenaga kerja. Pemerintah menciptakan iklim investasi yang baik sehingga
pengusaha akan berlomba investasi tanpa perlu diatur ke sektor mana harus
berinvestasi.
Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur
dapat mendorong percepatan penyerapan tenaga kerja mengingat infrastruktur pada
umumnya sektor yang padat karya, dan pada saat yang sama menciptakan iklim
investasi yang baik. Ketiga, nilai tambah tinggi juga terkait penyediaan sumber
daya manusia yang mumpuni. Untuk itu, perlu kebijakan pendidikan dan kesehatan
yang baik. Singkat kata, pemerintah perlu kembali fokus pada kompetensi inti
menyediakan barang publik berkualitas, yaitu menciptakan iklim usaha dan
investasi yang sehat, penyediaan infrastruktur yang berkualitas, dan pembangun
sumber daya manusia melalui perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Kebijakan jenis ini yang akan mengantar jutaan wiraswasta untuk terus-menerus
meningkatkan nilai tambah produksi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar