Kualitas
Guru dan Potret Pendidikan
Darwis SN, ALUMNUS UNIVERSITY OF ADELAIDE AUSTRALIA
Sumber
: SUARA KARYA, 3
Februari 2012
Tersedianya guru berkualitas menjadi salah satu tantangan terbesar
dunia pendidikan saat ini. Oleh karena itu, pemerintah diminta membuat
kebijakan nasional yang menjamin tersedianya guru berkualitas dan meningkatkan kesejahteraan
dan kondisi kerja guru. Desakan dunia untuk meningkatkan kualitas guru, sosok
yang berperan penting dalam pencapaian pendidikan bermutu bagi semua orang atau
education for all (EFA), pernah disuarakan dalam pesan bersama Dirjen UNESCO,
ILO, UNDP, Unicef dan Presiden Pendidikan Internasional.
Berbagai analisa menyimpulkan bahwa akar utama persoalan ini
adalah rendahnya kualitas guru. Barisan para guru Indonesia tidak diisi oleh orang-orang
berkualitas yang dimiliki bangsa ini. Dahulu banyak orang menghindar dari
profesi guru karena tidak membanggakan dan menjamin masa depan. Kalangan cerdas
dan jenius lebih memilih bidang yang menjanjikan masa depan cerah seperti
kedokteran, teknik, hubungan internasional, bahkan entertainer. Lulusan
non-kependidikan yang tertarik menjadi guru dengan mengambil program akta
mengajar juga bukan lulusan terbaik. Umumnya, mereka putar haluan menjadi guru
karena sulitnya mencari pekerjaan.
Kini, nasib guru sudah jauh lebih diperhatikan pemerintah. Antara
lain, diwujudkan dalam gaji dan tingkat kesejahteraan guru yang terbilang
memadai. Namun, karena putaran generasinya masih sama, yakni guru-guru yang
lahir karena putar haluan tadi, maka peningkatan kesejahteraan ternyata tak
serta-merta mengubah profesionalisme guru.
Upaya pemerintah untuk menjawab tantangan kualitas guru di
Indonesia salah satunya berbentuk kebijakan perlunya sertifikasi guru.
Kebijakan ini mengharuskan para guru TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan sekolah luar
biasa dari SD hingga SMA untuk mengikuti uji kompetensi. Dengan diperolehnya
sertifikat pendidik, para guru yang sudah memiliki kualifikasi akademik, yaitu
berijazah S-1 atau memiliki Akta IV itu, dinyatakan sebagai guru profesional.
Guru yang profesional harus menguasai empat kompetensi. Pertama,
kepribadian guru. Seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik yang bisa
diteladani para muridnya, sehingga guru menjadi teladan, bukan sebaliknya.
Kedua, Sosial. Seorang guru harus memiliki sifat sosial yang tinggi, mereka
akan peka terhadap lingkungannya, mulai di lingkungan sekolah, masyarakat dan
dimana mereka bertugas, termasuk peka terhadap kondisi sosial anak maupun
masyarakat.
Ketiga, pedagogik. Keempat, profesional. Seorang guru harus
profesional di bidangnya, mereka harus mengajar sesuai bidang keilmuan yang
dimilikinya, sehingga ketika mengajar atau memberikan pesan-pesan kepada para
siswa tercapai sesuai yang diharapkan. Kurikulum, sarana dan prasarana yang
terpenuhi, namun kalau guru tidak berkualitas, apa artinya?
Terkait uji kompetensi untuk menunjukkan profesionalisme seorang
guru, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, ternyata
para guru yang terjaring banyak di antaranya "wajah baru" di daerah
masing-masing. Adapun guru-guru yang selama ini berstatus guru inti, guru
berprestasi, guru kreatif, guru yang rajin menulis karya ilmiah, pengelola MGMP
di daerah tidak terjaring.
Di satu sisi hasil ini cukup membanggakan secara pribadi karena
ada anggapan guru yang terjaring berarti memiliki kemampuan merata baik dalam
penguasaan bahan ajar, metodologi, didaktika, pedagogik, psikologi pendidikan,
maupun filsafat pendidikan sesuai cakupan materi uji kompetensi. Namun, di sisi
lain, benarkah mereka yang selama ini berprestasi tidak mampu menghadapi uji
kompetensi itu?
Kedua. Ada beberapa guru yang terjaring lewat uji kompetensi ini
tidak sesuai latar belakang pendidikan atau kualifikasi akademiknya. Misalnya,
kualifikasi akademiknya jurusan Geografi terjaring dalam kelompok mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Latar belakang Pendidikan Seni Rupa terjaring dalam
kelompok mata pelajaran Sejarah. Timbul pertanyaan seberapa tinggikah kualitas
instrumen uji kompetensi itu sehingga dapat diterobos oleh guru mata pelajaran
lain?
Ketiga. Mungkin hal ini yang lebih parah. Ada pengakuan beberapa
rekan yang terjaring. Sebenarnya mereka merasa tidak memiliki kemampuan dan
menguasai materi uji kompetensi itu.
Bagaimana bisa terjaring? Ternyata, selain faktor keberuntungan,
ditengarai pelaksanaan dan proses uji kompetensi itu banyak terjadi kecurangan.
Kecurangan itu dalam bentuk kerja sama, saling menyontek, atau membuka buku
sumber. Hal ini sangat mudah terjadi karena soal uji kompetensi yang diujikan
berbentuk multiple choice dengan empat opsi. Itulah kejanggalan-kejanggalan uji
kompetensi penjaringan calon instruktur PTBK. Sekarang timbul pertanyaan,
apakah uji kompetensi untuk proses sertifikasi juga akan seperti itu?
Tentu kita berharap pemerintah serius melaksanakannya. Tanpa keseriusan,
mereka yang tak berkompeten, tak berkualitas, dan tak berhak tidak bakal
memperolehnya sertifikat itu. Hal itu dengan mempertimbangkan dua alasan.
Pertama, sekalipun wajib diikuti setiap guru, sertifikasi ini juga merupakan
bagian dari upaya mencapai tujuan pendidikan nasional. Kedua, implikasi uji
kompetensi dalam proses sertifikasi ini adalah meningkatnya pendapatan guru
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru.
Cermat atau valid maksudnya instrumen uji kompetensi mampu
menentukan guru yang memang benar-benar layak untuk memperoleh sertifikat
pendidik sebagai guru profesional. Dikatakan demikian karena memang yang
bersangkutan cakap atau kompeten sebagai pendidik. Dengan demikian, model uji
kompetensi yang dikembangkan bukan hanya untuk menguji, melainkan sebagai
bagian dari upaya pembinaan dan pengembangan sehingga para guru layak
menyandang sertifikat guru profesional versi sertifikasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar