Jika
Iran Diserang
Muhammad Ja’far, PENGAMAT TIMUR TENGAH; PENELITI INDOPOL RESEARCH CENTER
Sumber
: KORAN TEMPO, 2
Februari 2012
Ibarat
balon, potensi krisis yang kini melanda Amerika Serikat dan Eropa semakin
menggelembung. Menyerang Iran secara militer, dengan tuduhan pengembangan
senjata nuklir, bisa menjadi peniti peletusnya. Dan dentuman pecahan balon
(efek krisis) akan terdengar di seantero global, termasuk Asia.
Kini,
isu nuklir Iran semakin panas. Negara-negara Eropa menjatuhkan sanksi embargo
minyak ke Iran. Langkah ini ditujukan untuk menekan Iran secara ekonomi, agar
bisa melunak di tingkat negosiasi politik. Bahkan muncul opsi tentang serangan
militer ke Iran, meski opsi ini belum menguat. Namun Iran menjawab tekanan itu
dengan menunjukkan betapa pentingnya peran Iran sebagai salah satu penyuplai
kebutuhan minyak dunia, termasuk suplai ke negara-negara Eropa.
Sebagai
gambaran, 30 persen kebutuhan minyak domestik Yunani diimpor dari Iran. Saat
ini, ekonomi Yunani sedang sekarat. Terhentinya suplai minyak Iran ibarat
dicabutnya “slang oksigen”. Yunani akan kolaps. Lebih dari itu, jika Iran
benar-benar menutup Selat Hormuz sebagai bentuk perlawanan, rembetan krisis
semakin menjalar luas, karena 20 persen konsumsi minyak mentah dunia melewati
selat itu.
Meski
Arab Saudi menjamin akan mensubstitusi kebutuhan minyak yang hilang akibat
penutupan Selat Hormuz dan tindakan militer akan segera dikerahkan untuk
membuka kembali Hormuz, pasar minyak akan telanjur panik. Harga akan terkerek
di atas US$ 100 per barel. Efeknya, instabilitas ekonomi global. Sekadar
ilustrasi, jika harga minyak menyentuh titik US$ 150 per barel, subsidi bahan
bakar minyak yang harus dikeluarkan pemerintah Indonesia sebesar Rp 200
triliun.
Kancah
Politik
Kita
tahu, ilmu pengetahuan tidak netral. Ada kuasa di dalamnya. Baik dalam
mengkonstruksikan konsepsinya maupun mendayagunakan hasilnya. Diskursus nuklir
adalah bukti otentik. Di kancah politik, ambivalensi nuklir terang sekali.
Apalagi ditambah dengan karut-marut pola komunikasi politik dan strategi
diplomasi. Kancah politik menyibak tirai klaim obyektivitas sains. Bahwa itu
tak lebih dari ekspresi subyektivitas hegemoni sebuah nalar (Barat) di atas
inferiorisasi nalar yang lain (Timur).
Amerika
Serikat, Eropa, dan Israel semakin kuat menekan Iran untuk menghentikan program
nuklirnya, atas tuduhan bertujuan militer. Sedangkan Iran sendiri menegaskan
tujuan damai dari program nuklirnya itu. Dalam politik, obyektivitas memang
sulit ditemukan. Kepentingan disepakati sebagai “subyektivitas yang paling
obyektif”. Tapi setidaknya ada ukuran-ukuran yang bisa dijadikan sebagai
standar moral dan etik.
Pertama,
secara faktual, ada beberapa negara yang secara pasti memiliki senjata nuklir,
termasuk Israel. Tentu menimbulkan “irasionalitas” tersendiri jika serangan
militer terhadap Iran dinisbatkan pada argumentasi: menciptakan tata keamanan
dan perdamaian global. Ini lebih kepada persoalan superioritas dan inferioritas
kekuasaan dalam tata hubungan politik global.
Kedua,
tuduhan penggunaan senjata pemusnah massal yang menjadi landasan keputusan
invasi ke Irak pada 2003 tidak pernah terbukti secara ilmiah dan konkret hingga
saat ini. Tuduhan itu menjadi “mitos ilmiah” dalam laboratorium kekuasaan.
Fenomena itu membuktikan adanya jarak antara sains dan politik. Terjadi praktek
politisasi ilmu(wan) atau “saintifikasi” politik. Ilmu(wan) digunakan untuk
melegitimasi keputusan politik. Sebaliknya, sebuah keputusan politik diklaim
memiliki basis argumentasi ilmiahnya (sains). Ada kuasa dalam ilmu. Ada ilmu
yang merasuk dalam kekuasaan. Di sini, politik menyingkap secara jelas klaim
obyektivitas dan netralitas ilmu pengetahuan sebagai sebuah mitos.
Ketiga,
soal nuklir Iran menunjukkan adanya jarak antara prinsip politik dan
pragmatisme ekonomi yang terjadi dalam tatanan relasi global saat ini. Larangan
kepada berbagai negara untuk mengimpor minyak dari Iran menjadi strategi
politis untuk menekan negeri itu. Mengucilkan Iran secara ekonomi diharapkan
bisa meluluhkan diplomasi politiknya. Tapi, problematisnya, tingkat
ketergantungan “bangunan ekonomi global” pada hasil minyak negara Timur Tengah,
salah satunya Iran, sangat tinggi. Ibarat permainan tali-temali ala koboi,
sanksi embargo minyak Iran akan menjerat laju ekonomi banyak negara, termasuk
AS dan Eropa sendiri.
Selain
itu, historisitas politik Iran sangat tidak asing dengan tindakan represi
politik dan isolasi ekonomi. Satu tahun setelah berdirinya, negara Islam Iran
sudah digempur oleh Saddam Husein. Setelah masa itu, Iran juga tumbuh dalam
jeratan sanksi embargo ekonomi. Namun Iran dapat bertahan. Jadi, historisitas
politik membuat negeri itu memiliki imunitas tersendiri terhadap tekanan
politik dan embargo ekonomi. Kesimpulannya, jika serangan militer terhadap Iran
dimaksudkan untuk tujuan ini, tidak akan terjamin efektivitasnya. Malah berefek
pada lingkup global.
Risiko
Serangan
Sebaliknya,
serangan ke Iran memiliki risiko besar pada politik luar negeri dan ekonomi
Negeri Abang Sam, Eropa, dan Israel sendiri. Cina dan Rusia, meskipun tidak
akan sepenuhnya menunjukkan dukungan kepada Iran, tentu berharap serangan itu
akan menyita cukup banyak energi politik dan militer Amerika Serikat. Semakin
meneguhkan era transisional menuju semakin superiornya Cina.
Serangan
ke Iran akan membuat Eropa, yang sedang membenahi ekonomi dalam negerinya,
terbelah konsentrasinya. Akan ada alokasi dana baru untuk kepentingan militer
di tengah resesi keuangan yang melanda. Sementara itu, untuk Israel, serangan
ini memang dapat memperluas radius rasa amannya yang selama ini terganggu oleh
pertumbuhan kekuatan Iran.
Namun,
pada sisi yang lain, keuntungan ini harus dibayar mahal dengan kemungkinan
masifnya serangan balik militer Iran ke beberapa jantung pertahanan dan kota
Israel. Bagi negara Israel yang selama ini sangat menekankan “psikologi
stabilitas”, kondisi seperti itu akan menjadi yang paling parah dalam rentang
sejarah politiknya. Apalagi, posisi dan daya tawar politik Israel masih
“goyang” seiring dengan pergantian kekuasaan di Mesir, Tunisia, Libya, dan
Yaman. Ini bukan saat yang tepat bagi Israel untuk terlibat dalam sebuah
perang.
Sementara
itu, Iran sendiri memiliki daya tawar politik tinggi dan pengaruh kuat di
beberapa negara ini: Lebanon, Suriah, Irak, dan Bahrain. Pemerintah Bahrain
masih sibuk meredam gejolak revolusi yang potensial menaikkan kelompok Syiah ke
kekuasaan. Sedangkan di Irak, faksi politik pro-Iran adalah mayoritas. Walaupun
tidak memberikan dukungan langsung, Lebanon dan Suriah akan berada di belakang
Iran. Semua ini memberikan kekuatan moral politis bagi Iran.
Walhasil,
serangan ke Iran penuh risiko. Bukan menyelesaikan masalah, keputusan ini
justru semakin meremukkan tata politik global dan menghantam ekonomi AS dan
Eropa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar