Isteri
Sah v Putusan MK soal Machica
Augustinus Simanjuntak, DOSEN
PROGRAM MANAJEMEN BISNIS
FE UNIVERSITAS KRISTEN PETRA, SURABAYA
Sumber
: JAWA POS, 20
Februari 2012
PUTUSAN
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-IX Tahun 2011 memberikan harapan baru
bagi sebagian kaum perempuan. Menurut MK, anak yang lahir di luar kawin
memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya dengan syarat sudah terbukti
melalui kajian ilmu pengetahuan, teknologi, atau alat bukti yang diatur dalam
perundang-undangan. Dengan begitu, perempuan yang merasa dirinya sebagai korban
hubungan gelap bisa menuntut tanggung jawab perdata kepada lelaki yang
memberinya anak di luar kawin.
Putusan itu merupakan jawaban atas uji materi terhadap pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan artis dangdut Machica Mochtar. Pasal tersebut mengatur bahwa anak yang dilahirkan di luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Padahal, Machica yang menikah siri (di luar pengetahuan negara) dengan Moerdiono (menteri di era Orde Baru) pada 20 Desember 1993 telah mempunyai seorang anak bernama M. Iqbal Ramadhan, tapi tak diakui Moerdiono.
Dengan demikian, selain hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya, anak yang lahir di luar kawin kini memiliki hubungan perdata dengan ayah biologis plus keluarga ayahnya itu. MK berpandangan bahwa secara alamiah perempuan tidak mungkin hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa melalui hubungan seksual (atau cara lain) yang menimbulkan pembuahan. Tidak adil jika hukum membebaskan tanggung jawab ayah biologis terhadap anak yang dihasilkannya.
Sekilas putusan MK itu seolah menghargai hak asasi anak di luar kawin. Namun, sesuai dengan teori John Rawls, apakah putusan MK tersebut sudah membawa keadilan bagi semua pihak dalam setiap kasus hubungan gelap yang menghasilkan anak di luar kawin? Apakah MK sudah menimbang rasa keadilan bagi istri sah dan anak yang sah si suami serong itu? Itu menyangkut keadilan batin anggota keluarga yang sah. Lagi pula, pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan hanya mempertegas ketentuan BW (Burgerlijk Wetboek) atau Kitab UU Hukum Perdata yang mengatur anak di luar kawin.
Menurut pasal 285 BW, seorang anak bisa berstatus anak di luar kawin jika ayahnya mengakuinya sebagai anak di luar kawin. Artinya, mendapatkan status anak di luar kawin ternyata tidak mudah karena terkait dengan perasaan serta hak-hak perdata dari istri maupun anak yang sah.
Istri gelap merupakan istri yang tidak sah sehingga anaknya pun dianggap tidak memiliki ayah yang sah. Karena itu, BW dan UU Perkawinan mengatur bahwa anak yang diakui secara biologis hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Andai salah satu orang tua yang kawin secara sah mengakui keberadaan anak di luar kawin itu, pertalian kekeluargaannya pun hanya antara si anak tersebut dan orang yang mengakuinya, bukan dengan semua keluarga dari perkawinan yang sah (vide pasal 280 BW).
Pengakuan itu juga tidak membuat si anak serta-merta berhak mendapatkan hak-hak perdata atau harta warisan dari perkawinan yang sah. BW dengan ketat melindungi istri dan anak yang sah. Sebab, secara moral, itulah tugas mulia dari negara. Negara tidak boleh merugikan keberadaan hubungan keluarga yang sah (perasaan dan hak-hak perdatanya) dan dilegitimasi negara "hanya" demi anak di luar kawin.
Secara filosofis-etis, negara (termasuk MK) seharusnya mendukung perlindungan atas keluarga yang sah dengan menghukum setiap hubungan gelap secara perdata. Sebab, hubungan gelap itu telah merendahkan kesakralan dan kehormatan perkawinan. Hubungan gelap itu saja sudah melukai perasaan istri dan anak yang sah, apalagi harus dipaksa untuk mengakui anak di luar kawin sebagai bagian dari keluarganya. Itu tidak adil.
Kecuali, lewat suatu proses waktu yang panjang, keluarga yang sah tersebut akhirnya (dengan kesadaran sendiri) mengakui anak di luar kawin itu sebagai bagian dari keluarganya dan disahkan negara. Tapi, menurut pasal 285 BW, pengakuan anak di luar kawin yang telah disahkan tidak boleh merugikan istri atau suami dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. BW tetap membatasi hak-hak perdata si anak di luar kawin. Misalnya, menurut pasal 863 BW, untuk anak di luar kawin yang mewaris dengan ahli waris golongan I (anak dan istri sah), bagiannya ialah sepertiga bagian anak yang sah.
Apakah MK sudah menimbang sampai bagian itu? ●
Putusan itu merupakan jawaban atas uji materi terhadap pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan artis dangdut Machica Mochtar. Pasal tersebut mengatur bahwa anak yang dilahirkan di luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Padahal, Machica yang menikah siri (di luar pengetahuan negara) dengan Moerdiono (menteri di era Orde Baru) pada 20 Desember 1993 telah mempunyai seorang anak bernama M. Iqbal Ramadhan, tapi tak diakui Moerdiono.
Dengan demikian, selain hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya, anak yang lahir di luar kawin kini memiliki hubungan perdata dengan ayah biologis plus keluarga ayahnya itu. MK berpandangan bahwa secara alamiah perempuan tidak mungkin hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa melalui hubungan seksual (atau cara lain) yang menimbulkan pembuahan. Tidak adil jika hukum membebaskan tanggung jawab ayah biologis terhadap anak yang dihasilkannya.
Sekilas putusan MK itu seolah menghargai hak asasi anak di luar kawin. Namun, sesuai dengan teori John Rawls, apakah putusan MK tersebut sudah membawa keadilan bagi semua pihak dalam setiap kasus hubungan gelap yang menghasilkan anak di luar kawin? Apakah MK sudah menimbang rasa keadilan bagi istri sah dan anak yang sah si suami serong itu? Itu menyangkut keadilan batin anggota keluarga yang sah. Lagi pula, pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan hanya mempertegas ketentuan BW (Burgerlijk Wetboek) atau Kitab UU Hukum Perdata yang mengatur anak di luar kawin.
Menurut pasal 285 BW, seorang anak bisa berstatus anak di luar kawin jika ayahnya mengakuinya sebagai anak di luar kawin. Artinya, mendapatkan status anak di luar kawin ternyata tidak mudah karena terkait dengan perasaan serta hak-hak perdata dari istri maupun anak yang sah.
Istri gelap merupakan istri yang tidak sah sehingga anaknya pun dianggap tidak memiliki ayah yang sah. Karena itu, BW dan UU Perkawinan mengatur bahwa anak yang diakui secara biologis hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Andai salah satu orang tua yang kawin secara sah mengakui keberadaan anak di luar kawin itu, pertalian kekeluargaannya pun hanya antara si anak tersebut dan orang yang mengakuinya, bukan dengan semua keluarga dari perkawinan yang sah (vide pasal 280 BW).
Pengakuan itu juga tidak membuat si anak serta-merta berhak mendapatkan hak-hak perdata atau harta warisan dari perkawinan yang sah. BW dengan ketat melindungi istri dan anak yang sah. Sebab, secara moral, itulah tugas mulia dari negara. Negara tidak boleh merugikan keberadaan hubungan keluarga yang sah (perasaan dan hak-hak perdatanya) dan dilegitimasi negara "hanya" demi anak di luar kawin.
Secara filosofis-etis, negara (termasuk MK) seharusnya mendukung perlindungan atas keluarga yang sah dengan menghukum setiap hubungan gelap secara perdata. Sebab, hubungan gelap itu telah merendahkan kesakralan dan kehormatan perkawinan. Hubungan gelap itu saja sudah melukai perasaan istri dan anak yang sah, apalagi harus dipaksa untuk mengakui anak di luar kawin sebagai bagian dari keluarganya. Itu tidak adil.
Kecuali, lewat suatu proses waktu yang panjang, keluarga yang sah tersebut akhirnya (dengan kesadaran sendiri) mengakui anak di luar kawin itu sebagai bagian dari keluarganya dan disahkan negara. Tapi, menurut pasal 285 BW, pengakuan anak di luar kawin yang telah disahkan tidak boleh merugikan istri atau suami dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. BW tetap membatasi hak-hak perdata si anak di luar kawin. Misalnya, menurut pasal 863 BW, untuk anak di luar kawin yang mewaris dengan ahli waris golongan I (anak dan istri sah), bagiannya ialah sepertiga bagian anak yang sah.
Apakah MK sudah menimbang sampai bagian itu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar