Beda
‘Rukun’, Tapi Bisa Rukun
(Tanggapan untuk Haidar Bagir)
Mohammad Baharun, KETUA KOMISI HUKUM MUI PUSAT,
GURU BESAR SOSIOLOGI AGAMA
Sumber : REPUBLIKA, 3 Februari 2012
GURU BESAR SOSIOLOGI AGAMA
Sumber : REPUBLIKA, 3 Februari 2012
Judul
ini saya gunakan secara sengaja untuk menegaskan perbedaan Islam Sunnah dan
Syiah yang sejatinya bersifat prinsip serta menyangkut rukun (akidah) umat.
Namun, demikian bisa diharapkan untuk diusahakan rukun demi menciptakan
Indonesia yang aman, penuh kedamaian, dan bebas keresahan.
Untuk
menanggapi tulisan kedua Sdr Haidar Bagir (Republika, 27-01-2012), perlu saya
jelaskan beberapa hal. Pertama, Sdr Haidar memaparkan hal yang tidak ada
kaitannya dengan tahrif, dan berusaha mengaburkan masalah dengan memberikan
kesan seakan baik Sunnah maupun Syiah mempunyai pandangan sama tentang tahrif
bahwa Alquran tidak lengkap.
Dalam
artikel itu, antara lain, dinyatakan “… juga terdapat pa da kitab-kitab hadis
sahih mau pun kitab-kitab standar Sun ni yang posisinya sama kuat dibanding
kitab hadis Syiah yang menukil pandangan sejenis.”
Pandangan
ini menurut saya harus dikoreksi sebab Sdr Haidar tidak lengkap menuliskan hal
itu sebagai nasikh-mansukh sesuai penulis kitabnya. Dalam kajian ‘Ulum
al-Qur’an’, siapa pun tahu bahwa perubahan dan atau pergantian ayat itu adalah
dalam konteks nasikh dan mansukh. Allah sendiri yang mengganti bukan manusia
dan Allah memba talkan/mengganti ayat-ayatnya sendiri dengan ayat–ayat yang lebih baik atau
sebanding dengannya. “… Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 2:106).
Hilangnya
ayat seperti yang di maksud adalah mansukh altilawah, namun hukumnya tidak
di-nasakh atau dihapus (seperti di nukil secara jelas oleh Imam Suyuthi dalam
Al-Itqan). Ada ju ga yang baik tilawah maupun hu kumnya telah di-nasakh dengan
konsekuensi dan implikasi berkurangnya ayat-ayat tersebut secara kuantitatif,
sebelum ditetapkan dalam satu mushaf yang disepakati berdasar petunjuk Nabi
SAW.
Berbeda
dengan tahrif (interpolasi) yang mengganti dan mengubah ayat-ayat itu adalah
manusia, disesuaikan dengan kecenderungan tafsirnya terhadap teks, atau karena
dorongan ideologis dan afiliasi politik. Oleh karena itu, sekali lagi,
perubahan dan pergantian ayat-ayat itu harus dibaca dalam konteks nasikh dan
mansukh yang semestinya, bukan sekali-kali identik dengan tahrif sendiri. Untuk
lebih jelasnya, saya kira para pakar tafsir harus bicara menjelaskan kecenderungan
‘salah-paham’ yang berkembang saat ini.
Kedua,
dalam artikel disebutkan, “Memang, meski dianggap sebagai kitab hadis paling di
andalkan di kalangan Syiah, tak sedikit ahli, khususnya para ula ma
muta’akkhirin di kalangan ma zhab ini sendiri—yang menunjukkan bahwa kitab
Al-Kafi, apa lagi kitab-kitab sahih lainnya, tak dengan demikian bebas dari ke
mungkinan memuat hadis-hadis palsu atau lemah.”
Saya
tidak mengerti logika ini, bagaimana mungkin sebuah riwayat yang di sandarkan
pada para imam maksum (menurut versi Syiah) yang termuat di da lam Al-Kafi, dan
banyak mendapat apresiasi dari para pemuka ulama mereka, kemudian sekaligus
tiba-tiba dikatakan tak bebas dari hadis palsu.
Ini
nalar yang antagonistis dan kontradiktif, suatu hadis disebut sahih (dalam
kitab hujjah atau argumen), namun tidak menutup kemungkinan palsu. Saya kira
ini perlu klarifikasi dan verifikasi, apa maksud pujian dan apre siasi begitu
banyak ula ma mutaqaddimin dan mutaakh hirin Syiah Itsna Asyariah, na mun
kemudian dimentahkan lagi seperti ini? Ketiga, soal mencerca Ali di 70 ribu
mimbar. Nalar umum tidak bisa menerima ini, bagaimana mung kin selama 80 tahun
di 70 ribu mimbar, Ali dicerca di dalam masjid setiap shalat Jumat, sementara
umat diam saja, seolah ha rus menunggu terpilihnya Umar bin ‘Abdul Aziz menjadi
khalifah sekitar 100 tahun kemudian untuk meluruskannya?
Tidak
masuk akal jika selama 80 tahun di 70 ribu masjid tidak ada pembela Ali dan Ahl
al-Bayt? Sekali lagi, mungkin saja segelintir kaum Khawarij melakukan itu, dan
juga pendukung Mua wiyah sebagai oposan mengecam Ali, tapi ini tidak pernah ada
persetujuan dari ulama Sunni manapun. Bahkan, yang Ahlussunnah sekali-kali
tidak bisa lepas dari sikap positif untuk menghormati dan memuliakan Ali dan
Ahl al-Bayt tanpa ghuluw (pengultusan).
Sebagian
kecil ada yang menyesali sikap Muawiyah walaupun Aqil bin Abi Thalib (adik
kandung Ali) sendiri ternyata pro-Muawiyah dan tinggal di Syam bersamanya.
Bahkan, Hasan bin Ali bin Abi Thalib menyetujui kompromi dengan Muawiyah
sehingga masa itu dinamakan dengan Tahun Persatuan. Jika misalkan benar
Muawiyah terusmenerus mencerca Ali, apa mungkin adik dan putra sulung Ali tinggal
diam?
Perlu
diketahui bahwa Muawiyah sendiri adalah ipar Rasulullah, adiknya bernama Ummu
Habibah (dinikahi oleh Nabi). Selain itu, Muawiyah juga pernah jadi sekretaris
Nabi SAW bersama deretan sahabat yang lain.
Keempat,
sekali lagi saya menghormati ‘fatwa’ Ayatullah Ali Khamenei yang melarang
pelaknatan kepada para pemuka saha bat dan istri-istri Nabi. Namun
pertanyaannya, sejauh mana efektivitas ‘fatwa’ ini kepada umat Syiah, termasuk
yang ada di Indonesia? Soalnya, kini kita hidup di era keterbukaan, setiap
orang dengan mudah dapat mengakses internet, bagaimana ritual dan fakta sosial
kaum Syiah, terlihat di YouTube (http://www.gensyiah.com) dalam shalat membaca
doa kutukan terhadap Abubakar dan Umar serta kedua putrinya.
Ada
tausiah memastikan Aisyah masuk neraka dan sedang makan bangkai (sebagaimana di
khotbahkan ulama Syiah Yasir Al ha bib). Ia menganjurkan, setiap orang Syiah meminta hajat ke pada
Tuhan melalui pengu tukan terhadap Aisyah yang dijuluki Ummul Kafirin (Na’uzu
bil lah). Karena itu, Habib Umar bin Hafidz Bin Syeh Abubakar (juru bicara
Habaib dan ‘Ala wiyyin dari Hadramaut) mengatakan, mazhab yang gemar laknat-me
laknat ini sebagai “mazhab Iblis”. (Lihat: YouTube: permusi!).
Ada
lagi misalnya, buku Ali Oyene-e-Izadnemo, yang ditulis oleh Abbas Rais Kermani,
kemudian diterjemahkan Bahasa Indonesia berjudul “Kecuali Ali“, menulis bahwa
Imam Ali (mengambil alih wewenang Tuhan--Pen) nanti sebagai hakim yang
mengadili manusia di hari Kiamat dan Ali adalah pemilik Telaga Kautsar dan
pembagi surga dan neraka (halaman 42, sebagaimana dikutip Majalah Alkisah No
02/ 2012, halaman 28-33).
Menuju Damai
Untuk
tujuan damai Islam Sunnah-Syiah disini, upaya pertama adalah harus menghentikan
segala bentuk kriminalisasi terhadap para pembesar sahabat, istri Nabi,
Bukhari, dan ulama Sunni. Hindari tradisi diskusi dengan cara melepaskan teks
dari konteksnya, `memutilasi' ayatayat Kitabullah dan hadis Nabi dengan kemasan
`kajian ilmiah'.
Tanpa
itu, insya Allah awal hubungan (muamalah) yang baik bisa disambung. Jika tidak,
maka pembiaran ini akan menimbulkan malapetaka yang lebih besar: ketegangan
yang tidak mustahil akan mengkristal dalam bentuk perlawanan umat yang berujung
kebencian dan kekerasan. Dan, pasti ini akan dapat mengancam stabilitas
keamanan serta ketahanan nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar