Ambivalensi
Penanganan TKI
Sulis Styawan, PERISET CEUS UNY, KETUA PAGUYUBAN AKUR BUMI NUSANTARA
Sumber
: SUARA KARYA, 15
Februari 2012
Hukuman mati mengintai sejumlah TKI di luar negeri. Bahkan, jumlah
TKI yang terancam pedang pancung terus bertambah. Satuan Tugas Penanganan dan
Pembelaan Tenaga Kerja Indonesia (Satgas TKI) meyebutkan, 215 TKI terancam
hukuman mati di luar negeri. Rinciannya, di Arab Saudi sebanyak 45 WNI,
Malaysia (148), dan China (22). Khusus untuk WNI di Arab Saudi, 23 di antaranya
sudah divonis dan sisanya dalam proses pengadilan.
Selain vonis hukuman pancung, kasus-kasus kematian dan penyiksaan
tanpa sebab yang jelas, pelecehan seksual, dan kecelakaan kerja, semakin
menambah panjang daftar problematika TKI bermasalah di luar negeri. Namun,
ambivalensi penanganan problema yang dihadapi TKI ini sering berseberangan
dengan kemauan pemerintah untuk terus mengembangkan kesempatan kerja di luar
negeri.
Di satu pihak, pemerintah memposisikan kesempatan kerja di luar
negeri sebagai TKI untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia yang saat
ini masih cukup besar (8,2 juta jiwa), sekaligus sebagai sumber devisa bagi
perekonomian nasional. Betapa tidak, jumlah remitansi (pengiriman uang dari
TKI) setiap tahun mengalami kenaikan signifikan. Tahun 2010, jumlah remitansi
sebesar 7,139 miliar dolar AS, naik dari tahun sebelumnya (6,7 miliar dolar
AS).
Namun di lain pihak, penanganan permasalahan TKI sering tidak
tuntas. Ini menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah terhadap permasalahan TKI
yang semakin lama kian kompleks. Memang, selama ini pemerintah telah banyak
melakukan usaha dalam menangani permasalahan TKI seperti membentuk Satgas TKI,
kebijakan moratorium, serta menjalin nota kesepahaman (MoU) terkait TKI. Namun,
persoalan TKI justru kian banyak mencuat dan menunggu penyelesaian komprehensif.
Bagi TKI ilegal, sudah wajar setumpuk masalah hukum menjadi
ganjalan mereka. Tetapi, beberapa kasus ditengarai terjadi pada TKI legal. Apa
sebenarnya akar masalah yang dihadapi para TKI selama ini?
Pertama, ketidaksesuaian kualifikasi (mismatched of qualification)
antara TKI yang dikirim dengan pekerjaan yang dibebankan. TKI dengan keahlian
tata boga berharap bisa bekerja di restoran, ternyata malah dipekerjakan
sebagai baby sitter di sektor rumah tangga, karena untuk memenuhi permintaan
tenaga kerja.
Kedua, penguasaan keterampilan berbasis otomatisasi yang rendah
pada TKI menyebabkan rendahnya hasil kerja TKI (poor performance).
Ketidakmampuan TKI mengoperasikan peralatan modern, sering dijadikan alasan
utama para majikan untuk memutus kontrak secara sepihak atau memperlakukan TKI
secara semena-mena.
Memang, berdasarkan sifat pekerjaannya, TKI biasanya dipekerjakan
pada sektor '3D', yaitu yang bersifat dirty (kotor), dangerous (berbahaya), dan
diminutive (pekerjaan yang kecil atau tidak penting), seperti di sektor
konstruksi, perkebunan, pertanian, jasa perdagangan, dan sektor rumah tangga
(informal). Namun, penggunaan peralatan yang serba modern dan otomatis dalam
menjalankan pekerjaan sehari-hari tentu menuntut penguasaan dan keterampilan
dari para TKI.
Ketiga, penghargaan yang berlebihan terhadap etos kerja keras di
negara-negara tujuan TKI. Masalah penghargaan yang berlebihan ini cenderung
mengarah pada bentuk eksploitasi manusia (human exploitation), sehingga majikan
sering tidak mentolerir terhadap segala bentuk kemalasan dan kesalahan yang
dilakukan TKI.
Kasus-kasus yang menimpa Nirmala Bonat, Ceriyati, Siti Hajar,
Sumiati, Kikim Komalasari, Ruyati, dan Darsem, misalnya, lebih merupakan
tindakan eksploitasi tenaga kerja yang tidak mentolerir sekecil apa pun
kesalahan yang dilakukan oleh TKI. Bentuk lain perlakuan kurang manusiawi juga
terjadi seperti pemotongan gaji atas hutang-hutang TKI untuk biaya pembuatan
izin kerja (working permit), biaya transportasi, dan biaya agen.
Keempat, masih minimnya perlindungan hukum terhadap TKI. Ini
masalah utama TKI begitu bekerja, karena majikan akan meminta paspor sebagai
jaminan keberadaan mereka selama masa kontrak. Sehingga, bila terjadi kasus di
masa pertengahan kontrak kerja atau melarikan diri dari majikan, TKI tidak
punya posisi hukum yang kuat dan dianggap sebagai migrant illegal yang harus
berhadapan dengan hukum keimigrasian di luar negeri.
Berpijak pada akar permasalahan tersebut, ada beberapa hal yang
dapat dipandang sebagai langkah penanganan masalah TKI.
Pertama, menertibkan perusahaan/agen-agen tenaga kerja agar lebih
bertanggung jawab dalam menangani TKI. Bukan hanya masalah rekrutmen dan
penempatan saja, namun aspek kesesuaian antara permintaan dengan supply
kualifikasi tenaga kerja harus diutamakan. Pemerintah harus memberi sanksi
hukum kepada agen tenaga kerja yang 'cuci tangan' dari masalah TKI yang
disalurkannya.
Kedua, membuat standardisasi kompetensi tenaga kerja yang dikirim
oleh agen TKI, yakni calon TKI yang benar-benar terampil mengoperasikan
peralatan modern dan otomatis. Hal ini kembali bermuara pada pembekalan teknis
dan operasional TKI oleh agen tenaga kerja. Ketiga, perlunya wawasan etos
tenaga kerja yang tinggi serta belajar mereduksi terjadinya kesalahan saat
bekerja bagi para TKI.
Terakhir, perlindungan hukum secara maksimal selama masa kerja
untuk melindungi TKI dari perlakuan-perlakuan tak manusiawi, eksploitatif, dan
bersifat melanggar hukum dari pihak majikan. Untuk meningkatkan daya tawar TKI,
pemerintah seharusnya tidak buru-buru mencabut moratorium pengiriman TKI ke
luar negeri. Bahkan, jika perlu moratorium harus diperpanjang sampai semua
kesiapan regulasi perlindungan TKI dan sistem pengetatan calon TKI selesai.
Pemerintah juga harus menata regulasi perlindungan dan penempatan TKI, -yaitu
merevisi UU 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar
Negeri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar