Senin, 14 November 2011

Tarik Ulur Partai Politik


Tarik Ulur Partai Politik

FS Swantoro, PENELITI DARI SOEGENG SARJADI SYNDICATE JAKARTA
Sumber : SUARA MERDEKA, 14 November 2011


Perdebatan yang terus berkutat pada angka ambang batas parlemen menunjukkan partai hanya memikirkan kepentingannya sendiri agar lolos ke Senayan. Revisi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu akhirnya bukan untuk menyiapkan sistem pemilu yang bermanfaat bagi rakyat, melainkan hanya untuk kepentingan partai. Debat RUU Pemilu masih alot, partai menengah-kecil; PAN, PKS, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura menolak usulan Golkar dan PDIP terkait ambang batas 5%. Angka itu mereka nilai terlalu tinggi sehingga tidak menghormati kemajemukan politik rakyat.

Sebaliknya, Golkar dan PDIP ngotot ingin menaikkan ambang batas menjadi 5% karena yakin dapat memperkuat sistem presidensial dan membangun sistem kepartaian sederhana secara alamiah hingga urusan politik bisa efisien. Untuk mengakomodasi dua kubu itu, Partai Demokrat mematok 4%, seperti usulan pemerintah.

Sejak dimulainya pembahasan RUU Pemilu 2014 memicu keretakan partai koalisi pemerintah. Keretakan kian tak terelakan setelah usulan daftar inventarisasi masalah pemerintah, dinilai PKS, PAN, PKB, dan PPP memihak Demokrat dan Golkar. Sementara, publik menyaksikan kegaduhan politik justru muncul dari Setgab Partai Koalisi yang beranggotakan Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB.

Apakah pembentukan Setgab merupakan kebutuhan politik rakyat atau sebaliknya, dan bagaimana mereka arif menyikapi tarik ulur ambang batas parlemen?

Tensi politik menghadapi Pemilu 2014 hampir pasti meningkat. Meski demikian, parpol diharapkan tetap menggunakan akal sehat dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat. Politik boleh panas tapi ketika bicara untuk rakyat, mereka harus duduk bersama mencari solusi terbaik dalam bernegara-bangsa. Sayang, ketika parpol membahas RUU Pemilu, mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri.  

Padahal, makna ambang batas parlemen adalah perolehan suara minimal sebuah partai dalam pemilu untuk diikutkan penentuan perolehan kursi di DPR. Ketentuan itu pertama diterapkan pada Pemilu 2009. Berdasarkan Pasal 202, UU Nomor 10 Tahun 2008, ambang batas parlemen ditetapkan 2,5% dalam memperoleh kursi DPR, meski tidak berlaku bagi kursi DPRD provinsi, kabupaten, dan kota.

 Problemnya partai menengah dan kecil, sulit menghadapi gabungan kekuatan partai besar. Jika harus voting, jumlah kursi parpol besar 348 kursi, lebih dari separo jumlah kursi DPR 560 kursi. Sementara, jika partai menengah dan kecil ngotot bertahan 3%, kursi mereka baru 212 dari 560 kursi DPR.  

Mencari Cara

Berdasarkan hasil Pemilu 2009, jika ambang batas parlemen 5%, tinggal 7 partai yang lolos ke Senayan. Meski realitas politik akan menyeleksi secara alamiah partai yang tak memiliki sumber dana dan infrastruktur kuat, mereka bisa keluar. Dengan ambang batas 5%, PKB dan Hanura bisa hilang. Partai Nasdem yang mulai populer meski baru, berani mematok 5% untuk lolos ke Senayan. Kekuatan Nasdem bukan pada tokohnya yang masih minim melainkan pada media TV nasional yang tiap hari menanamkan bawah sadar bagi rakyat.

Gerindra, kendati Prabowo Subianto cukup populer saat ini, sibuk melobi partai-partai menengah untuk menyamakan pandangannya perihal angka ambang batas. Gerindra menilai angka 3% adalah ideal, dan ia menggalang partai Setgab seperti PKS, PAN, PPP, dan PKB yang kecewa dengan Demokrat karena mematok 4%.

Wacana sistem kepartaian sederhana menjadi isu politik yang diusung partai besar. Seiring revisi UU pemilu yang masih diperdebatkan di DPR, konstelasi politik di parlemen terus menggeliat untuk menemukan sistem politik yang ideal. Perumusan revisi UU pemilu saat ini paling tidak dipengaruhi oleh dua hal. Pertama; ada tarik ulut kepentingan politik terkait pembahasan revisi UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol, dan kedua; upaya peningkatan ambang batas parlemen dari 2,5% menjadi 5%, dari total suara dalam pemilu secara nasional.

Karena itu, kenaikan ambang batas parlemen 5% dalam revisi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu akan mengubah konfigurasi dan sistem politik ke depan, terutama partai yang merasa paling berkepentingan dalam pemilu.

Kenaikan ambang batas parlemen akan ’’memaksa’’ seluruh partai mencari cara agar mampu bersaing dengan parpol lain meraih suara sebanyak mungkin dalam Pemilu 2014. Selain membawa konsekuensi bagi sistem pemilu, yakni tiadanya perolehan kursi perwakilan DPR hingga DPRD, sekaligus parpol tidak boleh mengikuti Pemilu 2019. Di situlah ketakutan mereka dan membuat alotnya tarik ulur ambang batas parlemen.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar