Kamis, 30 Juli 2015

Waspadai Capim KPK Titipan

Waspadai Capim KPK Titipan

Bambang Soesatyo ;  Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI
                                                     KORAN SINDO, 29 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Figur calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang ideal haruslah punya rekam jejak bersih. Dia juga harus independen agar bebas dari kelompok kepentingan, nyali kepemimpinannya kuat, dan punya strategi pencegahan korupsi. Maka, Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK diharapkan bisa menghadirkan figur-figur capim yang memenuhi kriteria tersebut.

Seperti itulah harapan masyarakat terhadap kepemimpinan KPK periode mendatang. Patut digarisbawahi bahwa figur capim KPK yang qualified saja tidak cukup. Rekam jejak yang bersih menjadi syarat yang sangat penting agar KPK sebagai institusi tidak punya titik lemah.

Kalau rekam jejak seorang pimpinan KPK bermasalah, di situlah titik lemah KPK sebagai institusi. Titik lemah seperti itu akan menjadi pintu masuk bagi upaya kriminalisasi oleh pihakpihak yang kecewa, marah, atau dendam kepada KPK.

Lalu lintas informasi pada era seperti sekarang bak debu yang tak pernah berhenti bertebaran. Informasi plus data apa saja sangat mudah didapatkan, termasuk catatan tentang latar belakang atau riwayat hidup seseorang.

Karena itu, tidak berlebihan jika kepada Pansel Capim KPK disarankan untuk ekstrahati- hati pada rekam jejak setiap figur capim KPK. Berbagai elemen masyarakat pun pasti telah memberi ragam masukan kepada Pansel tentang latar belakang para peserta seleksi capim KPK. Belum tentu semua masukan dari publik itu mengandung kebenaran.

Tetapi, Pansel tetap tidak boleh gegabah. Pansel harus belajar dari pengalaman buruk kepemimpinan KPK periode sekarang. KPK saat ini terpaksa harus dipimpin seorang pelaksana tugas ketua KPK karena sosok-sosok yang definitif sebagai pimpinan KPK dinilai tidak legitimate lagi.

Mereka harus berhadapan dengan penegak hukum karena rekam jejaknya bermasalah. Padahal, kinerja KPK periode sekarang tak perlu diragukan. Tak hanya mendapat dukungan solid dari publik, KPK bahkan disanjung dan menerima ragam puja-puji.

Namun, kepemimpinan KPK periode sekarang bisa dibuat lemah di hadapan hukum karena pada rekam jejak mereka ditemukan catatan yang bisa membuat mereka bermasalah. Kecenderungan seperti ini diharapkan tidak terulang pada pimpinan KPK periode berikutnya. Kalau pencarian Pansel hanya fokus pada syarat figur yang qualified , jumlahnya pastilah sangat banyak.

Pansel Capim KPK hanya perlu memasang jaring seleksi pada sejumlah institusi penegak hukum dan asosiasi profesi, akan didapatkan ribuan figur yang qualified . Tetapi, bisa dipastikan bahwa tidak semua punya rekam jejak bersih. Mereka yang latar belakangnya bersih bahkan bisa dihitung dengan jari karena memang tidak banyak.

Buktinya, sudah banyak oknum hakim, jaksa, polisi, oknum militer, serta oknum pengacara yang harus berhadapan dengan proses hukum karena penyimpangan perilaku atau pelanggaran kode etik. Baru-baru ini Pansel Capim KPK mengumumkan hasil seleksi tahap kedua.

Hasilnya, sebanyak 48 orang dinyatakan lolos. Terdiri atas tujuh perempuan dan 41 laki-laki. Mereka akan mengikuti seleksi tahap selanjutnya. Pada tahap pertama atau seleksi administrasi, 194 lolos dari 580 peserta yang mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi capim KPK.

Latar belakang serta profesi peserta capim KPK yang lolos tahap kedua cukup beragam. Dari kalangan akademisi 8 orang, penegak hukum 9 orang, korporasi enam 6 orang, KPK 5 orang, auditor 4 orang, advokat 3 orang, lembaga negara 4 orang, PNS 3 orang, civil society organizer 3 orang, dan unsur lainnya 3 orang. Mereka akan mengikuti seleksi tahap berikutnya yakni profile assessment.

Kelompok Kepentingan

Salah satu konsekuensi logis dari maraknya praktik korupsi di negara ini adalah hadirnya sejumlah kelompok kepentingan yang selalu proaktif mendekati semua institusi penegak hukum, termasuk tentu saja KPK.

Mereka berusaha memengaruhi semua institusi penegak hukum agar mau kooperatif dalam upaya membungkus atau menutup-nutupi kejahatan mereka, termasuk tindak pidana korupsi.

Menjelang sebuah institusi melakukan pergantian kepemimpinan, kelompok-kelompok kepentingan itu bukan hanya coba memengaruhi proses, mereka pun tak jarang aktif menjadi sponsor yang berperan di belakang layar guna memenangkan figur jagoan mereka.

Strategi mereka pun beragam. Bukan hanya menyiapkan uang sogok, mereka bahkan bisa mengerahkan jaringan untuk melobi penguasa. Bisa terbentuk kekuatan yang sangat besar dan powerful manakala kelompok-kelompok kepentingan itu bergabung untuk tujuan dan target yang sama.

Kini, ketika Pansel terus mengerucutkan jumlah figur capim KPK, kelompok-kelompok kepentingan itu semakin aktif bergerilya. Dari 48 orang yang lolos seleksi tahap kedua, bukan tidak mungkin beberapa di antaranya figur-figur yang menjadi favorit kelompok-kelompok kepentingan dimaksud.

Maka, Pansel Capim KPK harus ekstrawaspada. Sekali lagi, jangan terpukau pada kualifikasi, riwayat karier, atau popularitas figur. Jauh lebih penting adalah bersihnya rekam jejak. Kini, ketika jumlah peserta seleksi capim KPK akan terus berkurang, Pansel memiliki ruang yang lebih besar untuk menelusuri rekam jejak dari figur-figur yang lolos pada setiap tahapan seleksi.

Semangatnya adalah negara dan KPK tidak boleh kecolongan. Ketika proses hukum kasus-kasus besar seperti skandal Bank Century, penyalahgunaan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), hingga kasus penggelapan pajak tak kunjung tuntas ditangani, negara dan KPK sejatinya sudah kecolongan.

Bukan tidak mungkin ada kekuatan di tubuh KPK yang memang tidak ingin kasus-kasus besar itu dituntaskan. Kasus-kasus besar itu bisa diambangkan karena desakan maupun tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan yang ”memiliki” orang kepercayaan mereka di KPK.

Kecolongan itu tak boleh berulang. Konsekuensinya, Pansel memang harus bekerja keras. Pansel pun akan menghadapi ujian yang mahaberat, utamanya terhadap reputasi, kredibilitas, dan moral. Demi meloloskan figur yang dijagokan, kelompok-kelompok kepentingan akan mengerahkan jaringan mereka untuk menggoda semua anggota Pansel.

Untuk menangkal intervensi kelompok kepentingan itu, soliditas anggota Pansel harus terus diperkuat. Kalau perlu, dibuat kesepakatan sementara tentang pembatasan aktivitas anggota Pansel di luar jam kerja. Misalnya, tidak boleh sembarangan terima tamu di rumah. Pembatasan-pembatasan sementara seperti itu penting agar Pansel tetap steril.

Pada akhirnya nanti, Pansel harus menyerahkan beberapa nama yang direkomendasikan kepada Presiden dan diumumkan kepada publik. Idealnya, nama-nama yang direkomendasikan Pansel bisa menumbuhkan harapan baru dan semangat baru dalam pemberantasan korupsi.

Memang, sangat sulit untuk menemukan figur yang sempurna. Namun, Pansel harus mampu menghadirkan figur yang memenuhi kriteria seperti rekam jejak yang putih, punya nyali, kepemimpinan yang kuat, dan punya strategi pencegahan korupsi. Proses seleksi capim KPK kali ini cukup menarik karena diwarnai partisipasi beberapa institusi negara, termasuk penegak hukum.

Di ruang publik, sudah muncul kesan bahwa kepemimpinan KPK yang lowong saat ini sedang menjadi rebutan Polri, TNI, dan kejaksaan. Pansel diharapkan tidak terpengaruh oleh kenyataan seperti itu.

KPK harus selalu diposisikan di titik netral; didukung oleh semua dan tidak memusuhi siapa pun, kecuali mereka yang terindikasi terlibat tindak pidana korupsi. KPK akan selalu kuat jika dia tidak dikendalikan oleh kelompok kepentingan.

Melecut Kemandirian Ekonomi NU

Melecut Kemandirian Ekonomi NU

Ali Masykur Musa ;  Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
                                                     KORAN SINDO, 29 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang hidup dan bersenyawa dengan dinamika sosial yang mengitarinya.
Saat ini NU sedang bersiap menyelenggarakan muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Sejak awal berdiri pada 1926, NU berjuang mengembangkan etos kecendekiaan, kejuangan, dan kemandirian. Tiga etos ini adalah perwujudan dari tiga organ yang merupakan embrio berdirinya NU yaitu Tashwirul Afkar , Nahdlatul Watan, dan Nahdlatut Tujjar.

Tashwirul Afkar mewakili semangat kecendekiaan dan keulamaan, Nahdlatul Watan mewakili semangat kejuangan kebangsaan, dan Nahdlatut Tujjar mewakili semangat kemandirian ekonomi. Tiga etos terpadu dalam pola gerak NU dari masa ke masa.

Dari tiga etos perjuangan tersebut, aspek mewujudkan kemandirian ekonomi yang berujung kepada kesejahteraan warga NU (nahdliyin) belum bisa dikategorikan dalam taraf yang memuaskan. Hingga kini basis ekonomi sebagian besar nahdliyin masih lemah, bahkan pada tingkat dasar, yaitu pemenuhan kebutuhan rutin harian.

Kemandirian ekonomi merupakan prasyarat bagi kemandirian politik kebangsaan NU. Tanpa ekonomi yang kokoh, NU tidak dapat berperan sebagai organisasi masyarakat sipil yang mampu berfungsi sebagai kontrol pemerintah. Terlebih, bila memandang jauh ke depan, NU menghadapi tantangan multidimensi.

Globalisasi bukan hanya meliberalisasi ekonomi Indonesia yang pengaruhnya terasa hingga ke pedesaan yang merupakan basis warga NU, tetapi juga membawa masuk pengaruh aliran transaksional yang tarik-menarik dengan ajaran dasar NU yang tradisional dan mengakomodasi kelokalan.

Liku Gerakan Ekonomi NU

Gerakan ekonomi NU sebenarnya tidak jalan di tempat, tetapi berjalan cukup dinamis menurut ukuran tradisi NU sendiri. Namun, jika dibandingkan dengan perubahan zaman yang begitu cepat dan perkembangan di ormas-ormas keagamaan lain, apa yang dicapai NU di sektor ini masih jauh tertinggal.

Setelah Nahdlatut Tujjar , gerakan penguatan ekonomi NU dibangun kembali pada tahun 1937, Ketua Tanfidhiyah NU KH Mahfoedz Shidiq pada masa itu membentuk koperasi Syirkah Muawwanah untuk memperkuat modal para petani di pedesaan.

Koperasi ini berupaya membuka jaringan perdagangan antarpesantren yang banyak menghasilkan produkproduk pertanian dan usaha-usaha kecil lain. Namun, sungguh disayangkan, dalam perkembangannya koperasi ini terbengkalai. Banyak alim ulama NU yang berpendapat, hal itu terjadi sebagai dampak keterlibatan NU dalam politik praktis.

Setelah NU kembali ke khittah menjadi organisasi sosial-keagamaan pada 1984, ide penguatan ekonomi umat itu muncul kembali. Pada 1990 NU menandatangani kesepakatan dengan Bank Summa untuk membentuk Bank Nusumma.

Kehadiran Bank Nusumma ini adalah upaya menjembatani kebutuhan permodalan bagi pengembangan usaha-usaha warga NU dan dimaksudkan sebagai badan usaha untuk menopang kebutuhan NU. Namun, keberadaan Nusumma sendiri tidak mampu bertahan dari terpaan badai krisis ekonomi 1997.

Hingga kini sebenarnya sudah banyak gerakan pemberdayaan ekonomi umat maupun menata amal usaha NU. Diperkirakan sekitar 5.000 koperasi berbadan hukum yang dibuat oleh warga NU atau oleh lembaga NU. Industri kreatif maupun perdagangan berbasis NU juga banyak berkembang.

Seperti pembuatan batik, sarung, kopiah, mukena, dan aneka produk konsumsi lain. Tak terhitung usaha kreatif pengembangan kemandirian ekonomi dilakukan oleh para aktivis lembaga, lajnah, dan badan otonom NU, maupun warga NU secara umum.

Selain itu, banyak pesantren NU yang berhasil memperkuat basis ekonominya dengan mendirikan koperasi-koperasi pesantren. Contoh yang paling jelas di antaranya adalah Koperasi Pesantren Sidogiri Pasuruan, Ponpes An-Nuqoyah di Guluk-guluk Sumenep, Ponpes Nurul Jadid di Paiton-Probolinggo, Pesantren Drajat di Lamongan, dan masih banyak lagi lainnya.

Namun, dengan derap gerakan itu, kenapa masih saja banyak sekali warga NU yang belum merasakan manfaatnya dan cenderung masih bertahan dalam zona kemiskinan mereka? Hal itu bisa terjadi karena tiga hal. Pertama, sikap hati-hati NU yang berlebihan dalam menyikapi perubahan zaman.

Sikap demikian memang ada nilai positifnya, yaitu tetap kuatnya karakter dan identitas NU karena ia tidak mudah larut dalam perubahan. Namun, dampak negatifnya NU menjadi gagap dalam merespons persoalan yang membutuhkan jawaban segera.

Kedua, orientasi politik yang kuat di kalangan elite NU. Tak bisa dimungkiri, kekuatan nahdliyin yang besar dianggap efektif untuk mewujudkan tujuan politik seseorang atau kolompok tertentu.

Karena besarnya syahwat politik dan transaksi ekonomi yang melanda warga NU dari tingkatan teratas hingga terbawah, NU terkenal menjadi sebuah mobil besar yang bisa ditinggalkan begitu saja oleh sang penyewa setelah sampai di tujuannya.

Ketiga, belum adanya visi besar, kebijakan ekonomi makro, dan strategi jangka panjangpendek dari NU sebagai induk jamaah maupun jamiyyah-nya.

Hal ini mengakibatkan, berbagai potensi ekonomi NU tersebut masih terlihat terserak dan berjalan seorang diri. Dengan garis komando yang baik dan jejaring yang kuat, gerakan ekonomi NU akan tertata rapi dan mampu berperan secara maksimal dalam mengangkat perekonomian umat.

Ekonomi Berbasis Pesantren

Basis ekonomi terbesar NU bisa digerakkan melalui pesantren. Dari catatan Rabithah Maahid Islamiyah (RMI) NU, tidak kurang 24.000 pesantren secara kultural maupun struktural berada di bawah NU dan tersebar hingga pelosok-pelosok Indonesia.

Kemandirian pesantren sejak berabad-abad yang lalu menunjukkan bahwa pesantren telah memiliki basis ekonominya secara mandiri. Namun, perlu diakui juga bahwa kemampuan ekonomi pesantren masih bersifat tradisional, kecil, dan mayoritas pada sektor pertanian tradisional.

Pesantren tidak hanya mendidik ilmu-ilmu agama kepada para santrinya, namun juga memberikan skills untuk mengembangkan ekonomi, khususnya dalam bertani, beternak dan berdagang melalui koperasi pesantren.

Dengan begitu, selepas dari pesantren para santri dapat hidup mandiri dengan bertani, beternak, atau menjadi pedagang kecil. Melihat peluang tersebut, ikhtiar untuk mengembalikan khitah pesantren sebagai aset sosial yang berfungsi ganda sebagai lembaga pencetak ulama dan instrumen transformasi sosial harus direvitalisasi.

Salah satu caranya adalah menumbuhkan pesantren sebagai kekuatan ekonomi yang berdaya guna sebagai motor penggerak kesejahteraan masyarakat. Seiring pula dengan perkembangan zaman, sudah saatnya pesantren mengembangkan kemandiriannya dengan memperluas basis ekonominya melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi produksi.

Muktamar NU ke-33 yang dihelat di Jombang pada 1–5 Agustus 2015 adalah saat terbaik untuk memfokuskan wahana politik kebangsaan NU pada upaya-upaya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi umat.

Pengorganisasian kembali kekuatan nahdliyin merupakan peluang untuk mencapai kemandirian. Tegaknya kemandirian ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perekonomian pesantren-pesantren NU.

Dengan berbasis pesantren, gerakan NU di bidang ekonomi akan mampu membentuk masyarakat Islam yang mempunyai integritas aspek moral dan aspek ekonomi secara utuh.

Dengan kokohnya pilar kemandirian ekonomi dan moralitas spiritual, NU dan bangsa Indonesia bisa menjadi pengimbang derasnya liberalisasi ekonomi dunia. Insya Allah.

Arti Kunjungan Cameron

Arti Kunjungan Cameron

Dinna Wisnu ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                     KORAN SINDO, 29 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dua hari lalu saya menghadiri sebuah pertemuan bisnis antara para pengusaha Inggris dengan perwakilan pengusaha Indonesia di Sekretariat ASEAN. Pertemuan tersebut seiring dengan kunjungan Perdana Menteri David Cameron ke Indonesia. Sambil para pebisnis berdiskusi, Cameron menemui para petinggi diplomasi dari negara-negara ASEAN. Tujuannya tidak lain adalah membicarakan upaya peningkatan hubungan ekonomi antara Inggris dan ASEAN.

Ada beberapa catatan yang mungkin menarik untuk kita lihat perkembangannya dalam beberapa tahun ke depan. Pertama, para pelaku usaha dari Inggris ingin mengadakan kerja sama perdagangan melalui satu pintu, yaitu ASEAN. Mereka mengharapkan bahwa dengan bertemu para perwakilan ASEAN, tawaran kerja sama dapat otomatis bergulir dari negara-negara anggota ASEAN.

Tentu hal ini mengejutkan banyak orang yang hadir karena kita semua tahu, ASEAN bukan seperti Masyarakat Uni Eropa yang homogen dan bisa bergerak satu langkah dalam kerja sama perdagangan dengan negara lain. Otonomi negara anggota ASEAN lebih kuat daripada ASEAN itu sendiri sehingga sulit untuk melakukan kebijakan satu pintu. Saya tidak paham apakah pandangan tersebut dilandasi kurangnya informasi atau memang mereka meyakini bahwa “satu pintu” ekonomi ASEAN dapat terwujud.

Di sisi lain pernyataan ini mungkin juga disebabkan Inggris merasa bahwa perdagangan antara Eropa dan ASEAN kalah cepat dibandingkan antara ASEAN dengan China atau ASEAN dengan Jepang. China, misalnya, terlihat dengan jelas telah menanam investasi dimana-mana dan produk-produk mereka pun sudah masuk ke pasar ASEAN, termasuk ke jaringan pasarkaki lima hingga pasar gelap.

Inggris mengetahui bahwa bila perjanjian perdagangan antara Eropa dan ASEAN dapat berjalan mulus, ada potensi keuntungan ekonomi sebesar 3 miliar poundsterling per tahun bagi Inggris (Guardian, 27/7/2015). Sayangnya ini masih mimpi. Kedua, Perdana Menteri Inggris berkunjung dengan membawa serta lebih dari 30 pimpinan perusahaan asal Inggris yang sebagian besar bergerak di industri teknologi, infrastruktur, keuangan, dan energi yang terbarukan. Ini adalah sinyal strategi Inggris untuk tidak menggantungkan diri pada pasar Eropa.

Hal ini bisa saja terkait dengan rencana Cameron yang telah berjanji dalam kampanyenya bahwa pemerintahannya akan bertanya kepada masyarakat Inggris melalui referendum apakah mereka tetap akan berada di dalam Masyarakat Uni Eropa (UE) atau keluar sama sekali. Walaupun Cameron memilih untuk bertahan di dalam masyarakat UE, ia mesti menghadapi kenyataan dua pertiga dari anggota partai yang memenangkan dirinya sebagai perdana menteri lebih memilih untuk keluar dari UE.

Di sisi lain, kunjungannya ke Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain bisa disimpulkan demi meningkatkan daya tawar atau memberi tekanan kepada UE agar melakukan reformasi.

Beberapa “paket reformasi” yang selalu ia komunikasikan dengan para pemimpin Eropa lain di antaranya: mengizinkan Inggris untuk tidak mengikuti ambisi UE “mempererat union“ masyarakat Eropa, membatasi akses tunjangan pekerja bagi migran-migran UE, memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen nasional untuk menghadang/menolak legislasi UE, membebaskan bisnis dari rumitnya birokrasi dan “campur tangan berlebihan” dari Brussels, serta menyediakan akses bagi pasarpasar baru melalui “cara cepat” mengembangkan kesepakatan perdagangan bebas dengan Amerika dan Asia (BBC, 13/5/2015).

Cameron sudah mengancam sejak jauh-jauh hari bahwa kalau reformasi itu tidak disetujui, ia tidak mau berkampanye agar Inggris tetap di dalam Masyarakat Eropa. Langkah Perdana Menteri Inggris untuk menyiapkan pasar seandainya Inggris nanti benarbenar ingin keluar dari Masyarakat UE patut kita ambil hikmahnya. Ia sebagai perdana menteri telah mempersiapkan pemerintahannya untuk tidak hanya mandiri, tetapi juga mampu bersaing dengan negaranegara anggota UE lain dalam merebut pasar di Asia.

Menarik bahwa Cameron merasa perlu melakukan langkah agresif karena negara-negara lain seperti China atau India sudah mulai masuk bersaing merebut “keunggulan komparatif” bangsa-bangsa Eropa yang selama ini menguasai pasar produk-produk dengan nilai tambah tinggi seperti teknologi informasi, pesawat terbang, mesin-mesin, teknologi energi terbarukan, komunikasi, dan sebagainya.

Ecaterina Stanculescu (2014) memaparkan bahwa dalam kategori tersebut, ekspor Eropa ke pasar internasional lebih rendah dibandingkan dengan ekspor China di sektor yang sama. Ekspor Eropa ke pasar internasional pada 2007 hanya USD268 miliar, sedangkan China USD338,4 miliar. Di tahun 2012, Eropa hanya USD350,7 miliar, China mampu mencapai USD592,2 miliar.

“Kekalahan” Eropa itu tidak hanya di pasar internasional, tetapi juga dalam hubungan perdagangan antara Eropa dan China itu sendiri. Tahun 2007, produk teknologi tinggi yang diekspor dari Eropa ke China senilai USD18,3 miliar, sedangkan mereka mengimpor USD80,8 miliar dari China. Defisit ini juga terjadi di tahun 2012 di mana Eropa dapat meningkatkan nilai ekspor menjadi USD30,3 miliar, tetapi juga mengimpor lebih banyak, yakni senilai USD111,6 miliar.

Di sisi lain, langkah China untuk masuk dalam kompetisi pasar teknologi tinggi mungkin didorong rasa nasionalisme yang tinggi pula untuk maju sebagai negara besar. Tapi hal yang paling penting adalah prediksi bahwa mata uang mereka, Renminbi, mungkin akan menguat dalam beberapa tahun ke depan. Apabila Renminbi menguat, industri ekspor China akan kalah bersaing. Oleh sebab itu, penting bagi China untuk menghasilkan produk teknologi tinggi agar mereka mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dengan biaya produksi yang lebih ekonomis.

Apabila China tidak segera mengembangkan industri-industri padat teknologi yang mampu memproduksi produk-produk yang dibutuhkan pasar, mereka akan kehilangan momentum tersebut. Fakta-fakta tersebutlah yang membuat Inggris tampaknya jauh lebih “rasional” menghadapi tantangan pasar ke depan dibandingkan dengan negara anggota Eropa lain. Bagi Indonesia, langkah Inggris itu bisa bermanfaat bagi kita untuk meningkatkan daya tawar kita kepada China juga.

Di sisi lain, kita, khususnya politisi, aktivis, dan birokrat/birokrasi, perlu belajar dari China dan Inggris bahwa kebijakan politik dan ekonomi harus benar-benar diperhitungkan dengan baik. Konsolidasi politik yang cukup baik dan membuat pasar stabil harus menjadi modal pemerintah ke depan untuk memikirkan langkah-langkah strategis.

Inggris dan China adalah dua negara dengan sistem politik yang bertolak belakang, tetapi mereka bisa melakukan manuver politik ekonomi yang akan menguntungkan generasi mereka di masa depan. Bagaimana dengan Indonesia?

Menggairahkan Iklim Investasi

Menggairahkan Iklim Investasi

Mukhamad Misbakhun ;  Anggota Komisi XI DPR RI
                                                     KORAN SINDO, 28 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kondisi ekonomi nasional pada kuartal II 2015 yang cenderung stagnan menyisakan harapan perbaikan pada masa yang akan datang. Meski realisasi pertumbuhan sebesar 4,71% tidak berbeda dengan kuartal sebelumnya, diperlukan terobosan-terobosan kebijakan di bidang ekonomi yang berpotensi menstimulus pergerakan pertumbuhan pada kuartal-kuartal berikutnya.

Pemerintah telah memprediksi konstelasi tersebut dan menjadikannya sebagai referensi dalam pengajuan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok- Pokok Kebijakan Fiskal (KEMPPKF) 2016.

Dalam kerangka KEM-PPKF disebutkan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2015 mengalami tantangan signifikan dari pemulihan ekonomi global yang tidak merata. Kondisi ekonomi saat ini belum memperoleh dampak kuat untuk pertumbuhan ekonomi pada kuartal II.

Meski berada dalam kondisi stagnan, optimisme pada pencapaian pertumbuhan ekonomi hingga 5,7% masih terjaga. Hal itu didasari atas prediksi ekonomi yang berangsur membaik sehingga mampu mendorong perbaikan neraca perdagangan. Selain itu, belanja infrastruktur (investasi) juga mengalami peningkatan sehingga programprogram pembangunan infrastruktur berjalan baik.

Ditambah lagi, konsumsi tetap kuat dan stabil dengan daya beli masyarakat yang tinggi. Secara khusus, penciptaan iklim investasi yang kondusif menjadi salah satu terobosan penting.

Realisasi investasi pada kuartal I 2015 yang mencapai Rp124,6 triliun (16,9%) dari target investasi sebesar Rp519,5 triliun memberi angin segar bagi pergerakan ekonomi kuartal selanjutnya. Realisasi tersebut lebih tinggi dari realisasi pada kuartal yang sama pada tahun sebelumnya.

Berdasarkan laporan World Investment 2015, investasi asing langsung (foreign direct investment) ke Indonesia bertumbuh 20% menjadi USD23 miliar. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang arus masuk investasi asing ke Asia Tenggara yang hanya meningkat 5%, mencapai USD133 miliar.

Target realisasi investasi Rp519,5 triliun sendiri meningkat dibanding tahun sebelumnya yang sebesar Rp463,1 triliun. Dari angka tersebut, Rp307 triliun (59,1%) berasal dari penanaman modal asing (PMA) dan 40,9% dari penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Investasi memegang peranan penting dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Investasi dapat dilakukan oleh pemerintah melalui anggaran pembiayaan pembangunan dan investasi swasta atau masyarakat.

Investasi yang dilaksanakan pemerintah terutama mendorong penciptaan iklim usaha yang kondusif, penyediaan sarana dan prasarana, serta pemberdayaan ekonomi rakyat.

Sedangkan investasi swasta atau masyarakat, baik berupa penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri, dilaksanakan terutama untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal menjadi kekuatan ekonomi riil yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi, membuka kesempatan kerja, serta menunjang pendapatan daerah.

Tidak dimungkiri, Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara yang berhasil menghadapi gelombang krisis ekonomi, khususnya di tengah kekacauan ekonomi dunia pada 2008.

Selebihnya, Indonesia menarik perhatian dunia sebagai salah satu pilar ekonomi dunia bersama kekuatan Asia lainnya seperti China dan India. Pertumbuhan yang besar tersebut sangat ditopang oleh pihakpihak swasta baik kecil, menengah, maupun besar.

Seperti negara-negara maju dan berkembang lainnya, pihak swasta mengambil peran dan kontribusi yang besar bagi perekonomian negaranya.

Insentif Investasi

Gairah investasi tidak terlepas dari berbagai kemudahan dan kepastian hukum. Atas dasar itu, diperlukan beberapa langkah insentif yang dipandang mampu menggenjot iklim investasi hingga atau melebihi target yang diharapkan.

Pertama, kebijakan pajak. Banyak negara maju dan berkembang yang sukses kerapkali memberikan insentif positif bagi pihak swasta. Stimulasi dilakukan untuk meningkatkan ketertarikan dalam berinvestasi bagi para investor baik investor asing maupun dalam negeri.

Insentif tersebut terkait dengan kebijakan pengurangan atau penghilangan pajak secara sementara yang diberlakukan oleh pemerintah terhadap penghasilan tertentu dalam rangka menarik investor agar mau menanamkan modal. Secara umum, tingginya pajak acapkali mereduksi pertumbuhan ekonomi.

Pengaruh pajak terhadap kinerja perekonomian sering berimplikasi ambigu dalam beberapa wilayah dan berubah-rubah serta kontroversial di wilayah lainnya. Untuk itu, diperlukan alternatif kebijakan yang dapat diadopsi untuk memperbaiki kinerja perekonomian dan aliran investor.

Pada gilirannya, akan tercipta suatu kondisi yang mampu mendorong peningkatan investasi dengan biaya dan risiko rendah dan bisa menghasilkan keuntungan jangka panjang.

Pada 1980 hingga 1990-an, China dan India telah melakukan perbaikan- perbaikan iklim investasi dengan menurunkan biaya dan risiko investasi sehingga investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB) saat itu meningkat signifikan hampir 200%. Kedua, payung hukum.

 Dalam rangka peningkatan kualitas investasi, dibutuhkan payung hukum yang kokoh guna mengatur dan mengendalikan sistem penanaman modal atau investasi. Demikian juga kebijakan terkait stimulus fiskal atau penyikapan fiskal (pajak) bagi investasi.

Saat ini pemerintah sedang menyosialisasikan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu. Demikian juga fasilitas pembebasan bea masuk atas importasi barang modal bagi yang masih belum bisa diproduksi di dalam negeri.

Dalam waktu dekat, pemerintah juga akan merevisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130 /PMK.011/2011 tentang ”tax holiday” (pengurangan atau penghilangan pajak penghasilan dalam kurun waktu tertentu).

Ketiga, kepastian kebijakan, regulasi, dan perizinan usaha. Selama ini terdapat beberapa kendala yang menghambat iklim investasi di berbagai daerah disebabkan rendahnya sistem pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum, dan berbagai peraturan daerah yang tidak probisnis.

Pelayanan publik yang dikeluhkan oleh investor adalah terutama terkait dengan ketidakpastian biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perizinan dan birokrasi. Pemerintah perlu menjaga stabilitas ekonomi makro, menentukan kebijakan yang probisinis, menekan tingkat korupsi, mengurangi beban biaya yang tidak jelas bagi pengusaha, serta memberikan insentif pajak bagi pengusaha atau investor dalam negeri dalam negeri.

Selain itu, diperlukan peningkatan atau perbaikan pelayanan publik, peningkatan intensitas keterlibatan dunia usaha dan stakeholder lainnya dalam perumusan kebijakan publik, serta perbaikan infrastruktur sebagi pendukung kegiatan usaha. Peningkatan dan perbaikan pelayanan publik investasi juga terkait dengan kebijakan satu pintu yang memudahkan investor dalam melakukan aktivitasnya.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah merespons hal itu dengan membentuk tim tingkat tinggi demi merealisasikan pembangunan sejumlah proyek infrastruktur yang terhambat keruwetan di tingkat kementerian/lembaga. Akhirnya, kita patut mengapresiasi segala upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi dalam negeri.

Di tengah stagnasi pertumbuhan, berbagai langkah terobosan telah dicanangkan dan diterapkan. Hasilnya pun cukup signifikan mendongkrak gairah iklim investasi. Dengan dukungan berbagai pihak, optimisme pertumbuhan ekonomi akan terus terjaga, hingga harapan perbaikan ekonomi di masa yang datang akan dapat terealisasi.

Ke Jakarta Aku Kan Kembali

Ke Jakarta Aku Kan Kembali

Mohamad Sobary ;  Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
                                                     KORAN SINDO, 28 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Akhirnya para pemudik itu di kampung halaman masing-masing juga sudah capek. Mereka telah mengurus segenap urusan penting yang mereka rencanakan sejak masih di Jakarta.

Boleh jadi juga di kota- kota besar lain di mana mereka merantau. Sesudah segenap urusan itu selesai, lalu apa? Rasanya tak ada lagi yang harus mereka kerjakan. Di Jakarta sekali lagi atau di kota besar lainnya pekerjaan sudah menanti.

Mereka sudah dinantikan oleh sebuah rutinitas. Untuk sekadar dibayangkan saja rutinitas itu sudah mencekam dan menimbulkan kejenuhan. Kecuali bagi mereka yang sungguh kreatif dan pandai melawan segenap kejenuhan itu dengan kapasitas pribadi yang tak bisa dipahami orang lain.

Jangan salah, di antara para pemudik tadi boleh jadi ada yang bukan kembali ke rutinitas kerja, melainkan kembali ke suasana tidak bekerja. Dengan begitu, bagi mereka kembali ke Jakarta juga ke kota-kota lain bukan kembali pada pekerjaan, melainkan kembali mencari pekerjaan.

Semangat mereka tak pernah patah. Kali ini mereka bicara tentang ”kemungkinan” yang kaya, yang tak bisa dijajaki dengan perhitungan rasional kita. Juga tentang ”nasib baik” yang tak pernah teraba sehingga kalkulasi hidup didasarkan pada sikap yang seolah menyerah seperti setengah menyerah: ”siapa tahu”.

Memang. Kata ”siapa tahu” itu gambaran lautan kehidupan yang dalamnya bahkan tak bisa sekadar dibandingkan dengan palung Mariana di dekat Filipina yang dianggap laut yang paling dalam di dunia.

Mereka yang sudah sampai ada perhitungan ”siapa tahu” seperti ini tak mungkin patah. Semangat hidupnya akan tetap tegak. Dia tak terkalahkan. Bagi mereka kelihatannya hidup bukan untuk dikalkulasi secara cermat dan dalam, dengan rumus-rumus yang mungkin bisa ditemukannya.

Bagi mereka hidup untuk dijalani. Selesai. Ada yang bilang untuk ”dinikmati”. Belum tentu. Mampukahkita menikmati nasib yang sama sekali tidak nikmat? Bisakah kita menjalani dengan sikap ”nrimo” apa yang sungguh tidak enak. Lebih khusus bisakah kita ”menikmati” apa yang sama sekali tidak nikmat? Anggapan bahwa hidup, apa pun wujudnya, kita nikmati agaknya akan terasa berlebihan.

Hidup bukan tak selalu untuk dinikmati, tapi sudah pasti untuk dijalani. Menghadapi suatu keadaan tertentu mungkin kita pun tak bisa menerimanya dengan baik. Jadi, hidup yang sering tidak nikmat itu yang selalu kita jalani. Hidup yang tak selamanya bisa kita terima itulah yang kita jalani.

Mungkin ada rasa frustrasi yang kita sembunyikan dari mata orang lain. Mungkin ada yang kita hadapi dengan sikap tidak bisa tidak diterima. Tapi, apa boleh buat. Hidup harus berlangsung. Boleh jadi kita tertekan. Boleh jadi hidup ini membuat kita menderita. Bahkan di rantau, di ”rumah” yang kita huni berpuluh- puluh tahun tetap tak terasa adanya jaminan masa depan. Itu yang sudah lewat. Di masa depan? Kita, sekali lagi, bicara tentang ”siapa tahu” tadi.

”Siapa tahu” itu terasa seperti sikap skeptis. Tapi, salahkah bisa kita menganggapnya sebuah optimisme? Mungkin optimisme itu sendiri tak harus punya landasan. Kalau segala hal ada alasannya dan rasionalitas kita bisa mengalkulasinya dengan baik, itu perkara biasa.

Ibaratnya, kalau kita bicara bahwa esok pagi matahari pasti terbit, kita tak bisa menyebutnya optimisme karena itu sudah terlalu pasti. Sekadar contoh, sikap optimistis itu dimiliki seorang pemudik yang dalam kelelahannya menghadapi kemacetan dan rasa lapar, tapi wajahnya tetap ceria.

Di dalam hatinya lirik-lirik lagu Koes Ploes itu bergema. Lalu keluarlah dari lisannya yang fasih berucap. Terampil pula diamdiam ”menertawakan” nasibnya sendiri tanpa luka di hati.

Di sana rumahku Dalam kabut biru Hatiku sedih Di hari minggu Di sana kasihku Berdiri menunggu Di batas waktu Yang telah tertentu Kemudian inilah tekadnya yang paling menggetarkan jiwa, yang paling penuh optimisme: ‘Ke jakarta aku kan kembali Walaupunapayang kanterjadi’ Kita membayangkan seleret cahaya kegetiran yang sejenak melintas di wajahnya.

Tapi, hanya sejenak. Sejenak kemudian kegetiran itu telah ditelannya dengan segenap optimisme tadi. Segenap kegetiran dikunyah-kunyah habis sampai tuntas, menjadi sesuatu yang lebih punya nuansa sedikit ”manis” dan ”bersahabat”. Segenap kecemasan diganyang mentah-mentah menjadi sesuatu yang punya makna sedikit ”harapan”.

Tiap jenis ketakutan dihantam tanpa ampun menjadi sesuatu yang tak harus menakutkan. Kata ”takut” tak pernah ada lagi di dalam kamus hidupnya. Dia menjadi sang penakluk. Segala rintangan ditaklukkannya. Pemudik seperti inilah petarung sejati. Kalau kita bicara tentang mereka yang sudah sukses dan mapan hidupnya, kita jenuh karena orang sukses punya banyak rumus dan dalil kehidupan yang begitu tegas dan baku. Apa yang baku kelihatannya membosankan. Lagipula dalil suksesnya tak berlaku bagi orang lain. Bagi pemudik optimistis, yang akan kembali ke Jakarta, apa pun yang akan terjadi, dalil sukses tadi tak bisa di-copy paste. Dalil itu tak berarti baginya.

Bagi dia, hidup tak ada dalilnya. Hidup itu sebuah percobaan yang harus dilalui dalam gelap. Tak pernah ada kepastian. Tak pernah ada jaminan. Dalil sukses akan datang kelak, sesudah dia ”mengalami” segenap pahit getirnya perjuangan hidup ini. Dia baru akan bisa bicara tentang hidup sesudah dia pernah ”hidup” dalam makna sejatinya.

Di bumi ini dia merasa tidak ada tempat baginya. Di kampung halamannya sendiri bahkan sebenarnya tidak ada pula tempat yang menggembirakan. Tapi, dia tak berkecil hati. Dia merasa punya tempat di Jakarta.

Maka, berdendanglah dia: ”Ke Jakarta aku ‘kan kembali.” Tak peduli akan apa yang terjadi. Pokoknya, ‘ke Jakarta, dan bukan ke kota lain, aku ‘kan kembali’.